Bab 10 | Insiden Pagi Hari

3.5K 118 0
                                    

"Hoamm!"

Aku meregangkan otot-otot tanganku yang terasa kaku, tetapi aku merasa ada yang aneh karena pergerakanku tak sebebas biasanya. Ada sesuatu yang seakan menghalangi semua pergerakanku, aku mengernyit dengan keadaan mata yang masih tertutup. Perlahan aku membuka mata, ketika mataku terbuka aku sangat terkejut ketika ternyata ada seorang laki-laki yang dekat sekali denganku. Refleks aku mendorong tubuhnya sampai jatuh ke lantai hingga menimbulkan suara yang agak keras. Aku meringis, itu pasti sangat sakit.

"A-aduh, kamu kenapa dorong aku sampai jatuh sih, Mi?" tanya laki-laki itu. Aku baru ingat kalau kemarin aku sudah resmi menjadi seorang istri dan laki-laki itu adalah Dimas, suamiku.

"Kamu yang salah, aku bilang jangan melewati batas guling itu. Tapi kenapa kamu malah deket-deket banget? Mau cari mati ya kamu!?" tukasku ketus.

Sebenarnya aku agak kasihan sama dia setelah melihatnya jatuh tadi, mana aku mendorongnya cukup kuat tadi. Itu pasti sangat sakit, tetapi aku tidak mau memperlihatkan kekhawatiranku di depannya. Bisa-bisa nanti dia makin ngelunjak kalau aku luluh.

"Bukan aku yang lempar guling itu, tapi kamu sendiri. Aku udah berusaha mundur supaya nggak buat kamu marah, tapi kamu terus mepet ke aku tidurnya," ucapnya yang membuatku melotot tak terima.

"Jangan bohong kamu, mana mungkin aku kayak gitu!" sangkalku cepat.

"Terserah mau kamu percaya atau nggak, yang jelas aku udah jujur." Kulihat Dimas meringis sesekali mengusap sikunya, apa dia terluka ya?

"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku sedikit khawatir.

"Nggak apa-apa, ini cuma luka ringan kok." Meskipun dia mengatakan itu, tetap saja aku sedikit merasa bersalah karena yang mendorongnya dengan brutal sampai jatuh itu 'kan aku. Kalau ada apa-apa dengannya, bisa-bisa aku yang dimarahi oleh Mama. Sekarang ini Dimas 'kan sudah jadi anak kesayangan Mama, kalau ada apa-apa dengannya pasti aku yang kena.

"Serius nggak apa-apa?" Aku mendekatinya untuk memastikan dan aku bisa melihat kalau sikunya mengeluarkan darah, tak banyak tetapi tetap akan menimbulkan bekas.

"Sikumu berdarah," ucapku.

"Cuma luka kecil, nggak masalah buatku." Dia kembali meringis hingga aku melihat ke arah bawah, ternyata tak hanya sikunya yang berdarah tetapi juga lututnya. Aku meringis, apa aku sebrutal itu mendorongnya sampai lukanya banyak seperti itu?

"M-maaf, nanti habis shalat subuh aku bantu obati lukamu," ucapku sedikit melunak, karena merasa bersalah sih. Kalau tidak mana mau aku bicara lembut seperti itu.

"Nggak perlu, nanti juga sembuh sendiri kok." Aku berdecak mendengar perkataannya, apalagi dia justru malah tersenyum.

"Kok malah senyum sih? Harusnya kamu marahi aku. Kan aku yang buat kamu terluka kayak gitu," ucapku.

"Aku mana bisa marah sama kamu, lagian ini cuma luka kecil. Nggak terlalu masalah buat aku," balasnya yang membuatku hanya bisa geleng-geleng kepala.

Usai melaksanakan shalat subuh bersama, sesuai janjiku aku langsung mengobati lukanya. Setelah selesai, aku keluar dari kamar untuk membantu Mama membuat sarapan untuk kami nantinya.

"Mi, hari ini kamu jadi pindah?" tanya Mama yang membuatku mengernyit.

"Pindah ke mana, Ma?"

"Loh? Dimas belum ngasih tahu kamu? Mama pikir Dimas udah ngasih tahu kamu semalam," ucap Mama yang semakin membuatku kebingungan.

"Ngasih tau apa sih, Ma?"

"Itu loh rencananya Dimas mau ngajak kamu pindah dari sini, pindah ke rumahnya."

Suddenly MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang