"Kamu yakin cuma mau itu aja?" tanya Dimas yang kubalas dengan anggukan.
"Iya, dari lama aku pengen banget gantungan kunci ini. Kemarin niatnya mau beli, tapi nggak sempat terus," jawabku.
Aku menatap gantungan kunci yang berada di tanganku dengan mata yang berbinar-binar, aku sangat menyukai benda ini saat pertama kali melihatnya. Waktu itu aku tak memiliki uang yang lebih sehingga belum bisa membelinya dan beruntung sekali Dimas menawarkan diri untuk membayar apa yang ingin aku beli.
"Habis itu mau beli apa lagi?" tanyanya.
"Tas? Baju? Atau mungkin skincare? Make-up?" Aku langsung menggelengkan kepalaku ketika dia menawarkan hal itu padaku.
"Cukup ini aja, semua kebutuhanku masih cukup kok buat satu bulan ke depan," jawabku.
Aku juga tidak enak kalau sampai membeli barang-barang mahal pakai uangnya. Walaupun memang itu sudah menjadi kewajiban Dimas, tetapi tetap saja aku merasa sungkan. Kami menikah bukan karena cinta, aku pun baru mengenalnya pertama kali ketika dia melamarku ke rumah. Tidak ada rasa cinta di hatiku untuknya dan hal itulah yang membuatku sungkan. Kalau sampai kami berpisah nanti, aku takut nantinya tidak bisa mengganti rugi barang yang telah dia berikan.
"Kita beli aja ya buat stok," ucapnya yang langsung kubalas dengan gelengan.
"Nggak usah, Dimas. Ayo, kita pergi aja dari sini. Bentar lagi malam, takutnya gerbang kosanku nanti tutup," balasku sambil menarik tangannya. Mengajaknya segera pergi dari sini.
"Tunggu dulu, Mi." Dimas menarik tanganku agar aku berhenti.
"Ada apalagi? Kita harus buru-buru. Aku nggak mau ya kita sampai kosan, gerbangnya udah dikunci. Nggak enak mau ngeganggu ibu kosan nantinya," tuturku merasa sedikit kesal padanya.
"Aku 'kan mau menghabiskan waktu bersama kamu, Mi, masa kamu mau kita pulang gitu aja?"
"Kita udah jalan-jalan sebentar, aku juga udah nemenin kamu makan. Kurang apalagi, Dim?" tanyaku geregetan padanya, aku terburu-buru karena tidak ingin gerbang kosanku dikunci, tetapi Dimas ini sepertinya sengaja menahanku di sini.
"Itu nggak cukup buat aku, Mi, lagian kita jarang-jarang bisa ketemu. Aku juga nggak bisa terus menemui kamu, ada yang harus aku kerjakan. Aku masih kangen sama kamu, Mi."
Aku berdecak mendengar perkataannya, bukannya aku tidak mengerti dengan semua perkataannya, tetapi saat ini sudah malam. Aku tinggal di kosan yang memiliki aturan dan bukannya kosan bebas. Kalau saja Dimas mengajakku pergi di siang hari, maka aku tidak akan menolak meskipun dia mengajakku sampai seharian penuh. Masalahnya ini sudah malam dan aku tidak bisa pergi lebih lama lagi bersamanya.
"Dim, kamu mikir nggak sih? Ini udah malam loh, nanti kamu pulangnya gimana? Terus aku tidur di mana kalau gerbang kosanku udah dikunci? Nggak mungkin aku menghubungi temanku buat nginap dadakan di tempat mereka. Gimana kalau mereka lagi pulang kampung? Masa iya aku tidur di kolong jembatan nantinya!?" Aku sedikit bersikap keras padanya agar dia mengerti dengan apa yang aku katakan.
"Kan kita bisa chek-in hotel, Mi," ucap Dimas yang membuatku langsung melotot ke arahnya.
"Kamu jangan ngadi-ngadi ya, Dimas, gimana kalau sampai orang lain tahu? Dikira aku cewek nggak bener nanti sama mereka."
"Loh? Kenapa begitu? Kita 'kan suami istri, nggak masalah 'kan kalau chek-in hotel? Untuk malam ini chek-in hotel aja yuk, Mi." Dimas menatapku dengan tatapan memohon, membuatku langsung mendelik ke arahnya.
"Nggak bisa apa kita pulang aja, Dim? Anterin aku pulang ke kosan, please," pintaku memohon.
"Kamu nggak kasihan sama aku, Mi? Aku rela ke sini demi kamu, tapi kamu bahkan mau pulang gitu aja." Dimas malah balas mengatakan hal itu dan itu membuatku langsung tersadar kalau effort Dimas ke sini itu tidak main-main.
"Semalam aja nginap sama aku di hotel, Mi, ya?" Dimas berusaha membujukku yang kini mulai terdiam.
Bukannya aku tidak mau, hanya saja aku takut. Meskipun tidak perlu ada yang harus ditakuti karena Dimas itu suamiku, tetapi justru itu yang aku takutkan. Karena Dimas itu suamiku dan aku sudah halal baginya, itu yang membuatku takut. Bagaimana kalau nanti dia khilaf dan tidak menepati janjinya padaku?
"Aku nggak akan menyentuh kamu dalam artian itu kalau kamu memang belum siap, kamu nggak usah takut. Aku pasti akan menepati janjiku." Aku terkejut saat mendengar perkataan Dimas.
"Kamu bisa baca pikiranku?" tanyaku menatapnya penuh selidik. Akan sangat memalukan kalau selama mengetahui semua isi pikiranku.
"Mana ada aku begitu, Mi, tapi ekspresi kamu menjelaskan semuanya. Kamu takut sama aku? Aku nggak akan buat kamu takut sama aku, aku akan buat kamu nyaman saat bersamaku." Aku langsung menghembuskan napas lega ketika mendengar jawabannya.
"Kenapa, Mi? Kamu kok lega banget? Apa kamu takut kalau misal aku bisa baca pikiran kamu? Memang apa yang lagi kamu pikirin? Jangan bilang kamu lagi mikirin aku ya?" tanya Dimas sambil tersenyum menggodaku dan itu membuatku kesal ketika melihatnya.
"Jangan geer ya kamu, mana pernah aku mikirin kamu. Yang ada selama aku di sini, aku bebas karena nggak ada kamu!" jawabku bersungut-sungut.
"Jadi gitu? Aku kecewa mendengar jawabanmu, Mi, padahal aku berharap kalau kamu selalu mikirin aku sama seperti aku yang selalu mikirin kamu setiap waktu." Aku berdecih mendengar perkataannya, mana Dimas sekarang memasang wajah sok sedihnya lagi. Aku segera berjalan lebih dulu meninggalkannya, malas sekali mendengar setiap perkataan Dimas yang penuh dengan modus terselubung.
"Eh, Mi, mau ke mana!?" teriaknya yang sama sekali tidak aku pedulikan. Aku berjalan lebih dulu meningalkan area mall hingga tiba-tiba saja Dimas menarik tanganku.
"Mau ke mana, Mi?"
"Tadi katanya kamu ngajakin chek-in, ya udah ayo!" jawabku ketus.
Dimas seketika tersenyum aneh, membuatku langsung menatapnya tajam, "Jangan kegeeran dulu, aku setuju karena aku kasihan sama kamu. Daripada kamu nantinya langsung pulang ke kampung, lebih baik menginap dulu semalam."
"Aku senang karena kamu peduli sama aku," ucap Dimas yang membuatku memalingkan wajah.
"Aku bukan peduli, cuma mau tanggungjawab aja. Kamu ke sini 'kan gara-gara aku, makanya aku merasa harus tanggung jawab."
"Apapun alasan kamu, aku akan tetap merasa senang, Mi." Dimas tiba-tiba menggenggam tanganku dan mengajakku ke area parkir di mana mobil temannya berada.
"Nggak usah pegang-pegang, emangnya aku anak kecil apa?" Aku melepas genggaman tangannya karena merasa malu saat ini.
"Ayo silakan masuk, Tuan Putri." Dimas membukakan pintu mobil untukku yang membuatku tertegun dengan sikapnya.
Setelah kami sama-sama memasuki mobil, Dimas pun mulai menjalankan mobilnya. Aku mengernyit ketika Dimas justru menjalankan mobilnya menuju pasar malam yang kebetulan memang sedang ada di sebuah lapangan itu.
"Kok ke sini, Dim? Katanya kita mau ke hotel?" tanyaku heran.
"Kita jalan-jalan dulu, Mi, katanya kamu mau beli jajanan? Kita mampir di sini sebentar ya. Apa kamu mau langsung ke hotel aja? Atau mau sekalian praktek biologi bab reproduksi manusia?" tanyanya yang membuatku mendelik.
"Dimas, jaga mulutnya ya!" Aku langsung memukul tangannya, mendelik kesal ke arahnya yang semakin hari menyebalkan.
***
Malam semuanya, siapa yang nunggu update cerita ini? Mana suaranya....
Maaf ya kemarin-kemarin belum sempat update
Jangan lupa vote komen ya
Cenkyuuu.....
See you next chapter guysss
Salam
Sj
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...