Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur, rasanya sangat lelah setelah mengalami perjalanan selama dua jam dengan mengendarai motor seorang diri dari rumah menuju kosan ini. Setelah kejadian malam itu, hari ini aku langsung memutuskan untuk kembali ke kosan. Aku tidak mau berlama-lama di rumah, karena itu tidak ada gunanya. Ayah dan Mama sudah terlanjur setuju menerima lamaran yang diajukan keluarga Pak Kades. Padahal aku yang akan menikah, tetapi mereka sama sekali tidak meminta persetujuanku dan justru malah bertanya pada orangtuaku. Mengingat kejadian itu membuatku benar-benar kesal, aku bahkan memukul bantal saking kesalnya.
"Kenapa lo? Kayak banyak masalah aja," ucap Silvi—teman yang tinggal satu kosan denganku.
"Emang lagi banyak masalah," balasku yang kini memilih duduk.
"Biasanya juga kalau pulang dari rumah lo ceria karena dapat uang bulanan, masalah apa yang membuat seorang Ami mendadak kusut padahal habis pulang kampung?" tanya Silvi agak berlebihan dalam mendeskripsikan tentangku.
"Ami yang gue tahu kalau abis pulang kampung itu ceria, eh iya biasanya lo bawa oleh-oleh. Mana oleh-oleh buat gue? Biasanya lo bawa pisang satu tandan, basreng, sayuran sama jajanan. Mana nih? Kok nggak ada?" Karena kesal, aku melempar bantal terdekatku ke arahnya.
"Gue nggak sempat bawa apa-apa, keburu kesal sama orang rumah!" sungutku.
"Kesal kenapa? Coba cerita sama gue."
"Pokoknya masalahnya panjang banget, lo nggak bakalan ngerti. Kalau gue ceritain juga lo pasti nggak bakalan percaya," ucapku.
Aku kenal Silvi dengan baik, selama dua tahun aku berteman dan satu kamar kosan dengannya membuatku mengenalnya. Dia tahu kalau aku tidak mau pacaran, mana mungkin dia percaya kalau aku katakan aku sudah dilamar. Lagipula aku tidak mau menceritakan hal menyebalkan itu, aku ingin di kota ini aku bisa melupakan sejenak kekesalanku saat aku berada di desa.
"Ih masalah apaan sampai gue nggak bakal percaya kalau lo cerita? Lo bikin gue penasaran aja," ucap Silvi.
"Nanti kapan-kapan gue ceritain, sekarang jangan ganggu gue. Gue mau istirahat sebentar, semalam gue nggak bisa istirahat di rumah." Aku kembali merebahkan tubuh yang lelah ini di atas tempat tidurku, kemudian mulai memejamkan mata. Aku hanya berharap kalau kejadian semalam hanyalah mimpi dan saat aku terbangun, itu semua tidak benar-benar terjadi di kehidupan nyata.
"Mi, bangun! Ada crush lo di depan gerbang."
"Bangun...."
"Ami, bangun ih!"
Samar-samar aku mendengar suara Silvi, kemudian aku merasa tubuh ini diguncang. Sebenarnya aku sangat mengantuk, tetapi karena Silvi terus memaksaku akhirnya aku membuka mata.
"Ada apaan sih? Gue ngantuk ini," dumelku.
"Di depan gerbang kosan kita ada Dika, lo nggak mau ketemu sama pujaan hati lo?" Mataku yang setengah terbuka kini terbuka sepenuhnya saat mendengar nama pujaan hatiku disebut Silvi.
"Apa? Dika? Ngapain dia ke kosan kita?" tanyaku.
"Kayaknya sih dia mau ngembaliin ulekan yang sempat dia pinjem kemarin sih," ucap Silvi yang membuat aku mengernyit.
"Perasaan yang kemarin minjem ulekan itu Aska deh bestienya Kintan, kenapa jadi Dika yang balikin?" tanyaku bingung.
"Ya nggak tahu, mereka 'kan sahabatan. Bisa jadi si Aska lagi ada urusan, cepat sana temuin dia. Kapan lagi lo bisa ketemu sama dia 'kan? Apalagi kita udah nggak ada kelas," ucap Silvi meminta aku buru-buru pergi. Dia bahkan melempar hijab langsungan yang tergantung di dekat pintu agar aku bisa cepat.
"Ya udah deh gue ke sana."
"Jangan manyun gitu, senyum dong! Mau ketemu gebetan kok mukanya asem kayak belum mandi aja."
"Emang gue belum mandi!" timpalku lantas bergegas menuju gerbang kosan.
Seketika aku merasa gugup ketika keluar dari gerbang, di sana ada Dika. Laki-laki itu tidak sendiri, melainkan bersama dengan Farhan—teman satu kelas kami juga. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Dika dan Farhan, terakhir kami bertemu mungkin saat menghadiri seminar proposal Farhan.
"Mau balikin ulekan ya?" tanyaku.
"Iya nih, Mi," ucap Farhan.
"Kok kalian yang balikin? Mana Aska?" tanyaku.
"Aska lagi ada urusan, maaf ya balikinnya telat."
"Iya, nggak apa-apa."
Aku melirik ke arah Dika, dia yang memegang ulekan itu. Tetapi Dika sama sekali tak langsung memberikan ulekan itu, aku agak sungkan mau memintanya.
"Ulekannya," ucapku tak enak.
"Ini, makasih ya, Mi." Aku menerima ulekan itu sambil menganggukkan kepalaku.
"Besok-besok kalau lo sempro kabarin, Mi."
"Iya tenang aja, Dika juga jangan lupa kabarin kalau sempro. Lo juga Far, kabarin nanti kalau udah munaqosah, jangan kayak pas sempro ini dadakan banget lo ngabarin kita," ucapku pada mereka.
"Iya beres, tenang aja, Mi. H-1 bulan nanti gue langsung kabarin."
"Itu mah kecepatan, Farhan."
"Ya udah deh kita pulang dulu ya, Mi, masih ada urusan soalnya."
"Iya, hati-hati. Makasih ya udah balikin ulekan ini dengan selamat," ucapku sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
Hal yang tak aku duga, Dika juga ikut melambaikan tangannya sambil tersenyum kecil. Aku membeku karena yang aku tahu dia sangat cuek, tetapi akhir-akhir ini dia memang lebih sering tersenyum dari biasanya, dia juga jadi lebih sedikit ramah padaku dari biasanya. Aku memegangi dadaku, setiap hal yang menyangkut Dika tidak pernah tak membuat jantungku berdebar kencang.
"Ah, meleyot hati ini," ucapku sambil memegangi gerbang besi itu karena tak tahan melihat senyum Dika.
Niatnya hari ini aku ingin istirahat, tetapi tiba-tiba ada kabar kalau salah satu teman sekelas kami ada yang sidang seminar proposal. Akhirnya aku, Silvi, Kintan dan Asma memutuskan untuk menghadiri sidang itu. Ternyata Dika juga menghadirinya, aku merasa senang karena bisa bertemu dengannya lagi dan seperti biasanya aku akan bertingkah seperti perempuan pemalu saat bertemu dengannya. Aku tidak berani berinteraksi dengannya karena takut diabaikan, aku juga tidak pandai mencari bahan pembicaraan.
"Kayaknya habis ini kamu yang nyusul, Mi," ucap Dika yang membuatku sedikit tersentak.
"Mana mungkin! Aku aja baru ngerjain dikit, Dik. Kayaknya kamu yang duluan nyusul nih," balasku.
"Kamu dapat dospem siapa?" tanyaku.
"Bu Listi."
"Judulnya udah keterima?"
"Udah."
"Tentang apa?"
"Eum, apa ya? Kurikulum merdeka," ucapnya.
Aku hanya mengangguk, hingga pembicaraan itu selasai begitu saja. Selalu seperti ini karena aku tak pandai mencari pembicaraan. Lagipula Dika seperti ini bukan denganku saja kok, dengan sahabat dekatnya saja dia juga seperti ini. Aku saja sampai bingung dia ini sebenarnya manusia apa patung, kuat sekali bersikap kaku seperti ini.
Namun, tak dapat dipungkiri aku menyukainya, dialah pujaan hatiku selama tiga tahun ini. Aku menyukainya karena sifat tak pedulinya ini, karena aku berpikir kalau memiliki hubungan dengan orang yang seperti Dika ini meminimalisir perselingkuhan karena dia tidak suka berhubungan dengan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...