Bab 25 | Pertanyaan Keramat

1.7K 106 15
                                    

Pagi harinya, keadaan Dimas sudah lebih baik. Dia sudah tidak lagi demam, panasnya pun kini sudah turun. Saat aku tanya pun katanya kondisinya sudah lebih baik, panasnya memang sudah turun. Hanya saja, manjanya itu yang tidak hilang juga. Setelah kami melaksanakan shalat subuh bersama, dia justru kembali menarikku untuk tidur lagi di dalam pelukannya, padahal aku sudah menolak karena ingin membuat sarapan untuknya.

"Udah, Mi, kamu nggak perlu buatin sarapan segala buat aku. Nanti 'kan kita mau ke tempat Mbak Dian, sarapan aja di sana," ucapnya yang membuatku langsung berdecak.

"Nggak enak lah, Dim, kalau kita sarapan di sana. Masa iya nanti datang-datang langsung makan?"

"Nggak masalah, Mi, lagian Mbak Dian 'kan keluarga aku. Nggak perlu sungkan begitu," ucapnya yang kini malah melilit tubuhku seperti ular, dia seakan tidak membiarkan aku kabur dari sini.

"Bilang aja kamu mau modus ini, supaya bisa peluk aku sesuka hati kamu."

"Nah itu kamu tahu!"

"Lepasin, Dim, yang demam itu semalam, bukan sekarang. Jadi buat apa kamu peluk aku lagi?"

"Nggak mau, aku masih mau tidur sebentar sambil peluk kamu. Masih lemes badan aku, Mi," ucapnya.

"Bentar doang ya, habis ini aku mau mandi dan siap-siap soalnya," balasku akhirnya membiarkan dia memelukku sebentar lagi.

"Mandi? Mandi bareng aja gimana? Biar hemat waktu, Mi," ucapnya yang langsung membuatku langsung mencubit lengannya kuat-kuat, omongannya itu loh membuatku kesal.

"Sakit, Mi!"

"Ya habisnya kamu ngeselin, dikasih hati malam minta jantung. Udah ah, aku nggak mood lagi. Kalau mau peluk, sana peluk guling aja!" tukasku kemudian melepaskan pelukannya dan segera beranjak dari ranjang, kemudian aku pergi menuju kamar mandi. Mengabaikan dia yang berteriak memanggil namaku.

Akhirnya aku sekalian siap-siap saja supaya pagi ini kami bisa pergi ke rumah Mbak Dian, karena memang acaranya pagi ini. Usai siap sekalian ganti pakaian di dalam kamar mandi, aku pun keluar dari sana dan melihat Dimas yang sedang duuk di tepi ranjang. Dia cemberut ketika melihatku, tetapi aku sama sekali tidak peduli.

"Sana mandi, terus siap-siap," ucapku padanya.

"Nggak mau mandiin aku, Mi?" tanyanya yang membuatku berdecak.

"Dim, kamu bukan anak kecil lagi ya. Sana mandi sendiri!" tukasku yang membuatnya langsung pergi menuju kamar mandi, melihat tingkahnya yang seperti itu membuatku terkekeh pelan.

Setelah selesai siap-siap, kami pun segera pergi ke rumah Mbak Dian. Tentunya dengan berjalan kaki, untung saja seharian kemarin panas sehingga jalanan tidak becek seperti kemarin sehingga aku tidak takut kalau bajuku akan terkena cipratan air kotor. Hingga beberapa saat kami berjalan, akhirnya kami tiba juga di rumah Mbak Dian.

"Wah, ternyata tempat perempuan sama laki-laki pisah nih," ucapku ketika melihat keadaannya.

"Aku ikut kamu aja ya, Mi," ucap Dimas.

"Atau kita ke dalam rumah aja, biar aku bisa sama kamu."

"Mana bisa begitu, Dim, udah sana kamu ke tempat lelaki dan aku ke tempat perempuan," ucapku kemudian segera meninggalkannya dan duduk di tempat kosong yang ada di samping ibu-ibu.

Aku melihat Dimas terus menatapku, aku hanya bisa terkekeh pelan dengan tingkahnya. Dia sepertinya tidak bisa jauh dariku, ada saja hal yang ingin membuatnya bisa berada di dekatku. Apakah memang semua suami itu seperti ini?

"Ami ya? Anaknya Bu Susan," ucap seorang ibu-ibu sambil menatapku.

"Iya, Bu," ucapku kemudian langsung menyalaminya.

Suddenly MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang