"MasyaAllah, cantiknya pengantin baru ini." Rere langsung memujiku begitu dia selesai mendandaniku.
"Nggak sia-sia aku belajar tutorial makeup di internet, akhirnya kepake juga hari ini. Kamu cantik banget, Mi, aku yakin suami kamu bakalan terpesona sama kamu."
"Hmm, makasih ya, Re. Walaupun aku nggak minta kamu buat dandanin aku tapi kamu tetep maksa," ucapku.
"Ya jelas harus lah! Mau ke rumah mertua itu harus tampil cantik, supaya Pak Kades dan istrinya nanti terpesona melihat kecantikan menantunya," balas Rere nampak sangat bersemangat sekali.
Ibu hamil itu menatapku dari atas sampai bawah dengan tatapan kagumnya, aku sedikit risih karena Rere menatapku seakan sedang menilaiku. Tetapi terserah dia saja lah, aku mau protes pun juga percuma.
"Udah selesai?" tanya Mama yang tiba-tiba muncul di balik tirai gorden kamarku.
"Udah dong, Wak! Lihat nih hasil kerjaku, Ami jadi cantik banget 'kan?" tanya Rere sambil menunjukku seakan aku adalah barang yang habis dia permak.
"Masyallah, anak Uwak jadi cantik banget. Makasih ya, Re, kamu pinter banget dandanin Ami. Buka salon aja gih, Re, Uwak yakin kalau salon kamu pasti laris di kalangan remaja yang mau wisuda," ucap mamaku.
"Hehe, nanti deh Wak. Aku lagi hamil juga ini, Mas Beri pasti nggak ngizinin aku capek-capek," balas Rere. Aku hanya diam saja, masih kesal pada Mama yang memaksaku ke rumah Pak Kades. Walaupun sebenarnya aku harus terima itu saat menyetujui pernikahanku dengan Dimas.
Rumah Pak Kades tidak terlalu jauh dari rumahku, sehingga kami pergi ke sana hanya berjalan kaki. Saat ini aku merasa malu karena menjadi pusat perhatian orang-orang, aku seperti pengantin yang diarak-arak oleh para tamu kalau begini caranya. Padahal aku tidak ingin berlebihan, tetapi nyatanya mereka malah membuat acara yang seharusnya sederhana ini menjadi berlebihan. Saat tiba di rumah Pak Kades, aku merasa sangat lega. Lega karena tak lagi menjadi pusat perhatian orang-orang, selama ini aku tak suka menjadi pusat perhatian. Saat di rumah pun aku jarang keluar, tetapi tiba-tiba saja hari ini aku justru ditatap dengan tatapan yang berbeda-beda oleh para tetangga.
Akhirnya kami tiba di rumah Pak Kades, rumah Pak Kades sangat besar. Bahkan memiliki dua lantai, berbeda dengan rumahku yang hanya satu lantai dan tidak terlalu besar. Di depan rumah Pak Kades kami sudah disambut dengan beberapa keluarga dari Dimas, kedua kakaknya, Pak Kades dan Bu Kades tentunya dan juga beberapa sanak saudara. Entah mengapa aku merasa gugup saat ini, hingga tiba-tiba aku merasakan genggaman di tanganku. Aku menoleh dan ternyata Dimas pelakunya.
"Jangan gugup," bisiknya berusaha menenangkanku.
"S-siapa yang gugup?" balasku ketus.
"Mentang-mentang di sini banyak orang, kamu cari kesempatan dalam kesempitan ya?" tukasku langsung melepas paksa genggaman tangan kami.
"Kamu suudzon terus, padahal aku cuma berusaha nenangin kamu." Aku hanya diam, memilih mengabaikan dia yang berusaha mencari perhatianku.
"Selamat datang di kediaman kami," ucap Pak Kades langsung menyapa kami dengan ramah.
"Ayo silakan masuk!" ajaknya hingga kami pun satu persatu memasuki rumah Pak Kades yang luas ini.
Kami duduk di lantai yang sudah dialasi dengan karpet tebal lembut yang nyaman. Di rumah ini ada banyak barang unik yang harganya juga pasti mahal. Sangat berbeda dengan rumah kami yang tak terlalu banyak barang hiasan.
"Kami senang akhirnya bisa melihat keluarga Pak Darmawan datang ke kediaman kami," ucap Pak Kades mulai membuka suaranya.
"Kedatangan kami ke sini ingin mengantar putri semata wayang kami ke rumah Bapak sebagai menantu keluarga ini. Saya mohon terima Ami dengan baik di keluarga Bapak ya. Kalau misalkan ada sikap ataupun perbuatan Ami yang kurang berkenan nantinya, jangan pernah memarahinya. Nasihati dia baik-baik, saya yakin Ami pasti akan mendengarkan nasihat itu. Tolong perlakukan Ami seperti putri kandung di keluarga ini. Hanya itu yang saya minta, Pak, Bu," ucap Ayah yang membuatku terharu mendengarnya. Aku jarang mengobrol dengan Ayah, tak menyangka kalau hari ini Ayah akan mengatakan kalimat yang membuatku hampir menangis menahan rasa haru yang membuncah.
"Tentunya kami akan menerima kehadiran Nak Ami dengan tangan terbuka. Bapak dan Ibu tenang saja, InsyaAllah kami akan memperlakukan Ami dengan baik. Saya dan keluarga tidak pernah membeda-bedakan antara anak ataupun menantu. Semua kami perlakukan dengan sama," ucap Pak Kades yang membuat semua orang merasa lega mendengarnya.
Acara hari ini diisi dengan obrolan para keluarga. Para bapak-bapak mengobrol dengan bahan mereka masing-masing, sementara ibu-ibu pun begitu. Aku dan Dimas terpisah karena Dimas berasa di dekat Pak Kades, sementara aku duduk di samping Mama dan Rere.
"Mi, cobain deh kuenya. Ini enak banget loh," ucap Rere sambil menunjuk kue lapis legit yang ada di atas piring.
"Semua aja kamu bilang enak, Re. Dasar bumil," balasku sambil geleng-geleng kepala. Pasalnya tidak sekali dua kali Rere memintaku mencoba berbagai makanan yang ada di sini.
"Ih aku serius tahu, enak banget ini. Rugi kalau kamu nggak coba, ayo buka mulutnya biar aku suapin." Aku hendak menolak, tetapi Rere sudah mendekatkan potongan lapis legit itu di dekat bibirku dan akhirnya mau tak mau aku pun membuka mulutku.
"Gimana? Enak 'kan?" tanya Rere terlihat puas saat melihat ekspresiku.
"Iya enak, manisnya pas," jawabku.
"Kamu suka lapis legitnya, Mi?" Aku terkejut ketika tiba-tiba saja Bu Kades bertanya padaku.
"I-iya, Bu," jawabku sambil tersenyum canggung.
"Nanti Ibu ajarin bikinnya, kebetulan lapis legit itu bikin sendiri," tutur Bu Kades yang membuatku terkejut. Tadinya kupikir semua kue yang ada di sini itu beli.
"Senang 'kan punya mertua bisa bikin kue? Nanti kamu minta ajarin Bu Kades aja bikin kue. Kamu 'kan paling suka eksperimen bikin kue di rumah walaupun sering gagal," bisik Mama sambil tersenyum yang membuatku agak kesal.
"Eh, Ami mau lihat kamar Dimas nggak?" Tiba-tiba saja Mbak Indah bertanya.
"Apa, Mbak?" tanyaku yang kurang mendengar pertanyaan Mbak Indah karena tadi sibuk berbisik dengan Mama.
"Itu kamu mau ke kamar Dimas nggak? Mumpung Dimas mau ke atas itu," ucap Mbak Indah yang membuatku seketika melihat ke arah Dimas yang hendak meninggalkan para laki-laki yang sedang mengobrol.
"N-nanti aja, Mbak," ucapku.
"Sekarang aja nggak apa-apa, Mi, kamu butuh istirahat. Kamu 'kan semalam begadang," ucap Dimas yang tiba-tiba ikut nyeletuk yang membuat semua mata tertuju padaku. Aku tahu arti tatapan dari mereka, mereka jelas salah paham. Mereka pasti berpikir aku begadang karena melakukan yang iya-iya, padahal kenyataannya aku begadang demi menyelesaikan proposalku.
"Udah sana, Ami, sama Dimas istrahat. Kita semua nggak apa-apa kok ditinggal, semua pada paham dan pernah ngerasain di posisi kamu," tutur Mbak Dian—kakak pertama Dimas.
Aku pasrah dan akhirnya ikut juga ke kamar Dimas, nanti sampai di sana aku akan membuat perhitungan pada laki-laki itu. Bisa-bisanya dia mengatakan kalimat ambigu seperti itu yang membuat semua orang salah paham.
***
Bikin perhitungan macam apa yang Ami maksud ya? Wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...