Bab 7 | Kabur

3.3K 144 0
                                    

Beruntung tidak ada acara pesta, sehingga acara pada hari ini hanya sampai siang saja. Aku tak bisa membayangkan betapa lelahnya tubuh ini kalau sampai ada acara pesta seperti kebanyakan tetangga menikah lainnya, di mana pesta itu akan berlangsung sampai malam. Itu semua karena permintaanku, aku memang meminta tidak perlu ada acara pesta itu karena merepotkan bagiku. Awalnya keluargaku khususnya Mama menolak dan tetap ingin adanya pesta, tetapi aku sedikit mengancam akan kabur kalau sampai benar-benar ada pesta. Dan ya, ternyata aku menang, meskipun suara untuk tidak melakukan pesta hanya satu yaitu aku sendiri, tetap tetap suaraku yang menjadi pemenangnya.

"Kak, minjem kunci motor dong," pintaku pada Kak Adam.

Kakakku ini baru pulang dari Tangerang dua hari sebelum pernikahan ini terjadi. Kemungkinan dua hari lagi dia akan kembali ke Tangerang karena pekerjaannya tidak bisa ditinggal.

"Buat apa?" tanya Kak Adam.

"Kasih aja kenapa sih, Kak? Pake banyak tanya segala," keluhku.

"Kenapa nggak pakai motormu aja? Kenapa harus motor Kakak?" Meskipun menggerutu begitu, Kak Adam tetap memberikan kunci motornya padaku.

"Males aku ngeluarin motor, lagian di rumah masih ada beberapa keluarga yang menginap. Aku pinjem bentar ya motornya, Kak. Nanti kalau orang rumah nyariin, bilang aja aku pergi sebentar. Mau cari ketenangan," ucapku langsung kabur dari hadapan Kak Adam.

"Hei, Ami! Mau ke mana!? Nanti Kakak kena marah kalau kamu asal kabur gitu!" teriak Kak Adam yang sama sekali tak aku pedulikan.

Aku sudah keburu membawa motornya kabur dari rumah, hanya Kak Adam yang tahu kalau aku pergi. Bahkan aku tak memberitahu Mama ataupun suamiku kalau aku pergi, ck suami... aku jadi geli sendiri menyebut laki-laki itu sebagai suamiku. Aku mengendarai motor Kak Adam menuruni jalanan aspal, ada banyak rumah penduduk desa di sini hingga rumah-rumah itu perlahan tak terlihat dan tergantikan dengan hamparan sawah luas berwarna hijau yang memanjakan mata.

Aku menghentikan laju motor saat tiba di area perbukitan, aku turun dari motor dan duduk di sebuah bangku yang tersedia di sana. Suasana di sini cukup sepi meskipun ini dekat dengan pinggir jalan yang sudah aspal, mungkin karena tak banyak orang yang melewati jalanan sepi ini. Meskipun sepi, aku sama sekali tidak takut karena tanah ini adalah lahan milik keluargaku dan ada banyak tetangga yang sedang menanam ataupun memanen sayuran.

Aku menghela napas panjang, menikmati keindahan alam ini sambil memikirkan masa depanku nantinya. Aku masih tak percaya kalau hari ini aku resmi menjadi istri orang, aku mengingat kembali kejadian beberapa hari yang membuatku masih tak percaya dengan nasib yang menimpaku ini. Aku sengaja tidak membawa ponsel, karena aku tidak ingin ada yang menggangguku. Aku ingin mencari ketenangan di sini, melihat pemandangan ini membuatku sedikit tenang.

"Ternyata kamu di sini." Aku terkejut saat mendengar suara seseorang, aku menoleh dan semakin terkejut ketika melihat Dimas. Laki-laki itu baru saja turun dari motornya, mengapa aku tak sadar kalau dia datang ya? Sepertinya aku terlalu menikmati keindahan alam ini sehingga tak sadar ada orang lain di sini.

"Kok kamu tahu aku ada di sini?" tanyaku merasa heran karena aku sama sekali tidak memberitahu Kak Adam kalau aku akan ke sini. Apa dia cenayang sampai-sampai tahu ke mana aku pergi?

"Instingku mengatakan kamu ada di sini," jawabnya sambil duduk di sebelahku.

Aku mencibir, tak percaya mendengar jawabannya. Mana mungkin dia langsung tahu aku ada di sini hanya karena instingnya, apalagi kami tak sedekat itu sampai-sampai dia tahu tempat kesukaanku.

"Jawab yang bener, kok kamu tahu aku di sini? Kamu nggak pasang CCTV kan di tubuhku?" tanyaku dengan mata yang memicing.

