Bab 5 | Calon Suami

2.9K 148 0
                                    

Setelah pertengkaranku dengan Mama, tiba-tiba saja sorenya Dimas datang ke rumah. Aku jelas tak mau menemuinya, aku kesal karena Mama tidak mau mengerti aku. Bukannya mengerti perasaanku setelah mengatakan itu, Mama justru meminta Ayah pergi ke rumah Pak Kades supaya Dimas datang ke rumah. Aku benar-benar bisa gila saat ini, Mama dan Ayah sungguh keterlaluan.

"Mi, Dimas udah di ruang tamu itu, sana temui dia," ucap Mama sambil menghampiriku yang sedang duduk di tepi ranjang.

Aku pura-pura tuli, aku fokus memainkan ponselku. Aku tak mau bertemu dengan laki-laki itu, aku kesal dan marah pada Mama. Hingga tiba-tiba saja Mama merebut ponselku dari tanganku, aku pun langsung menatap Mama kesal.

"Balikin hapeku, Ma," ucapku berusaha merebut ponselku kembali.

"Mama akan balikin hape kamu, kalau kamu temui Dimas sekarang. Kasihan dia udah nunggu kamu dari tadi," tutur Mama yang membuatku berdecak kesal.

"Salah dia sendiri yang ke sini, lagian aku nggak minta dia datang. Mama yang minta Ayah manggil dia padahal aku nggak mau ketemu," ucapku jengkel.

"Jangan keras kepala, Mi, cepat temui dia." Suara Mama terdengar tegas, sepertinya Mama tidak mau aku membantah perkataannya lagi.

Akhirnya mau tidak mau aku menurut, aku mengambil asal hijab langsungan yang digantung didekat pintu dan memakainya di hadapan Mama. Beruntung aku memakai baju tidur lengan panjang sehingga aku tak perlu repot berganti pakaian untuk bertemu orang itu.

"Kamu mau temui Dimas gini aja?" tanya Mama.

"Memangnya kenapa? Apa aku harus dandan cuma buat ketemu dia?"

"Dia calon suami kamu, Mi, dandan sedikit lah. Nanti dia kabur lihat kamu pucat kayak mayat hidup begini," ucap Mama yang membuat hatiku kesal.

"Justru bagus kalau dia kabur, kalau perlu batalin sekalian pernikahan ini."

"Huss, Ami. Jangan sembarangan kalau ngomong." Aku tak mempedulikan teguran Mama, aku terlanjur kesal.

Seharusnya Mama bersyukur aku mau bertemu dengannya, tetapi penampilanku malah diprotes. Aku hanya akan menjaga penampilan di depan orang yang aku suka dan dia bukan orang yang harus membuatku menjaga penampilan.

"Pake ini sedikit." Tiba-tiba saja Mama mengambil sebuah liptint di atas meja riasku dan memberikannya padaku.

"Nggak mau, Ma!"

"Pakai cepat, lalu keluar temui Dimas!" Aku mengerucutkan bibirku sebal, aku segera memakai liptint itu tipis-tipis kemudian keluar dari kamar untuk menemui orang itu, sementara Mama pergi ke dapur karena masih ada yang harus dia urus.

"Ngapain kamu ke sini!?" tanyaku sinis ketika aku sudah berada di ruang tamu.

Aku melirik ke arah dia yang duduk di salah satu sofa ruang tamu, di atas meja ada plastik berisi makanan bermerek yang aku tahu harganya tidak murah. Apa dia berniat menyogokku dengan makanan itu? Dia pikir aku perempuan apaan yang akan luluh hanya karena diberi makanan? Melihat dia yang bawa makanan seperti itu aku jadi teringat masa lalu. Dulu saat aku masih kelas satu SMA, ada seorang kakak kelas yang mendekatiku. Dia royal padaku dan selalu memberiku makanan dan barang. Karena aku tidak mau pacaran dan menganggap semua teman, makanya aku mengajaknya sahabatan. Nyatanya kami terjebak friendzone dan ujungnya dia mendekati adik kelasku di saat urusan kami belum selesai, ck dasar playboy! Mengingat hal itu membuatku kesal, aku merutuki kebodohanku yang dulunya terlalu polos dan lugu.

"Mama bilang kamu suka ngemil, aku bawain ini buat kamu. Semoga kamu suka ya,"  ucapnya yang membuatku melirik kembali plastik berisi makanan itu.

"Nggak usah repot-repot, lagian aku nggak mau Pak Kades mengeluarkan uangnya karena anaknya mau bawa sesuatu ke rumah ini." Aku sengaja menyindir dia, dia yang masih sembilan belas tahun tentunya masih menjadi beban orangtua 'kan?

Mengingat aku akan menikah dengannya membuatku meringis, apa Pak Kades tidak berpikir anaknya ini seharusnya memiliki pekerjaan mapan dulu baru melamar anak gadis orang. Meskipun aku dari keluarga sederhana yang serba berkecukupan, tetapi aku tidak mau hidup susah. Setidaknya suamiku haruslah orang yang memiliki pekerjaan mapan, bukan bocah ingusan seperti ini.

"Kamu tenang aja, aku nggak minta uang sepeserpun ke Bapak," ucap Dimas yang membuatku hanya mencibir, tak percaya mendengar perkataannya.

"Memangnya kamu bekerja?" tanyaku sambil memilih duduk di sofa yang berada tepat di hadapannya, capek juga ternyata berdiri lama sambil bicara dengannya.

Kulihat dia mengangguk sambil tersenyum, senyum yang membuat siapa saja mungkin terpesona, tetapi tidak denganku. Aku hanya menganggapnya seorang bocah yang berani-beraninya melamar anak gadis orang yang usianya lebih tua darinya.

"Bekerja di mana?" Entah kenapa aku mulai penasaran.

"Alhamdulillah ada, cukup untuk kehidupan kita berdua nantinya," ucapnya mantap sambil terus memasang senyum.

"Pede banget kamu, siapa juga yang mau nikah sama kamu!?" tukasku ketus.

"Seminggu lagi kita akan menikah, persiapannya sudah lima puluh persen. Aku yakin kamu nggak mungkin kabur di hari pernikahan kita," ucapnya penuh percaya diri.

"Kamu tahu apa soal aku? Bisa jadi aku kabur di hari itu, kamu akan menanggung malu saat aku kabur nanti!"

"Aku tahu kamu nggak akan mungkin membiarkan keluargamu menanggung malu karena ulahmu, kamu nggak mungkin melakukan itu."

Yang dia katakan ada benarnya juga sih, aku tidak mungkin kabur karena itu akan membuat keluargaku malu. Bisa-bisa namaku dihapus dari KK kalau sampai nekat kabur. Namun, aku tidak mau menikah dengannya! Aku masih ingin menikmati kejombloanku ini.

"Kamu tenang aja, aku nggak akan membiarkan kamu mati kelaparan saat bersamaku. Aku usahakan kebutuhanmu akan tercukupi," ucapnya yang membuatku kembali menatapnya.

"Kamu kerja apa? Jangan bilang kamu tukang begal," tuduhku sambil memicingkan mata.

Dia sama sekali tidak marah kutuduh begitu, dia justru tertawa dan tawa itu sontak membuatku tertegun sejenak. Kenapa dia jauh lebih tampan saat tertawa? Tunggu... tampan kataku? Tidak! Otakku sudah gila sepertinya, mana mungkin otakku yang waras ini mengakui ketampanan bocah itu.

"InsyaAllah pekerjaanku halal, bukan tukang begal, perampok atau lainnya," ucapnya sambil tersenyum misterius.

"Ya kerja apa?" tanyaku penasaran.

"Nanti setelah menikah, kamu akan tahu."

"Kenapa harus setelah menikah? Kenapa nggak sekarang aja dikasih tahunya? Lagian ujung-ujungnya kita akan nikah, nggak masalah kalau dikkasih tahu sekarang," cerocosku tak sabar. Aku sangat penasaran dengan pekerjaan bocah itu sampai-sampai bisa membelikan cemilan mahal ini. Bukannya menjawab dia justru terus tersenyum dan itu membuatku semakin kesal.

"Kenapa malah senyum-senyum begitu? Aku butuh jawaban, bukan senyuman!"

"Kamu mengakui aku kalau aku adalah calon suami kamu, aku senang." Perkataannya membuatku sadar kalau tadi aku salah bicara.

"A-aku tadi salah bicara, itu gara-gara kamu nggak mau jawab. Padahal tinggal jawab kamu kerja apa, apa susahnya?" Aku memalingkan wajah karena malu, bisa-bisanya aku salah bicara dan membuatnya kegeeran seperti itu.

"Aku janji setelah kita menikah aku akan kasih tahu kamu," ucapnya yang tak lagi kujawab karena aku masih merasa malu.

Dasar Ami, kamu sendiri yang menolaknya terus-terusan, bisa-bisanya mulutmu ini juga asal bicara!

Suddenly MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang