"Ish, gimana sih ini cara ngerevisinya? Pusing banget."
"Perasaan yang ini udah direvisi deh, kok ya masih salah aja sih!?"
"Capek bener deh jadi mahasiswa semester akhir ini, teman-teman udah ada yang sempro lagi. Ya kali aku sendiri nanti yang terlambat."
"Tapi, ini aku juga lagi usaha supaya cepat-cepat sempro. Tapi revisiannya juga bikin bingung gini."
"Coba aja Bu Uswa waktu nyuruh revisian ini dikasih coretan sekalian biar aku ga bingung lagi, tinggal ikutin aja apa yang ditulis. Tapi, nyatanya ibunya cuma ngomong ini itu aja yang perlu revisi, sekarang aku bingung sendiri gimana cara revisinya. Takutnya nanti waktu bimbingan lagi, masih banyak salahnya."
"Lo ngapain sih, Mi? Dari tadi ngomong sendiri. Jangan jadi gila lo gara-gara ngerjain proposal skripsi!" Suara seseorang itu membuatku menoleh ke arah pintu kamar kosanku, di sana ada Silvi yang baru saja kembali dari dapur.
"Gue nggak mau ya satu kamar sama orang gila," ucapnya lagi yang kini menaruh hasil masakannya di atas meja dan kini menatapku lagi.
"Gue nggak gila ya, Silvi. Gue masih waras, gue masih mau lulus dan wisuda!" balasku agak kesal dengan kata-katanya itu.
"Ya lagian lo kayak orang gila aja ngomong sendiri gitu, gue cuma wanti-wanti lo aja supaya nggak jadi gila beneran karena skripsi."
"Gue cuma pusing aja ini, Silvi. Dosen pembimbing kedua gue agak nyebelin, ngasih revisian tapi nggak dikasih catatan gini. Jadinya gue bingung, apa aja nih yang perlu direvisi," ucapku mengeluh.
"Udah sih, Mi, dibawa santai aja. Kerjain aja pelan-pelan, nanti juga bakalan selesai kok. Nggak usah dibawa pusing, hidup ini masih panjang, jadi ya jalani aja. Santai dulu bisa kali?"
"Santai apanya sih? Kita ini udah semester delapan tahu! Mana bisa gue santai terus, ya kalau lo mah iya enak santai. Lah gue ini didesak terus sama orangtua gue biar cepat selesai, katanya bayar UKT mahal. Kalau bisa lulus semester ini," balasku sambil mencibir karena dia bisa-bisanya santai begitu. Dia bahkan sampai sekarang belum mengajukan judul skripsinya, entah apa yang sedang Silvi tunggu sampai dia sengaja memperlambat.
"Mending lo pikirin diri lo deh, Silvi, kapan lo mau ngajuin judul? Teman-teman kita udah ada yang sempro itu," ucapku lagi.
"Nanti deh, senin depan. Gue sekalian mau nungguin si Mayang biar waktu ngajuin judul bareng," balasnya yang membuatku berdecak.
"Kalau mau ngajuin ya ngajuin aja kenapa sih, Sil? Kenapa harus nunggu orang lain? Semester akhir ini kita itu harus terbiasa duluan, jangan nunggu orang. Kalau mau gue temenin yuk ke jurusan buat ngajuin judul," ucapku.
"Nggak deh nanti aja, pusing gue lihat lo yang kayaknya stres banget ngerjain skripsi. Apa nanti gue joki aja ya?" Mendengar perkataannya membuatku langsung mencubit lengannya.
"Akhh, Ami! Sakit woy! Kenapa lo cubit gue, hah!?"
"Orangtua kita udah bayar kuliah kita mahal-mahal, ya kali lo malah joki. Nggak kasihan lo sama mereka? Mending bikin sendiri lah!"
"Iya deh lihat nanti, kalau gue nggak malas. Gue kerjain sendiri," ucapnya yang membuatku mendelik kesal.
Baru saja aku ingin membalas kata-kata Silvi, tiba-tiba saja ponselku berdering dan ternyata ada panggilan masuk dari Dimas. Sebelum Silvi melihat, sontak aku langsung mengambil ponselku.
"Ada telepon masuk, kayaknya kurir deh ini. Gue angkat dulu ya!" ucapku segera keluar dari kamar.
"Woy! Siapa itu yang telepon lo, Mi? Nggak percaya kalau itu kurir. Lo beneran punya pacar ya!?" teriaknya yang sama sekali tidak aku pedulikan, aku justru segera berlari menuju kamar mandi umum kosan. Saat sampai di sana, aku langsung mengangkat panggilan dari Dimas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...