"Cincin yang kamu pakai itu ada CCTV-nya," jawabnya yang membuatku langsung melihat ke arah cincin yang terpasang di jari manisku, cincin kawin yang dia pasangkan setelah ijab kabul selesai.

"Wah, ternyata kamu mau memata-mataiku ya!" tukasku menuduh.

"Nggak, aku cuma bercanda. Kurang kerjaan banget aku pasang CCTV di cincin itu," ucapnya sambil terkekeh.

"Suka banget ya ngerjain orang," decakku kesal, merasa tertipu karena sempat percaya pada perkataannya.

"Kalau orang itu kamu, aku suka." Dia mengedipkan matanya yang membuatmu bergidik.

"Kasih tahu aku, gimana kamu bisa tahu aku di sini? Aku nggak pernah bilang orang rumah kalau aku ke sini!" desakku karena tadi ia belum menjawab pertanyaanku.

"Tadi aku mencarimu ke mana-mana, tapi kamu nggak ada. Aku panik dan tanya orangtua kamu, katanya biasanya kamu pergi ke sini. Ternyata benar kamu ada di sini," ucapnya sambil tersenyum manis.

"Kamu tahu? Aku tadi kelimpungan nyariin kamu, aku pikir yang kamu bilang ke aku itu beneran kamu lakuin. Aku takut kamu benar-benar kabur ninggalin aku," sambungnya sambil meraih tanganku tiba-tiba dan menggengamnya erat. Aku sontak terkejut karena dia menyentuhku secara tiba-tiba, saat sadar dengan apa yang dia lakukan jelas aku langsung menepis tangannya. Enak saja dia asal pegang, memangnya dia pikir dia siapa? Walaupun memang dia sudah resmi menjadi suamiku, tetapi aku tidak mengakui dia di dalam hatiku.

"Salah siapa nyariin aku? Aku udah pamit juga tadi sama Kak Adam kalau mau pergi, kamu aja yang bersikap berlebihan," sinisku sengaja memasang tembok tinggi yang tak akan pernah bisa dia tembus.

"Udah sana kamu pulang, kamu mengganggu ketenanganku tahu!" usirku yang memang tak suka ada dia di sini.

Niatnya tadi aku 'kan mau menenangkan diri di sini, tetapi gara-gara kedatangannya aku menjadi tak tenang. Entah mengapa setiap melihat wajahnya, bawaan hatiku selalu kesal. Mungkin karena aku masih dendam padanya yang memaksakan diri menikahiku, seharusnya memang aku kabur saja dari pernikahan ini.

"Aku temani kamu di sini, nggak baik perempuan sendirian di tempat sepi seperti ini. Nanti kalau ada penculik gimana?"

Mendengar perkataannya membuatku mendengkus keras, "Kamu pikir aku anak kecil? Lagian aku udah sering ke sini, nggak pernah ada penculik yang mau nyulik aku. Tempat ini juga dekat sama perumahan, nggak mungkin penculik berani melancarkan aksinya. Lagian biasanya yang diculik itu anak kecil, bukan orang dewasa sepertiku." Aku sudah berbicara panjang kali lebar, tetapi anehnya dia seakan tak mendengarku. Dia malah menatapku sambil tersenyum dan itu membuatku risih.

"Kamu dengerin aku nggak sih?" decakku kesal.

Dia hanya mengangguk.

"Udah sana pulang! Jangan ganggu ketenanganku!" usirku lagi pada laki-laki menyebalkan ini.

"Kamu cantik kalau lagi ngomel gini," ucapnya yang membuatku terdiam.

"Nggak usah ngomong aneh-aneh!" Aku memalingkan wajahku, merasa malu karena diperhatikan dan dipuji seperti itu oleh seorang laki-laki.

"Aku akan tetap di sini, aku nggak akan pernah ninggalin kamu sampai kapanpun. Kita akan sama-sama terus," ucapnya sambil menggenggam tanganku.

"Kamu ngomong apa sih? Lepasin nggak tanganku?" Aku berusaha melepaskan genggamannya yang kian erat.

"Kenapa? Bukankah kita udah halal? Mau lebih dari ini juga nggak masalah 'kan?" tanyanya sambil tersenyum tengil.

"Jelas masalah lah! Aku nggak mau disentuh sama kamu, aku nggak suka kamu! Jaga jarak dariku!"

"Lama-lama juga kamu pasti jatuh cinta sama aku," ucap Dimas percaya diri.

"Nggak akan pernah!" tukasku membantah perkataannya.

"Kita lihat aja nanti." Aku bergidik, ngeri melihat senyum Dimas yang menyeringai itu. Aku takut dia nekat, karena biasanya  laki-laki seumur Dimas ini sedang menggebu-gebunya dalam urusan perasaan.





***
Lanjut??

Suddenly MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang