Aku menatap pantulan diriku di cermin, sangat cantik dengan make-up dan juga baju pengantin yang aku kenakan. Aku masih tak menyangka kalau hari ini adalah akad nikahku dengan Dimas, aku masih tak percaya kalau aku akan menikah dengan orang yang bahkan tak ku kenal cukup baik.
"Wah, udah cantik ini calon pengantin kita." Aku menoleh ke arah pintu, muncullah Rere—sepupuku dalam keadaan perut membesar, dia sedang hamil saat ini.
"Aku nggak percaya akhirnya kamu juga akan nyusul ke pelaminan, Mi, mana sama Dimas pula," kekehnya yang seakan meledekku.
"Nggak usah ngetawain aku!" tukasku sebal.
"Aku nggak ngetawain, cuma ikut bahagia aja akhirnya kamu nyusul aku. Percaya deh, Mi, nikah itu enak loh," ucapnya yang kini duduk di sebelahku.
"Apanya yang enak? Kalau nikah itu enak, nggak mungkin ada yang cerai. Buktinya yang aku lihat banyak berita perceraian entah itu di televisi atau dunia nyata," balasku.
"Itu karena mereka nggak beruntung aja, Mi." Aku hanya mencibir mendengar pembelaan Rere.
"Keluarga calon suami kamu udah datang, mungkin bentar lagi akad nikah akan dilangsungkan. Aku temenin kamu di sini ya, Mi."
Aku hanya mengangguk, aku tidak akan keluar sebelum kata sah terdengar karena itu memang permintaan keluargaku. Pengantin perempuan tidak akan disandingkan dengan pengantin laki-laki, setelah kata sah barulah aku akan dijemput oleh Mama. Aku hanya ikut saja kemauan keluargaku, karena aku sudah pasrah dengan kehidupanku.
"Bismillahirrahmanirrahim, saudara Dimas Dirgantara! Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan anak kandung saya yang bernama Zamita Ismi Salsabilla dengan maskawin emas dua puluh gram dibayar tunai!" Aku deg-degan saat mendengar suara lantang ayah.
Kamar ini memang tidak kedap suara sehingga aku bisa mendengar suara lantang itu dari sini. Aku menggenggam tangan Rere karena merasa gugup, Rere sepertinya mengerti kalau aku gugup sehingga dia membiarkan aku menggenggam tangannya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Zamita Ismi Salsabilla binti Bapak Darmawan dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"
"Bagaimana para saksi? Sah!?"
"Sah!"
Begitu kata sah itu terdengar, tubuhku lemas seketika. Aku tak menyangka kalau kini aku resmi menikah dengan seorang laki-laki yang lebih muda usianya dariku. Aku merasakan pelukan di tubuhku, Rere memelukku sambil mengucapkan selamat.
"Ami, selamat! Akhirnya kamu udah jadi istri orang!" ucap Rere terlihat begitu senang.
"Re, aku masih nggak nyangka kalau aku udah jadi seorang istri. Apa ini mimpi ya?" tanyaku pada Rere yang membuatnya merenggangkan pelukan kami.
"Nggak, Mi, ini bukan mimpi. Selamat ya, bahagia selalu ya, Ami!" Rere memelukku kembali.
Di saat aku dan Rere sedang berpelukan tiba-tiba saja pintu kamarku dibuka, di saba ada Mama yang sepertinya habis menangis karena aku sempat melihatnya mengusap sudut matanya.
"Udah waktunya kamu keluar, ayo!" ajak Mama.
"Biar Rere yang antar Ami, Wak," ucap Rere sambil berdiri.
"Uwak percayakan Ami sama kamu ya, Re, Uwak tunggu di luar." Rere mengangguk setelah itu meninggalkanku berdua dengan Rere.
"Ayo, Mi," ajak Rere, tetapi aku sama sekali tak beranjak dari tempatku.
"Re, aku boleh kabur sekarang nggak?" tanyaku asal yang membuat mata Rere membulat.
"Kamu ngomong apa sih, Mi? Kamu itu udah resmi jadi istri, jangan mikir aneh-aneh deh. Ayo keluar, suami kamu udah nungguin tuh," ucapnya sambil menjawil daguku yang membuatku mendelik kesal dan lantas menepis tangannya.
"Tapi seriusan aku mau kabur aja deh, Re."
