Ini untuk pertama kalinya aku memasuki kamar seorang pria kecuali dari keluargaku. Aku tercengang, kamar ini sangatlah luas. Jika dibandingkan dengan kamarku di rumah, kamar ini tiga kali lipat lebih luas dari kamarku. Maklum saja, Dimas ini anaknya Pak Kades, orangtuanya sudah kaya sejak lahir. Berbeda dengan diriku yang memiliki keluargaku serba berkecukupan, tetapi aku sangat bersyukur dengan kehidupanku. Kami masih bisa makan enak dan aku juga masih bisa melanjutkan pendidikanku. Masih banyak di luar sana yang tidak seberuntung diriku.
"Kenapa berdiri di sana?" tanya Dimas yang membuatku menatapnya, mengalihkan pandanganku yang menjelajah seisi kamarnya yang sangat luas ini.
"Ayo, masuk," ajaknya, tetapi aku menggeleng. Aku takut ya masuk ke kamar cowok hanya berdua saja.
"Kenapa?" tanyanya sepertinya keheranan karena aku justru menolak ajakannya.
"Nggak apa-apa, aku tunggu di sini aja," jawabku.
Dia diam sejenak kemudian tertawa, aku mengernyit karena menurutku tidak ada yang lucu sehingga ia bisa tertawa seperti itu.
"Kenapa ketawa? Emangnya ada yang lucu?" tanyaku ketus.
"Kita ke kamar 'kan emang mau istirahat, kenapa kamu justru mau nunggu di depan pintu." Dia geleng-geleng kepala, agaknya heran dengan sikapku yang selalu waspada jika hanya berdua dengannya.
"Kenapa? Apa kamu takut sama aku?" tanyanya dengan alis bertaut.
"N-nggak, ngapain juga aku takut sama kamu!" Aku mengelak.
Dimas berjalan ke arahku, entah mengapa tatapannya sedikit aneh sehingga aku merasa kalau aku harus waspada.
"Katanya nggak takut, kenapa terus mundur?" tanyanya dengan ekspresi seperti mengejekku.
"Y-ya habisnya kamu ekspresinya kayak harimau yang mau nerkam mangsanya aja," jawabku apa adanya, aku melihatnya memang seperti itu.
Dia justru tergelak lagi dan aku kesal mendengarnya karena merasa kalau aku jadi bahan tertawaannya. Enak saja! Dia pikir aku pelawak apa?
"Aku manusia, bukan harimau. Lagian daging sapi lebih enak daripada daging manusia," tuturnya menatapku lagi dengan ekspresi menyebalkannya itu.
"Kecuali kalau menerkam dalam artian lain, mungkin aku mau melakukannya." Dia tersenyum lagi, kali ini senyumnya seperti menyimpan sebuah misteri. Aku mendadak merinding, ingin pergi dari tempat ini rasanya.
"Aku cuma bercanda," kekehnya.
"Ayo, masuk sini. Kamu akan tinggal bersamaku di kamar ini, kamu harus membuat dirimu nyaman di sini." Aku hanya diam, hingga tak sadar kalau dia terus maju sampai berada di hadapanku. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku hingga membuatku terkejut.
"Eh, apa-apaan ini? Lepasin nggak!?" Aku berusaha menepis tangannya yang merangkul bahuku.
"Kamu nggak bergerak sama sekali, jadinya aku yang ambil langkah." Dia melepaskan bahuku kemudian memilih duduk di tepi ranjangnya yang luas.
"Kalau mau tidur, tidur aja. Aku tahu kamu semalam lelah karena begadang," ucapnya yang membuatku teringat dengan tatapan orang-orang saat dia mengatakan tentang 'begadang' di depan semua orang hingga membuat mereka salah paham.
"Gara-gara perkataanmu tadi semua orang jadi salah paham," tuturku ketus.
"Loh? Kenapa? Emangnya ada yang salah dengan perkataanku tadi? Kan benar kamu semalam begadang karena ngerjain proposalmu," balasnya dengan sebelah alis terangkat.
"Iya sih, tapi...." Aku memilih tak melanjutkan perkataanku, karena pikiran orang-orang cukup memalukan untuk dibahas bersamanya.
"Tapi apa?" tanyanya karena aku tak juga menjelaskan maksudku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...