Dalam lelapku, aku merasa kalau ada sesuatu yang menyentuh hidungku kemudian pipiku. Aku sedikit terganggu ketika ternyata sesuatu itu tak hanya menyentuh hidung dan pipiku, melainkan juga mencubitnya pelan. Sontak aku langsung membuka kedua mataku, aku sangat terkejut ketika wajah Dimas berjarak sangat dekat dengan wajahku. Sontak aku langsung mendorongnya agar menjauh dariku.
"Apa yang mau kamu lakuin!?" teriakku segera beranjak dari ranjang.
"Lancang banget ya kamu sentuh-sentuh pipi sama hidung aku!" tukasku menunjuk wajahnya dengan tatapan kesal sekaligus takut. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan padaku tadi, karena tadi aku sedang tidur. Bisa jadi dia melakukan hal-hal yang tidak aku inginkan.
"Aku cuma mau bangunin kamu, ini udah hampir lewat dzuhur. Sebenarnya aku nggak tega mau bangunin, tapi kamu 'belum shalat, belum makan juga." Mendengar ucapannya aku langsung melihat jam dinding, benar apa yang dia katakan. Ini sudah jam setengah dua, ternyata cukup lama juga aku tidur.
"Tapi nggak usah sentuh-sentuh bagian wajahku juga ya, kamu bisa tepuk pelan bahuku. Aku pasti bangun," sungutku kesal.
"Aku udah ngelakuin itu, tapi kamu nggak bangun juga. Kayaknya kamu kecapaian banget sampai nggak sadar ada yang bangunin," ucapnya.
Aku menatapnya tajam, tak percaya dengan apa yang dia katakan. Dia mungkin ingin membangunkanku, tetapi aku yakin sekali kalau dia berusaha mengambil kesempatan di saat aku tidak sadar.
"Terserah deh! Tapi ingat, jangan ulangi kesalahan itu lagi. Kamu dilarang sentuh-sentuh aku!" tukasku kemudian segera menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Saat keluar dari kamar mandi, aku melihat dia yang sedang duduk di tepi ranjang sambil memainkan ponselnya. Dia tersenyum sendiri ketika memandangi layar ponselnya itu, aku yang melihatnya hanya bergidik.
"Nggak mungkin dia kerasukan 'kan?" gumamku pelan.
Mengabaikan dia yang bertingkah seperti orang gila, aku memutuskan untuk melaksanakan kewajibanku. Aku mengambil mukenaku di dalam koper besar yang aku bawa dari rumah, aku mengernyit ketika tak sengaja menarik keluar sebuah pakaian yang tak layak pakai.
"Apa ini? Setahuku aku nggak punya baju kekurangan bahan kayak gini," gumamku sambil melihat pakaian yang tidak bisa disebut pakaian karena terlalu transparan, kalau tidak salah ingat pakaian ini disebut lingerie.
"Apa Mama? Atau malah Kak Adam? Aih, Kak Adam mana mungkin. Dia 'kan cowok, tapi bisa juga dia jahil." Aku mengamati lingerie itu, menebak kira-kira orang kurang ajar mana yang memasukkan pakaian haram ini ke dalam koperku.
"Ah iya! Pasti Rere pelakunya, kan dia tadi yang bantu aku mengemasi pakaianku. Dasar Rere, awas aja nanti."
"Ada apa?" Mendengar suara Dimas, aku langsung menyimpan kembali lingerie itu ke dalam koperku. Bisa gawat kalau dia melihatnya, lelaki itu 'kan pikirannya Riska bisa ditebak. Mana kami hanya berdua saja di kamar ini, agak berbahaya menunjukkan barang sensitif itu di depannya. Aku belum siap dicoblos!
"Nggak ada apa-apa, kok!" tukasku ketus.
Aku memalingkan wajahku, segera mengambil mukena dan melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslimah. Saat aku telah selesai dengan kewajibanku, aku melirik ke arah Dimas yang ternyata masih diam di tempatnya. Lelaki itu masih sibuk dengan ponselnya, aku memilih mengabaikannya dan justru mencari ponselku yang ada di dalam tas pakaian. Begitu aku menghidupkan data seluler, ada banyak pesan masuk dari teman-temanku. Mereka menanyakan kapan aku kembali ke kosan karena aku sudah pulang kampung lebih dari satu minggu.
Saat hendak membalas pesan itu, tiba-tiba saja perutku berbunyi. Aku meringis sambil memegangi perutku, lapar sekali rasanya. Ini sudah hampir jam dua siang, jam makan siangku sudah sangat terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...