"Dimas, bangun, udah sore ini." Aku mencoba membangunkan Dimas yang masih terlelap di tempat tidurnya.
"Hmm, jam berapa ini, Mi?" gumamnya sambil membuka mata.
Aku sedikit terkejut karena ternyata tidak susah membangunkan dia dari tidurnya, padahal tadi aku hanya membangunkannya dengan suara saja dan sama sekali tidak menyentuh lengannya. Namun, semudah itu dia bangun? Tetapi itu tidak masalah, justru bagus kalau Dimas mudah untuk bangun. Karena akan menjadi masalah bagiku untuk membangunkannya kalau dia susah untuk dibangunkan.
"Udah jam empat sore ini, sana kamu shalat ashar dulu," ucapku padanya yang kini sudah benar-benar terbangun.
"Jam empat?" gumamnya sambil terduduk.
"Kamu udah shalat?" tanyanya yang langsung aku balas dengan anggukkan.
"Kenapa kamu nggak bangunin aku dari tadi, Mi? Kan kita bisa shalat berjamaah," ucapnya.
"Tadinya aku mau bangunin kamu, cuma aku nggak tega karena kamu kelihatannya lelap banget. Ya udah aku biarin kamu tidur bentar lagi," balasku yang malah membuatnya cengengesan.
"Kenapa senyum-senyum gitu? Sana wudhu, habis ini katanya kita mau ke tempat Mbak Indah."
"Aku bahagia karena kamu peduli sama aku, Mi," ucap Dimas yang membuatku langsung menatapnya heran, memangnya hanya karena rasa kasihan hingga aku tidak membangunkannya itu bentuk kepedulian?
"Kebahagiaan kamu berasal dari hal kecil seperti ini, Dim?" tanyaku keheranan karena aku rasa hal seperti ini tidak perlu membuat Dimas terlalu senang.
Dia menggangguk sambil menatapku, "Apapun yang berasal dari kamu, aku bahagia, Mi," ucapnya yang membuatku langsung mencibir.
"Gombal! Udah sana kamu wudhu, kita jadi mau ke tempat Mbak Indah 'kan?"
"Iya, jadi."
"Ibu udah pulang, tadi aku sempat ketemu. Katanya ada acara nanti malam di rumah Mbak Indah, awalnya nyuruh kita datangnya malam aja. Cuma aku merasa nggak enak, masa iya kita datang malam? Siapa tahu sore ini ada yang perllu dibantu 'kan," ucapku panjang lebar.
"Kamu nggak perlu bantu apa-apa, Mi, lagian di sana pasti ada banyak tetangga yang datang. Biar mereka aja yang bantu," ucapnya.
"Ck, tetap aja aku merasa nggak enak."
"Cepet ah sana kamu wudhu, aku mau ganti baju ini," ucapku ketika dia masih saja berasa di sini, padahal maksudku kalau dia ke kamar mandi aku bisa bergegas ganti pakaian.
"Nggak mau ganti baju di depan aku aja, Mi?" tanyanya sepertinya sengaja menggodaku.
"Jangan aneh-aneh ya, Dimas, sana kamu buruan pergi!" usirku sambil mendelik kesal.
Dia malah tertawa, kemudian segera pergi ke kamar mandi. Kemudian setelah dia benar-benar masuk ke kamar mandi, aku segera berganti pakaian dengan cepat, takut kalau nanti dia keburu keluar dari kamar mandi sementara aku belum memakai baju. Meskipun aku tidak malu menampakkan rambutku di depannya, tetapi aku malu kalau harus memperlihatkan tubuhku di depannya.
"Yah, udah selesai aja kamu ganti bajunya. Padahal, aku 'kan mau lihat," ucapnya saat dia keluar dari kamar mandi.
"Pikiran kamu kok mesum terus sih? Bisa nggak itu otak dibersihin bentar?" decakku sebal.
"Kamu nggak bisa bilang kalau aku ini mesum, Mi, kita juga belum ngapa-ngapain 'kan? Lain halnya kalau kita udah—"
"Udah sana kamu shalat, Dimas, terus siap-siap." Aku langsung memotong perkataannya sebelum dia mengatakan hal yang tidak pantas untuk aku dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...