"Dim, ini barusan Mama aku kirim pesan, katanya untuk malam ini kita disuruh nginep di rumah," ucapku pada Dimas yang baru keluar dari kamar mandi.
"Ya ampun, Dim! Pakai baju dulu kenapa sih!?" pekikku ketika sadar kalau dia keluar dari kamar mandi hanya memakai celana selutut dan tidak pakai kaus.
Dia malah tergelak dan justru mendekatiku, bukannya langsung memakai baju juga. Aku sontak memalingkan wajah, sangat malu sekali melihat tubuh bagian atasnya yang terpampang dengan jelas di depanku. Tadi kalau tidak salah lihat, tubuh bagian atasnya itu bagus dan atletis. Dadanya yang bidang, bahunya yang keras dan nyaman untuk bersandar, juga lengan penuh otot itu... ya ampun, Ami! Aku langsung menggelengkan kepala, tidak seharusnya aku memikirkan hal seperti itu.
"Memangnya kenapa sih kalau aku nggak pakai baju? Di depan kamu ini, lagian kan nggak ada salahnya kalau cowok nggak pakai baju bagian atas. Apalagi kamu istriku, Mi, mau lihat lebih dari ini juga boleh," ucapnya yang membuatku berdecak kesal.
Tak tahan dengan situasi seperti ini, aku langsung beranjak dari atas tempat tidur menuju lemari pakaian. Aku mengambil salah satu kaus berwarna hitam milik Dimas, kemudian langsung memaksa agar dia menerima baju itu.
"Pakai! Aku nggak mau ngomong sama kamu sebelum kamu pakai baju!" ucapku.
"Iya-iya, Istriku." Akhirnya dia menurut juga dan langsung memakai kausnya walau sebelum itu dia sempat mengedip genit ke arahku dulu.
"Kamu sensi banget sih lihat aku nggak pakai baju, Mi," ucapnya yang membuatku hanya melirik sinis ke arahnya kemudian kembali duduk di tepi ranjang.
"Bukan sensi, Dim, cuma...." Aku takut khilaf.
Kalimat terakhir tentu aku ucapkan dalam hati, karena kalau sampai dia mendengarnya sendiri, bisa-bisa gawat nanti. Dia akan kegeeran dan menganggap kalau aku tertarik pada tubuhnya, ya ampun kenapa juga pikiranku jadi seperti ini.? Pikiranku jadi seperti perempuan murahan yang tak punya harga diri, sadar Ami! Kamu harus sadar! Aku memukul pipiku untuk menyadarkan otakku yang agaknya mulai bermasalah.
"Kamu kenapa pukul pipi kamu sendiri, Mi?" tanya Dimas sambil menatapku heran.
Aku berdehem pelan, "Nggak apa-apa, tadi ada nyamuk!" jawabku ketus.
"Tadi kamu bilang apa, Mi?" tanya Dimas sambil duduk di sampingku.
"Bilang apa emangnya?" tanyaku balik.
"Loh? Bukannya tadi kamu bilang sesuatu ya?"
"Mana ada, aku nggak pernah bilang apa-apa ya!" tukasku ngegas, apa dia tadi sempat mendengar bisikan hatiku ya? Kalau sampai dia tahu, bisa mati aku.
"Kayaknya tadi aku sempat dengar deh, kamu ngomongin soal Mama."
"Oh Mama!" Aku langsung tertawa garing ketika sadar apa yang dia maksud.
Dalam hati aku mengumpat, bisa-bisanya otakku yang lola ini semakin lolalita saja. Apa mungkin gara-gara melihat pemandangan indah tadi? Eh, sadar Ami! Aku menepuk pipiku sekali lagi agar aku segera sadar.
"Masih banyak nyamuk ya?" tanya Dimas.
"Huh? Nggak kok."
"Tapi kamu pukul pipi kamu terus sampai merah gitu kok," ucap Dimas.
Tiba-tiba saja dia mendekat, kemudian meraih wajahku dan mengusap pipiku dengan lembut. Aku tertegun dengan apa yang dia lakukan padaku saat ini.
"Jangan pukul pipi kamu dengan keras kayak gini, Mi, kasihan pipi kamu jadi merah gini." Sontak aku refleks emejamkan mata ketika dia meniup pipiku pelan, ampun meleleh hatiku karena ulahnya yang tiba-tiba ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...