Setelah selesai shalat maghrib, kami makan malam bersama. Kali ini ada yang berbeda dengan suasana ruang makan, yaitu kehadiran Dimas—laki-laki yang beberapa jam lalu sudah resmi menyandang status sebagai suamiku. Laki-laki itu duduk di sampingku, sesekali melirik ke arahku dengan senyuman. Aku berdecak, kalau saja tidak ada Ayah dan Mama di sini, sudah aku omelin dia. Aku sungguh tak suka melihat senyumnya yang seperti itu, karena aku takut kalau nanti aku akan jatuh dalam pesonanya.
Aku harus bisa menjaga diriku dari godaannya yang ia lancarkan melalui senyuman. Aku tidak bisa jatuh cinta padanya sedang hatiku yang sebenarnya ada pada Dika. Ah mengingat Dika, aku jadi merindukannya. Aku meringis karena bisa-bisanya aku merindukan sosok laki-laki yang bukan mahramku, sedang di sebelahku sudah ada yang halal bagiku dan selalu aku tolak kehadirannya.
"Ami, kamu lagi mikirin apa?" tanya Mama yang sontak membuatku tersentak.
"Nggak ada apa-apa kok, Ma," jawabku gelagapan. Takut kepergok kalau aku sedang memikirkan laki-laki lain, padahal yang tahu isi pikiranku hanya diriku sendiri dan Allah saja.
"Nggak ada apa-apa, tapi kok makanan kamu cuma diaduk gitu? Dimakan dong, Mi. Makanan itu nggak bakal masuk ke perut kamu kalo nggak kamu yang gerakin. Apa makanannya nggak enak makanya kamu nggak nafsu makan?" tanya Mama yang membuatku sontak menggelengkan kepalanya.
"Nggak, makanannya enak kok, Ma. Cuma nggak tahu aku kurang nafsu makan aja sekarang, tapi pasti aku habisin kok."
Aku merasa kok kalau akhir-akhir ini aku kurang nafsu makan, saat di kosan juga aku begitu. Aku yang biasanya bisa makan sampai sepiring penuh, kini porsinya bahkan hanya satu centong nasi.
"Jangan dibiasain nyisaiin makanan ya, Mi, kasihan makanannya sedih nanti."
"Iya, Ma."
"Mama nggak perlu terlalu khawatir sama anak Mama itu, dia nggak nafsu makan pasti karena gugup. Malam ini 'kan dia mau unboxing sama suaminya," ucap Kak Adam yang membuatku langsung tersedak. Dimas langsung menyodorkan segelas air putih yang buru-buru langsung kuterima dan segera meminumnya.
"Adam, jaga bicaramu itu. Nggak wajar kamu ngomong gitu di depan orangtua lagi," tegur Ayah yang dibalas Kak Adam hanya dengan cengiran khasnya, bukannya minta maaf juga.
Aku berdecak kesal, melirik kesal ke arah Kak Adam yang juga melirik ke arahku. Kak Adam menaikkan sebelah alisnya seakan menggodaku, dari ekor mataku aku melihat bibirnya bergerak seakan tengah mengkodeku. Mengucapkan sesuatu dengan gerakan bibirnya tanpa suara sama sekali. Delikanku makin tajam, kalau saja tidak ada Mama dan Ayah di sini sudah aku lempar piring di dekatku ke wajah menyebalkannya itu.
Suasana meja makan kembali senyap, semua orang sibuk makan. Kecuali denganku, aku sedang menatap Kak Adam tajam. Merasa kalau aku harus membuat perhitungan padanya karena sudah bicara yang aneh-aneh.
Usai makan dan shalat isya, aku berniat memasuki kamar. Ada yang harus aku kerjakan, aku belum menyentuh proposal skripsiku selama satu mingguan ini karena pernikahan ini. Saat hendak memasuki kamar, tiba-tiba saja Kak Adam muncul sambil bersiul.
"Cihuy, ada pengantin baru yang mau ngamar nih," ucap Kak Adam dengan kerlingan menggoda. Kak Adam berani begitu karena di sini tidak ada Mama dan Ayah, Ayah tadi pergi keluar karena ada kumpulan sementara Mama berada di kamar sedang mengaji.
"Kak, nggak usah keterlaluan ya. Aku udah sabar dari tadi," decakku sebal.
"Keterlaluan gimana sih adikku yang manis? Udah sana masuk aja, suami kamu pasti nungguin tuh. Jangan buat dia nunggu lama karena ngobrol sama kakakmu ini," ucap Kak Adam kembali menggodaku.
Aku terdiam sejenak, aku tersenyum saat mendapat ide jahil yang bisa membuat Kak Adam kesal, "Iya dong, mana mungkin aku biarin suamiku sendirian di kamar. Sebagai istri yang baik aku harus nemenin dia, apalagi ini malam pertama kami. Nggak berguna juga ngobrol sama jomblo karatan kayak Kak Adam," ucapku kemudian segera memasuki kamar sambil tertawa kencang.
"Ami, awas ya kamu! Dasar adek nyebelin!" teriak Kak Adam yang membuat tawaku kian meledak.
Tawaku sontak terhenti ketika aku melihat di pojok kamarku, ada Dimas yang sedang duduk di atas sajadah sambil membaca Al-Quran. Laki-laki itu memakai baju koko dan juga peci. Aku yang melihat itu sontak tertegun, apalagi saat mendengar lantunan ayat suci yang dibacakan dengan lirih, tetapi masih terdengar diindera pendengaranku. Dengan langkah pelan, aku mengambil laptopku yang berada di atas meja belajar kemudian aku membawanya menuju atas tempat tidur. Aku tak ingin mengusik Dimas yang sedang mengeruk pahala, lebih baik aku mulai mengerjakan proposalku supaya saat aku kembali ke kosan nanti aku bisa mulai melakukan bimbingan.
Aku tersentak ketika tiba-tiba saja merasakan tempat tidurku sedikit ada pergerakan, sontak aku langsung menoleh ke arah Dimas yang ternyata sudah selesai dengan kegiatannya. Laki-laki itu menaiki ranjang, sepertinya ia berniat tidur.
"Mau ngapain?" tanyaku sengaja.
"Mau tidur," jawabnya.
"Kenapa? Apa aku nggak boleh tidur di atas ranjang?" tanyanya dengan alis mengernyit.
"Nggak kok, tidur aja kalo mau tidur," ucapku acuh.
Lagian aku tidak akan bersikap seperti tokoh novel yang aku baca, di mana saat terjadi pernikahan paksa maka si tokoh perempuan pasti tidak akan membiarkan tokoh laki-laki tidur seranjang dengannya. Ranjangku ini cukup besar, sangat muat untuk dua orang. Lagipula aku percaya kalau Dimas tidak akan berbuat aneh-aneh padaku, sesuai kesepakatan yang telah dia katakan beberapa hari yang lalu.
"Aku nggak akan nyentuh kamu kalau kamu belum siap."
"Kita jalani pernikahan ini pelan-pelan, anggap aja hubungan ini adalah suatu pertemanan."
Aku jadi teringat dengan perkataannya beberapa hari yang lalu, aku tersenyum karena merasa kalau laki-laki ini cukup pengertian.
"Asal... jangan melewati batas ini," ucapku langsung menaruh guling di tengah-tengah kami.
Kulihat Dimas mengangguk, kemudian ia mulai berbaring di sebelahku. Matanya terpejam mulai terpejam. Aku langsung mengalihkan tatapan darinya ke layar laptopku. Sejujurnya sedikit tidak nyaman karena ada orang lain di kamarku ini, tetapi aku harus membiasakan diri karena Dimas pasti akan selalu berada di sekitarku sampai waktu yang aku pun tak bisa menentukannya. Pernikahan ini terlalu aneh, terlalu cepat, dan terlalu dadakan.
"Kamu lagi ngerjain tugas?" Di tengah kesibukanku tiba-tiba aku mendengar pertanyaan itu, aku pikir tadi dia sudah tidur.
"Iya, tugas akhir seorang mahasiswi," jawabku.
"Semangat ya, aku nggak paham apa yang kamu kerjain. Tetapi aku yakin kalo kamu pasti bisa nyelesainnya," ucap Dimas yang membuatku melirik ke arahnya.
"Hmm, makasih," balasku singkat.
"Aku pamit tidur duluan ya," ucapnya yang membuatku melihat ke layar ponselku untuk melihat waktu sekarang.
"Kamu udah mau tidur?" tanyaku keheranan karena ini masih jam delapan, terlalu dini untuk laki-laki seperti Dimas tidur. Biasanya yang ia tahu laki-laki itu tidurnya larut malam.
"Iya, kenapa?"
"Nggak begadang? Yang aku tahu laki-laki itu suka begadang 'kan?"
"Nggak juga, nggak semua laki-laki begitu. Lagipula buat apa begadang kalau nggak ada hal yang dilakukan? Aku lebih suka tidur lebih awal kalau nggak ada pekerjaan karena saat bangun nanti, tubuh terasa lebih sehat karena tidur dengan waktu yang cukup." Sejenak aku tertegun dengan perkataannya.
"Kecuali kalau memang ada sesuatu yang harus dilakukan malam ini tentu aku akan begadang," sambungnya sambil tersenyum jahil kepadaku.
"Maksudmu apa? Jangan mikirin yang aneh-aneh ya!" ancamku.
Dia malah terkekeh, "Nggak kok, kamu lanjutin aja ngerjainnya. Aku mau tidur. Semangat ya, Istriku," ucapnya sambil tersenyum manis kemudian segera memejamkan mata sebelum aku memelototinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...