Saat ini aku sedang berada di kamarku sambil memainkan ponselku yang sangat jarang bisa aku pegang semenjak berada di kampung. Itu karena kami selalu sibuk bolak-balik ke rumah Mbak Dian karena acaranya itu, sehingga tidak enak juga kalau kami tidak datang. Saat ini aku sedang sendiri karena Dimas tadi ikut Ayah pengajian ke salah satu rumah tetangga yang hanya beberapa jarak dari rumah kami.
"Udah lama aku nggak buka grup, kayaknya udah banyak pesan aja nih," gumamku.
Aku langsung membuka room chat grup kelas yang ternyata di kelas kami itu akan ada agenda camping bersama. Aku hanya membacanya saja karena aku memang tidak terlalu aktif di grup kelas. Aku memilih membuka grup khusus kami berempat dan ternyata juga ada banyak pesan di sana, banyak yang mengetag namaku hingga membuatku menepuk dahi karena lupa mengabari mereka.
Kintan : Woy Ami! Lo di mana oyy!
Silvi : Iya nih ke mana lo @Ami? Nggak pernah muncul-muncul ih mentang lagi balik kampung.
Asma : Respon dong Mi, kita lagi mau bahas banyak hal ini. Teman-teman sekelas pada ngajakin camping, ikut yuk!
Me : Wajib banget ya buat ikut?
Aku langsung mengetikkan pesan itu dan mengirimkan pada mereka dan tak butuh waktu lama mereka membalas pesanku itu.
Asma : Akhirnya dibalas juga pesan kita setelah sekian purnama gess.
Me : Lebay ah kalian, baru juga sehari gue nggak aktif.
Kintan : Tapi seriusan Mi, lo kok super sibuk banget sih?
Me : Di rumah saudara gue ada hajatan makanya gue sibuk.
Silvi : Terus gimana? Lo mau ikut nggak camping?
Me : Emang kapan campingnya?
Kintan : Dua hari lagi, makanya lo buruan besok balik deh ke sini!
Me : Oke siap, niatnya gue juga mau balik ke sana besok kok.
Asma : Bagus, jadi lo ikut 'kan?
Me : Iya ikut dong, tapi gue minta izin dulu ya.
Aku menepuk dahi karena hampir saja aku mengetikkan kata 'suami' tadi. Kalau sampai aku salah ketik, maka habislah aku.
"Assalamu'alaikum."
Mendengar suara salam dari luar rumah membuat aku langsung keluar dari kamar untuk membuka pintu, karena jam segini aku yakin sekali kalau Mama pasti sudah tidur. Apalagi besok Mama juga harus pergi ke sekolah untuk mengajar, sehingga tidak bisa tidur malam-malam sekali kalau tidak mendesak.
"Waalaikumsalam," ucapku menjawab salam sambil membuka pintu.
Kemudian Ayah dan Dimas pun langsung memasuki rumah, ternyata mereka tidak pulang dengan tangan kosong, tetapi membawa buah tangan hasil ke duri di rumah warga. Karena memang di lingkungan sini adatnya memang seperti itu, tiap ada pengajian ataupun acara pasti pulang membawa itu.
"Mi, tolong simpan buat besok atau kalau kalian mau makan juga nggak apa-apa. Kalau Ayah sih masih kenyang," ucap ayahku sambil memberikan besek itu padaku kemudian pergi.
"Kamu mau makan?" tanyaku pada Dimas ketika Ayah sudah pergi.
Dia menggeleng, "Udah kenyang, tadi kita makan malam di rumah lumayan banyak, jadi aku masih kenyang sekarang," jawabnya.
"Ya udah, aku simpan buat besok aja kalau gitu." Aku membawa makanan itu ke dapur dan menyimpannya di kulkas agar nanti makanan itu tidak basi.
Setelah selesai, aku kembali ke kamarku dan aku hampir saja memekik ketika melihat Dimas membuka bajunya, sepertinya dia berniat berganti pakaian. Aku berdehem pelan kemudian bersikap biasa-biasa saja sekalian berusaha untuk tidak melihat ke arahnya dan kembali fokus pada ponselku yang sempat aku tinggal tadi. Di mana teman-temanku sudah mulai membahas barang-barang apa yang akan dibawa saat camping. Sepertinya aku wajib ikut karena camping itu pasti akan seru sekali.
"Dim, acara di rumah Mbak Dian 'kan udah selesai ya, jadi besok aku mau ke kosan lagi. Soalnya proposalku juga belum selesai," ucapku ketika dia mendekat dan bergabung denganku yang sudah lebih dulu berada dj tempat tidur.
"Harus banget besok ya, Mi? Kita 'kan baru beberapa hari di sini," ucapnya.
"Ya gimana, kalau aku terus di sini nanti nggak selesai-selesai tugasku. Mana laptop juga ada di kosan," balasku.
"Huh, ya udah. Tapi kayaknya besok aku nggak bisa nganterin kamu, Mi," ucapnya.
"Kenapa?"
"Besok aku ada kerjaan, harus berangkat pagi-pagi sekali."
"Kerjaan kamu itu apa sih? Dari waktu itu kamu nggak pernah kasih tahu aku," ucapku.
"Nanti aku kasih tahu kamu sekalian ajak kamu ke tempat kerjaku," ucapnya sambil terkekeh.
Aku hanya merengut karena aku tahu dia tidak akan mungkin mengajakku dalam waktu dekat ini. Terapi aku berusaha untuk tidak peduli kalau memang dia belum mau memberitahuku, yang penting dia tidak melakukan pekerjaan yang tidak haram saja.
"Nggak bisa besok lusa aja kamu pulang ke sananya, Mi?" tanyanya yang membuat aku langsung menggeleng.
"Nggak bisa, Dim," jawabku langsung.
Dia menghela napas kemudian menatapku dengan lekat, hingga membuatku sedikit tak nyaman dengan tatapannya itu, "Kenapa kamu natap aku kayak gitu?" tanyaku.
"Rasanya aku nggak rela biarin kamu pergi, aku masih kangen sama kamu. Masih mau habisin waktu berdua sama kamu. Tapi...." Dia menghela napas lagi.
"Aku juga nggak bisa melarang kamu karena itu memang kewajiban kamu," ucapnya.
Mendengar perkataannya entah kenapa aku tersenyum, kemudian tanpa aku sadar, aku malah menarik tangannya dan menggenggamnya. Seakan ingin memberi dia kekuatan, sebenarnya lucu sekali ketika aku melihat wajahnya yang seperti itu.
"Apa sih, kayak aku pergi jauh aja kamu tuh," ucapku.
"Ya tetap aja, nggak rela aku kalau kamu pergi." Aku tergelak melihat wajah memelasnya.
"Oke, karena aku lagi berbaik hati. Kamu boleh tidur sambil peluk aku malam ini," ucapku.
"Mau kamu larang aku pun, aku akan tetap peluk kamu sambil tidur, Mi," balasnya yang membuatku tergelak.
Kemudian dia menarik tanganku, hingga kami sama-sama jatuh di atas tempat tidur, tetapi aku jatuh di atas tubuhnya, kemudian dia memelukku dengan erat. Entah kenapa, sepertinya aku mulai nyaman dengan pelukannya ini.
"Mi, mau coba nggak?" tanya Dimas dengan suara yang lirih ketika aku masih berada dalam pelukannya.
"Coba apa?" tanyaku balik sambil mengernyit heran.
Dimas tersenyum penuh arti, kemudian dia malah semakin mendekatkan wajah kami, aku hendak melepaskan diri, tetapi dia kuat sekali menahanku agar aku tak lepas dari pelukannya.
"K-kamu ngapain dekat-dekat sih!?"
"Coba malam pertama, Mi, nggak ada salahnya kalau kita coba dulu sebelum kamu pergi."
"Katanya yang pertama untuk cewek itu sakit, Dim, makanya aku takut." Dia tergelak ketika mendengar ucapanku, padahal aku serius loh mengatakan ini.
"Memang iya sih, tapi lama-lama nanti jadi enak kok, Mi," bisiknya di telingaku sambil mengedipkan mata.
"Dimas, kamu udah pengalaman ya? Main sama siapa kamu, Dim!" tukasku menuduhnya sambil melepaskan pelukannya, tatapannya agak menyeramkan tadi dan aku takut.
**
Selamat pagii guyss, pagi-pagi gini enaknya ditemenin Ami sama Dimas, ya nggak sih?
Ternyata kayaknya gak bisa nih up 2 kali seminggu, jadi sekali seminggu aja ya wkwk kecuali kalau author senggang, bisa lah nanti.
Semoga kalian nggak bosen-bosen nunggu Ami dan Dimas ya
Next
Or
Lanjut?See you next chapter guyss
Salam
SJ
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...