Bab 15 | LDR : Lama-lama Dimas Rindu

2.9K 113 1
                                    

Baru empat hari aku di sini, dan selama itu juga Dimas selalu saja menghubungiku. Lelaki itu sehari bisa tiga kali menghubungiku, entah itu pagi, siang ataupun malam. Seperti minum obat saja. Dia juga mengirimkanku pesan spam jika aku tidak mengangkat panggilan darinya. Aku merasa jengah dengan sikap Dimas, aku sangat terganggu dengan telepon darinya. Inginnya kumatikan saja ponselku selama aku di sini, tetapi jika aku matikan aku tidak bisa merevisi proposalku karena aku butuh internet di ponselku untuk disambungkan di laptop.

"Bisa nggak sih sehari aja nggak usah telepon?" tanyaku ketus saat dia lagi-lagi kembali menghubungiku.

"Aku kangen sama kamu, makanya aku telepon kamu. Kamu udah makan siang?" tanyanya dengan suara lembut.

Meskipun dia berkata lembut seperti itu, aku tidak akan luluh ya. Aku malah sangat kesal dengan tingkahnya yang seperti benalu bagiku. Dimas ini benar-benar menyebalkan, sudah tahu aku tidak ingin pernikahan kami diketahui teman-temanku, tetapi dia terus menghubungiku tidak tahu waktu.

"Ini bentar lagi mau makan siang, nggak usah tanya-tanya. Basi tahu pertanyaan kamu itu! Aku juga tahu tubuhku sendiri, aku tahu kapan waktunya makan, tidur, bangun. Nggak usah kamu ingatkan aku udah tahu semua itu!" tukasku akhirnya mengeluarkan uneg-uneg karena sikapnya yang berlebihan.

"Maaf kalau teleponku mengganggumu, aku cuma—"

"Itu kamu sadar kalau kamu itu mengganggu, kenapa masih aja telepon terus? Ada banyak hal yang harus aku kerjakan di sini. Revisianku juga banyak. Nggak mungkin aku angkat panggilanmu di saat aku sambil revisi, bisa-bisa teman sekamarku tahu lagi. Ini aku lagi di kamar mandi biar nggak ketahuan. Kalau kamu mau hubungi aku, cukup kirim pesan aja. Nggak perlu telepon segala," ucapku cepat tanpa membiarkan dia mencari pembelaan.

"Aku cuma mau dengar suara kamu aja, aku rindu kamu tapi nggak bisa ke sana beberapa hari ini. Apa aku salah kalau aku rindu kamu dan pengen dengar suara kamu, Mi?" Dimas mengatakan itu dengan lirih, dari nada bicaranya dia sepertinya sedih. Apakah kata-kataku tadi sangat keterlaluan?

"Maaf kalau aku ganggu waktu kamu, maaf kalau telepon dariku membuat kamu risih. Tapi kalau kamu minta aku nggak telepon kamu lagi, aku nggak bisa, Mi. Aku benar-benar kangen kamu. Rasanya aku ingin ketemu kamu sekarang ini, tapi harus aku tahan." Baru saja aku merasa iba mendengar kalimat menyedihkannya tadi, tetapi ternyata seharusnya aku tidak perlu merasa iba pada lelaki keras kepala seperti Dimas.

"Oke, aku maklum kalau kamu memang mau telepon aku. Tapi nggak perlu sehari tiga kali juga, Dimas. Aku sama orangtuaku aja nggak pernah teleponan sesering itu. Aku akan jujur sama kamu kalau aku merasa risih karena terus kamu telepon, kamu sedikit menghambat kegiatanku selama di sini. Karena kalau kamu telepon, aku harus rela menghentikan aktivitasku buat angkat telepon dari kamu."

"Kenapa kamu nggak kasih tahu teman kamu aja kalau kita udah nikah, Mi? Kalau dia tahu kamu 'kan nggak perlu menghindarinya saat angkat telepon dariku," ucap Dimas yang membuatku menipiskan bibir karena kesal.

"Kamu nggak ngerti, Dimas. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Pernikahan kita juga dadakan, nggak semudah itu aku ngasih tahu mereka. Aku—"

"Apa ada seseorang yang kamu sukai sampai kamu nggak mau teman-temanmu tahu kalau kita udah nikah?" Aku langsung terdiam.

"Iya! Aku memang suka seseorang dan gara-gara kamu semuanya hancur, Dimas. Kamu merusak segala impianku buat dapatin dia!" Ingin kukatakan dengan lantang kalimat itu, tetapi aku menahan diri agar tak menyakiti perasaan orang lain. Meskipun aku tidak suka Dimas, tetapi aku tidak bisa menyakiti perasaannya. Aku tidak setega itu untuk melukai hatinya dengan mengaku secara gamblang kalau ada orang lain yang kusuka.

"Ternyata benar ya," ucap Dimas di seberang sana yang membuatku segera tersadar.

"Aku nggak masalah kamu suka orang itu, Mi, tetapi kamu harus ingat kalau kamu udah jadi istri aku. Aku yakin lambat laun perasaan kamu ke dia akan hilang dan berganti ke aku," sambung Dimas penuh percaya diri.

"Kamu jangan sok tahu ya, Dimas. Memangnya kamu peramal apa? Aku benci sama kamu, mana mungkin aku bisa jatuh cinta sama kamu."

Dimas malah tertawa dan itu membuatku kesal. Aku sudah mengatakan kalimat menyakitkan itu, tetapi bisa-bisanya dia justru tertawa seakan yang aku katakan tadi hanyalah humor belaka.

"Kamu harus tahu kalau benci itu artinya benar-benar cinta, Mi. Kamu akan jatuh cinta sama aku, aku pastikan hal itu terjadi."  Kuat juga tekadnya ingin menaklukkan hatiku, tetapi lihat saja. Aku yakin aku tidak akan terpengaruh dengannya. Aku yakin aku bisa membuatnya menceraikanku tanpa harus aku yang meminta cerai lebih dulu.

"Kamu berusaha kuat menolakku, maka aku akan lebih berusaha membuat kamu nggak bisa menolak kehadiranku." Aku merinding mendengar perkataan Dimas, tekad lelaki ini benar-benar kuat. Aku tidak bisa menganggap remeh Dimas, karena Dimas itu sangat di luar dugaan. Aku pun belum mengerti karakter Dimas karena kami tinggal bersama hanya beberapa hari waktu itu.

"Ya, terserah kamu aja, Dimas. Yang penting jangan lagi menghubungiku sesering itu," ucapku berusaha tak ambil pusing dengan perkataannya.

"Iya, tapi aku nggak janji, Mi. Kalau aku kangen kamu, aku akan telepon kamu ya." Aku menghela napas panjang, mulai lelah dengan sikapnya yang seperti itu.

"Aku mau bantuin temenku masak dulu. Kamu jangan lupa makan."

"Aku senang karena kamu ngingetin aku makan, Mi," ucap Dimas. Kalau saja saat ini dia ada di hadapanku, mungkin aku bisa melihat senyumnya yang menyebalkan.

"Aku refleks aja bilang gitu. Udah ya, Dimas. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam, Istri—" Aku langsung menutup panggilan itu secara sepihak sebelum mendengar kata-kata manisnya yang membuatku mual.

Aku segera keluar dari kamar mandi, mencuci buncis yang selesai dipotong dan membawanya menuju dapur umum kosan.

"Lama amat nyuci buncisnya, Mi, kamu lagi nyuci buncis apa bertapa sih?" tanya Silvi.

"Tadi perutku sakit jadinya aku pergi ke kamar mandi dulu," jawabku sambil menyengir.

"Astaga." Dia hanya geleng-geleng kepala.

"Sebenarnya kamu tuh kenapa ya? Akhir-akhir ini kamu sering banget ke kamar mandi. Kamu mules? Kalau sakit perut kamu berkepanjangan gitu mendingan berobat, Mi."

"Nggak kok, aku baik-baik aja." Aku sedikit gugup saat mengatakan itu.

Tiba-tiba saja ponselku bergetar pertanda ada notifikasi pesan masuk dari aplikasi berwarna hijau putih itu. Aku berdecak kesal ketika membuka pesan dari Dimas. Tak lupa dengan emot love merah menyala yang membuatku geli.

[Jangan lupa makan banyak ya, Istriku. Aku kangen kamu, aku akan cepat-capat datang nemuin kamu buat hapus rasa kangen itu.]

"Wih, chat dari siapa, Mi? Pacar lo ya?" Aku refleks menyimpan ponselku saat Silvi hendak mengintip.

"N-nggak kok."

"Ciee, Ami punya pacar ya? Siapa cowoknya? Orang mana?" tanya Silvi penasaran.

"Nggak ada, Silvi!" teriakku kesal.

"Jujur aja sih sama gue, Mi, lo udah mulai lupa sama Dika ya? Ciee punya gebetan baru sekarang ya."

"Nggak ada, jangan sembarangan nyebar hoaks ya. Sana lanjutin masaknya!" tukasku sambil mendorong tubuhnya agar tak dekat-dekat denganku.

Aku merasa sedikit lega, untung saja Silvi tidak melihat isi pesannya.

***

Siang semuanya, adakah yang sedari kemarin nungguin Dimas dan Ami?

Kira-kira kalian kalau ada di posisi Ami bakal ngapain nih? Apa nolak Dimas sama kayak yang Ami lakuin atau malah nerima Dimas si berondong gemes yang super baik?

See you next chapter guyss;)

Salam
SJ

Suddenly MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang