Bab 14 | Sementara Berpisah

2.5K 111 2
                                    

Sudah lebih dari tiga hari aku tinggal di rumah keluarga Pak Kades, aku masih merasa canggung saat harus berinteraksi dengan Pak Kades dan istrinya. Aku juga agak sungkan meminta bantuan Bu Kades bila ada sesuatu yang tidak bisa kulakukan. Aku masih beradaptasi dengan orang-orang di rumah ini, termasuk pada Dimas sendiri. Lelaki itu selalu bersikap baik dan perhatian padaku, tetapi hal itu tidak membuatku luluh dengan cepat. Aku masih menyesalkan mengapa takdir harus menyatukanku dengannya di saat ada lelaki lain yang kuharapkan menjadi sosok imamku.

"Dimas, ada yang mau aku omongin," ucapku pada Dimas yang saat itu baru selesai melaksanakan shalat ashar.

"Ada apa?" tanyanya sambil melipat sajadah.

"Besok aku mau ke kota, mau mulai bimbingan karena proposalku udah selesai kugarap," jawabku.

"Berapa hari?" tanyanya.

"Aku juga nggak tahu, biasanya kalau aku ke kota itu dua minggu sekali baru pulang ke rumah." Saat aku mengatakan itu, entah mengapa aku melihat ekspresi wajah Dimas berubah. Lelaki yang biasanya selalu memasang senyumnya, tetapi kali ini dia tidak menampilkan senyumnya. Apa dia sedih karena aku akan pergi?

"Nggak bisa PP aja ke sananya? Aku anterin," ucapnya yang langsung kubalas dengan gelengan kepala.

"Nggak bisa, Dimas. Aku bimbingan itu 'kan belum tentu langsung diacc sama pembimbingnya. Bisa jadi proposalku banyak coretan dan aku harus segera merevisinya. Kalau PP itu memakan waktu, aku capek kalau harus bolak-balik. Lagian aku udah sewa kosan di sana, sayang kalau nggak dipakai. Semua bajuku juga masih ada di sana," ucapku menjelaskan.

"Tapi dua minggu itu lama, Mi," ucapnya sambil menghela napas.

"Kenapa? Kamu nggak mau kasih izin karena aku mau dua minggu di sana? Kamu udah janji loh ya mau mensupport apapun impianku, ini termasuk impian aku loh. Aku harus usaha keras supaya bisa seminar kemudian lanjut skripsi."

"Kalau kamu berat kasih izin, seharusnya kita nggak usah nikah dari awal. Kamu sama sekali nggak ngerti impianku," sambungku karena dia hanya diam.

"Bukan itu maksudku, aku cuma takut nggak bisa nahan kangenku karena kamu perginya lama." Aku berdecih saat mendengar gombalannya yang terlalu lebay itu.

"Tapi aku nggak bisa apa-apa, aku nggak mungkin juga menghalangi kamu. Aku kasih izin kamu pergi, tapi aku antar kamu ya?"

"Aku bawa motor sendiri ke sana, kalau diantar terus nanti kamu pulang ke sini naik apa?"

"Kita pinjem mobil Bapak ke sana, aku anter kamu. Aku nggak bisa izinin kamu bawa motor ke sana sendirian, bahaya," ucapnya.

Aku menghela napas kemudian mengangguk saja, daripada harus berdebat dengannya dan ujungnya aku yang kalah. Lebih baik aku langsung saja setuju supaya tidak menghabiskan tenaga dengan sia-sia.

Malam harinya, aku langsung berkemas. Memasukkan barang-barang yang akan aku bawa ke kosan. Setelah selesai, aku duduk di atas ranjang sambil memangku laptop. Sebelum besok memulai bimbingan, aku harus mengecek kembali proposalku.

"Kamu yakin dua minggu di sana, Mi? Kenapa nggak satu minggu aja?" tanyanya sambil naik ke atas ranjang dan duduk di sebelahku.

"Satu minggu dapat apa aku di sana? Lagian sesekali aku juga mau main sama temen-temenku, sekalian healing," jawabku.

"Tapi—"

"Kalau kamu udah kasih izin itu ya udah, jangan lagi tawar-menawar. Syukur-syukur aku minta izin ke kamu," ucapku sambil menyimpan laptopku kemudian menaruh bantal guling di tengah-tengah kami.

Dia hanya diam, membuatku langsung berbaring memunggunginya. Saat hendak memejamkan mata, tiba-tiba saja aku merasa guling disebelahku dipindah kemudian aku merasakan sebuah tangan yang menarik pinggangku hingga merapat pada kehangatan itu. Sontak saja aku terkejut, ini terhadap secara tiba-tiba dan aku belum siap.

Suddenly MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang