Bab 4 | Tak Ingin Menikah

3.2K 139 0
                                    

Aku benar-benar tenang selama satu minggu berada di kota, tidak ada yang menggangguku sama sekali. Aku bahkan bisa sedikit mencicil mengerjakan proposal milikku, hingga tinggal sedikit lagi aku bisa melakukan bimbingan pertama dengan dosen pembimbing keduaku. Hingga sepertinya ketenangan itu hanya berlangsung satu minggu ini karena tiba-tiba saja Mama menelepon dan memintaku segera pulang.

"Aku nggak mau pulang, Ma, lagian aku 'kan masih seminggu lagi di sini. Biasanya aku pulang dua minggu sekali, kenapa aku diminta pulang padahal baru seminggu di sini?" keluhku.

"Lagian aku masih ngerjain proposalku, Ma, bentar lagi selesai dan aku bisa mulai bimbingan," sambungku.

"Mi, kamu nggak lupa 'kan kalau seminggu lagi kamu akan menikah? Masa iya kamu lupa ingatan mentang-mentang selama seminggu kemarin Mama menghubungi kamu Mama nggak bahas hal itu sama sekali?" Seketika aku terdiam mendengar perkataan Mama, kalau saja Mama tidak mengatakan tentang ini, maka aku tidak akan mengingatnya sama sekali karena terlalu fokus pada proposal yang aku kerjakan.

"Ma, aku pikir kejadian waktu itu cuma mimpi," ucapku.

"Jangan bercanda sama Mama, Mi, ini di rumah kita udah ada keluarga dari Ayah. Mereka lagi bantuin Mama bikin kue buat hari pernikahan kamu nanti," balas Mama yang membuat lututku seketika melemas.

Saat ini aku sedang berada di dalam kamar mandi, aku tidak mau Silvi dan yang lainnya mendengar pembicaraanku dengan Mama.

"Ma, aku benar-benar harus nikah sama dia ya?" tanyaku.

"Iya, mereka bahkan udah nyicil ngirim seserahan ke sini. Masa iya mau dibatalin gitu aja, Mi?"

"Pokoknya besok kamu pulang ya, kalau kamu nggak sanggup bawa motor nanti Mama minta Ayah jemput kamu."

"Tapi aku masih ngerjain proposal Ma, Mama bilang sendiri kalau tahun ini aku harus wisuda. Gimana aku mau wisuda kalau aku nikah? Pernikahan ini menghambat semuanya, Ma," ucapku mulai frustasi karena Mama sama sekali tidak mau mendengarkan perkataanku.

"Ditunda dulu seminggu nggak apa-apa, nanti setelah kamu nikah kamu bisa lanjut ngerjain lagi." Aku menghela napas panjang, tak mengerti dengan jalan pikiran Mama yang mendadak berubah seperti ini.

Dulu Mama memintaku fokus pada kuliah, kelurgaku bahkan sangat posesif ketika aku dekat dengan seorang laki-laki. Tetapi semua itu berubah setelah lamaran itu. Aku benar-benar kesal dan ingin menyumpahi keluarga Pak Kades yang sudah membuat hidupku yang tenang jadi kacau seperti ini.

"Ya sudah ya, Mama harus ngurusin ini itu dulu. Pokoknya besok kamu harus udah ada di rumah, Mama tunggu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah panggilan diakhiri, aku menaruh ponselku di dekat bak mandi kemudian membasuh wajahku dengan air wastafel. Aku benar-benar stres saat ini, rasanya aku ingin mendaftarkan diri ke rumah sakit jiwa karena berpikir aku sudah hilang kewarasan selama beberapa hari terakhir.

"Kenapa muka lo?" tanya Kintan ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi.

"Nggak apa-apa," jawabku.

"Nggak apa-apa gimana kalau muka lo kusut gitu, ada masalah?"

Aku hanya menggeleng pelan, "Nggak ada apa-apa, cuma gue harus balik besok. Nyokap udah nyuruh balik," ucapku.

"Lah, baru juga lo seminggu di sini, biasanya dua minggu sekali lo baru pulang, Mi," timpal Asma.

"Jangan bilang lo mau nikah makanya pulang cepat," ucap Kintan yang menurutku dia bercanda.

"Ya nggaklah, ya kali gue nikah!" Aku langsung memalingkan wajah.

"Iya, kita orang tahu. Mana mungkin lo mau nikah," kekeh Silvi.

Suddenly MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang