Bab 22 | Salah Sangka

2.4K 120 8
                                    

Setelah perjalanan lebih dari dua jam, akhirnya kami sampai juga di rumah Pak Kades. Rumah kosong sekali karena kata Dimas kedua orangtuanya saat ini sedang berada di rumah Mbak Dian. Maklum saja karena yang khitan itu cucu pertama dari keluarga Dimas, sehingga Pak Kades dan istrinya sudah jauh-jauh hari pergi ke sana. Beruntung Dimas memiliki kunci rumah cadangan sehingga kami tetap bisa masuk meskipun tidak ada orang di rumah.

"Kita ke rumah Mbak Dian sore aja ya habis ashar atau kalau nggak habis maghrib," ucap Dimas ketika kami memasuki rumah.

"Loh? Kenapa nggak sekarang aja?" tanyaku sambil melihat jam di dinding yang masih menunjukkan pukul satu siang. Tadi kami di perjalanan sudah mampir ke masjid untuk melaksanakan shalat dzuhur sekalian makan siang, sehingga ketika tiba di rumah tidak perlu memikirkan hal itu lagi.

"Kita 'kan habis perjalanan, kamu pasti capek. Jadi kita istirahat aja dulu sebentar," jawab Dimas.

"Aku nggak capek, Dim, aku malah banyak tidur tadi di perjalanan."

"Tapi, aku capek, Ami, jadi temenin aku istirahat ya," ucapnya yang membuatku terdiam.

Dia yang menyetir mobil, bolak balik dari sini ke kosanku kemudian ke sini lagi. Jelas saja Dimas lelah, sehingga aku tidak banyak berkata lagi dan mengikutinya saja menuju kamar. Saat kami tiba di kamar, Dimas langsung naik ke atas ranjang. Semantara aku pergi ke kamar mandi dulu untuk mencuci wajah sekalian memenuhi panggilan alam. Kemudian setelah selesai, aku keluar dari kamar mandi.

"Sini, Mi," ucapnya sambil menepuk sebelah sisi yang kosong.

"Ngapain?" tanyaku.

"Kamu tadi janji mau nemenin aku istirahat, sini temenin aku. Aku kangen sama kamu, Mi, pengen tidur sambil peluk kamu," ucapnya yang membuatku bergidik karena suaranya terdengar seperti anak kecil yang sedang merengek.

Meskipun dia suamiku, tetapi tidak dapat dipungkiri kalau Dimas ini masih terlihat manja dan seringkali merengek. Tak hanya saat ini saja, tetapi saat ditelepon pun dia juga begitu. Seharusnya aku maklum karena usia dia saja masih sembilan belas tahun, tetapi tetap saja aku belum terbiasa dengan sikapnya itu.

"Aku nggak janji buat nemenin kamu ya, Dim, aku tadi bahkan cuma diam aja."

"Kamu kalau mau istirahat ya istirahat aja, lagian aku tadi udah banyak tidur. Jadi, sekarang aku nggak ngantuk," ucapku lagi.

"Niatnya aku mau langsung ke rumah orangtuaku, tadi aku belum sempat kasih tahu Mama atau Ayah kalau aku pulang."

"Aku udah kasih tahu Mama kalau kamu ada di sini," ucap Dimas yang membuatku langsung menatapnya.

"Baguslah, jadi kalau aku ke sana sekarang, Mama nggak kaget," balasku.

Aku bahkan kini mengambil pakaianku yang ada di dalam lemari, beberapa pakaianku memang ada di lemari kamar ini. Setidaknya aku ingin pergi ke rumah orangtuaku dengan memakai ya setidaknya pakain yang layak, tidak hanya memakai pakaian santai dan cardigan saja. Aku pulang ke sini juga dadakan, ini semua karena Dimas yang langsung membawaku kabur dan tak membiarkanku pulang ke kosan mengambil barang.

"Mama kamu nggak ada di rumah, Mi, Mama udah pergi ke rumah Mbak Dian."

"Kamu tahu dari mana?" tanyaku.

"Ya aku tahu lah, aku 'kan nanya sama Mama, makanya udah sini kamu temenin aku tidur aja." Mendengar perkataannya membuatku berdecih, kesal sekali karena dia memaksaku tidur menemaninya. Aku tidak mengantuk kok ya disuruh tidur, ya jelas aku tidak mau.

"Kamu kok maksa terus sih? Kalau tidur ya tidur aja, nggak usah ngajak orang yang nggak ngantuk buat tidur," ucapku kesal.

"Aku cuma mau minta ditemenin, Mi."

Suddenly MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang