"Kenapa nggak besok aja perginya, Mi? Waktu aku nggak sibuk, jadinya aku bisa anterin kamu. Kalau hari ini jadinya aku nggak bisa anter kamu," ucap Dimas.
Sedari tadi dia terus membujuk aku supaya kembali ke kosan besok saja, dia terus membujukku saat aku sedang berkemas. Bukannya apa ya, masalahnya hari ini aku harus bimbingan karena aku juga sudah membuat janji pada dosen pembimbingku dan kebetulan beliau juga bisanya hari ini. Makanya aku harus kembali hari ini, karena nanti siang aku harus bimbingan.
"Nggak bisa, Dimas, aku harus bimbingan siang ini," ucapku.
"Nggak bisa dibatalin apa bimbingannya? Ditunda jadi besok aja," ucapnya kembali membujukku lagi.
"Kamu pikir lagi mau ada janji sama temen apa sampai bisa dibatalin gitu aja? Ini dosen, Dimas, aku ada janji sama dosen pembimbing aku, ya kali mau aku batalin. Namanya cari mati ini, bisa-bisa nanti beliau nggak mau ditemui," ucapku menahan gemas ketika dengan seenak jidat dia mengatakan itu.
"Tapi aku masih rindu kamu, Mi, aku belum puas bareng kamu."
"Udah deh, jangan kayak anak kecil, Dim. Kamu sendiri yang mau nikah sama aku, jadi kamu seharusnya terima konsekuensi yang kamu dapatkan kalau nikah sama aku. Aku harus sering ke kosan, terus jarang pulang karena sibuk juga ngurusin kuliah aku. Kalau kamu mau yang selalu ada nemenin kamu, ya udah kamu cari aja cewek lain," ucapku.
"Kamu kok ngomongnya gitu sih? Aku mana mau cewek lain, aku maunya sama kamu. Kalau aku mau cewek lain, udah dari dulu akun nikahin dia dan bukan kamu. Nyatanya kamu yang aku nikahin karena aku cuma mau sama kamu," balasnya sambil menatapku tak suka.
Aku menghela napas, kemudian menghentikan kegiatanku yang sedang berkemas sejenak lalu menghampirinya sambil menatapnya yang sedang merengut. Ini yang aku tidak suka karena menikah dengan lelaki yang umurnya di bawahku, karena dia manja dan masih sedikit kekanakan. Tetapi mau bagaimana lagi kalau aku sudah terlanjur menikah dengannya?
"Makanya, Dimas, Sayangku. Jangan banyak ngeluh," ucapku sambil mencubit kedua pipinya.
Tiba-tiba wajah cemberutnya tersenyum dan tanpa aku duga dia langsung menarikku agar masuk ke dalam pelukannya, "Eh, apaan nih? Kok tiba-tiba main peluk gini?" tanyaku sambil berusaha melepaskan pelukannya, tetapi dia malah mengeratkan pelukannya.
"Aku senang karena kamu panggil aku sayang, sering-sering panggil aku kayak gitu ya, Mi, biar kamu juga bisa makin sayang sama aku," ucap Dimas yang membuatku tersenyum jahil.
"Dih, emang siapa yang sayang sama kamu? Aku loh nggak sayang sama kamu. Ngapain juga aku sayang sama bocah yang dengan beraninya nikahin perempuan yang usianya di atasnya?" Aku sontak langsung melepas pelukannya kemudian sedikit menjaga jarak darinya, karena dekat-dekat dengannya itu sama sekali tidak aman bagi jantungku.
"Cuma selisih dua tahun aja, Mi, nggak masalah itu." Aku kembali mencibir ketika mendengar perkataannya.
"Kamu harus sayang sama aku, aku suami kamu yang harus kamu sayangi sepenuh hati. Sayang sama suami itu hukumnya wajib!" ucap Dimas dengan nada memaksa.
"Hukum dari mana itu? Hukum buatan kamu sendiri?" cibirku lagi yang membuatnya mendengkus kesal.
"Kamu kok gitu sih sama suami sendiri? Padahal kita ini mau berpisah bentar lagi, harusnya kamu manis sama aku supaya seenggaknya aku bisa ingat terus sikap manis kamu kalau aku kangen sama kamu. Barangkali habis itu rasa kangen aku ke kamu bisa sedikit berkurang, Mi."
"Yakin? Kalau gitu kamu nggak usah temuin aku sampai aku pulang sendiri ke rumah ya," ucapku sengaja menantangnya.
"Mana bisa begitu dong, Mi!" Dia langsung protes dan aku hanya tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...