"Nggak ada kabur-kaburan, ayo kita keluar, Mi. Aku yakin berondongmu itu nggak sabar pengen liat wajah cantik istrinya ini," ucap Rere sambil terkikik. Sepertinya dia mengejekku lagi kali ini, mana menyebut Dimas berondongku pula.
"Ayolah, Mi, semua orang udah pada nungguin termasuk suami berondongmu itu. Tadi aku sempat lihat loh sebelum ke sini, dia ganteng banget." Lagi-lagi aku mendengar Rere terkikik, sepupuku ini sepertinya sangat suka menggodaku.
Akhirnya aku dan Rere keluar dari kamar, aku sedikit merasa malu karena banyak orang yang menatapku ketika aku keluar dari kamar. Hingga Rere mengajakku ke ruang tamu yang menjadi tempat akad nikah, aku malu bercampur gugup karena saat ini aku menjadi pusat perhatian semua orang. Hingga akhirnya aku berasa di depan dia, laki-laki muda yang memakai setelan jas putih yang sudah resmi menjadi suamiku. Mengingat statusku yang kini bukan lagi perempuan lajang membuatku meringis, rasanya aku masih tak percaya kalau hari ini adalah sebuah kenyataan yang mau tak mau harus aku terima.
"Mempelai perempuan bisa mencium punggung tangan suami kemudian mempelai pria bisa mencium kening istri," ucap Pak penghulu sambil mengulum senyum.
"Ayo, Mi, ulurin tangan kamu. Cium punggung tangan suamimu," bisik Rere yang ada di sebelahku.
Aku mengulurkan tanganku dengan terpaksa, meraih tangannya kemudian mencium punggung tangannya secepat kilat. Hal itu membuat aku diprotes semua orang, termasuk seorang fotografer yang mengabadikan momen sakral ini.
"Ulang lagi, Mbak, jangan dilepas dulu. Ya, oke boleh dilepas sekarang," ucap fotografer itu setelah memotret momen itu.
"Mau apa kamu?" tanyaku setengah berbisik sambil mendelik ketika ia meraih wajahku.
"Tentu saja mencium kening istriku, apalagi?" Belum sempat aku protes, tiba-tiba saja benda kenyal nan dingin menempel di keningku.
Saat bibirnya menyentuh keningku, aku merasakan gelenyar aneh didadaku. Untuk pertama kalinya ada seorang laki-laki yang bukan keluargaku, melabuhkan ciuman di keningku. Aku menangis dalam hati, hilang sudah keperawanan keningku karena ulah si bocah yang sialnya harus kuakui menjadi suamiku.
"Jangan dilepas, wajahnya sedikit mendongak dan iya sudah boleh dilepas." Aku kesal mendengar suara fotografer itu, karena dia aku harus berdekatan lebih lama lagi dengan bocah ini.
Acara pernikahan ini hanya akad nikah saja, hanya ada pesta kecil-kecilan. Kami hanya mengundang keluarga besar dan keluarga jauh juga tetangga rumah. Walaupun begitu rumah ini sangat ramai, kakiku pegal dan tubuhku lelah karena mereka terus meminta foto bersamaku dengan laki-laki di sampingku ini. Aku ingin acara ini benar-benar selasai, karena aku sudah tidak tahan. Perutku juga sudah sangat lapar, tetapi aku tidak bisa meminta makanan karena masih ada yang ingin berfoto denganku dan dia. Walaupun lelah, aku tidak enak kalau menolak mereka yang ingin mengajak foto bersama.
"Capek ya?" tanya laki-laki di sampingku yang membuatku melirik sinis ke arahnya.
"Menurut ngana?" balasku bertanya sinis.
"Maaf ya, karena banyak keluarga dari Ayah yang datang jadinya mau nggak mau kamu harus tahan sedikit lagi rasa capeknya," ucap Dimas sepertinya merasa bersalah, dilihat dari ekspresi wajahnya.
"Nggak perlu minta maaf, maafmu nggak buat rasa capekku hilang," tukasku ketus.
"Aku janji setelah selesai acara ini, aku pijitin kamu." Mataku sontak melotot, aku memberikan penolakan itu dari sorot mataku. Enak saja dia mau menyentuh badanku, bukannya pijat biasa yang ada nanti pijat plus-plus lagi. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri, meskipun aku dan dia sudah menikah tetapi aku tidak mau ya nananinu sama laki-laki yang tidak aku cintai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...