35 - PENANTIAN TIBA

281 8 0
                                    

Hai, udah siap lanjut?
kalo udah, jangan lupa divote dulu dong (•‿•)
Terimakasih.

Tampak dari kejauhan Andiena yang tengah memarkirkan motornya bersama Safana, melihat keakraban yang tidak seperti biasanya.

Sorot matanya tak lepas dari gerak Eric yang tengah berjalan, sambil sesekali menggoda Abhita saat menyusuri koridor sekolah.

"Tumben," gumam Andiena.

menyadari hal itu, Safana pun dengan sengaja meledek sahabatnya, "Dih, cemburu."

"Siapa juga yang cemburu." balasnya tak terima.

"Itu buktinya. Muka lo langsung berubah kaya meja portable, yang bisa ditekuk itu lho." Safana masih berusaha menggodanya, tak lupa dengan gerakan tangannya seolah membayangkan.

Andiena tak lagi menghiraukan perkataan sahabatnya itu, "Udah, ayo ah ke kelas. Nanti kita telat lagi."

"Oke, siapa takut. Cus."

Namun disisi lain tak hanya Andiena dan Safana yang menyaksikan pemandangan pagi itu. Arga, Ravish, Harel, dan Jivan pun juga menyaksikannya dari sudut parkiran sekolah.

"Udah, tenang aja. Eric tau dia punya lo." suara pria sedikit cempreng itu terdengar jelas ditelinga Arga.

Sontak Arga menoleh ke arah suara tersebut, untuk memastika suara dugaannya itu benar.

"Kenapa? Bener kan gue?" tanya Ravish.

Yap, suara itu adalah suara Ravish. Tak menjawab apapun, Arga segera kembali ke posisi semula.

"Lagian, tumben banget dah lo. Ngapain si mikirin ginian?" tanya Harel memastikan bahwa ketuanya tidak benar-benar jatuh cinta.

"Eh?!  Kenapa emang kalo Arga mikirin Abhita jalan sama Eric? Itu tandanya dia normal, gak kaya lo, ganteng!" seru Jivan sambil meletakkan tangannya di bahu sebelah kiri Harel.

"Gue normal ya!"

"Apa buktinya? sampe sekarang aja lo gak punya cewe. Ya, minimal gebetanlah, kaya gue." kata Jivan sombong.

"Eh kunyuk! Emang lo pikir waktu nih anak nolongin dan nganter pulang Safana itu gak normal? Kan lo tau Safana, cewe." Ravish angkat bicara membela.

Jivan tersenyum, tersipu malu karena tingkahnya sendiri.

"Emang. Yang aneh tuh dia, vish. Masa Tarani suka sama bentukan begini si?!" timpal Harel tak terima.

Jivan mendekatkan wajahnya ke hadapan Harel, "Eh, ganteng. Biar kata gue gak seganteng lo, tapi setidaknya udah ada cewe yang mau sama gue. Gak kaya lo, fiktif belaka." jelas Jivan sambil tertawa lepas, memenuhi wajah Harel.

"Buset! Abis makan apaan si lo? Bau banget mulut lo!"

"Hah, Hah." desus Jivan sambil mengarahkan telapak tangannya ke depan  mulut.

"Hehe, tadi gue abis sarapan nasduk pake semur jengkol. Mantep dah, lo mau gak?" ujar Jivan berusaha mengambil hati Harel.

"GAK!"

Melihat kedua sahabatnya terus beradu mulut, Arga pun beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan meninggalkan mereka.

"Kan. Cabut duluan kan dia. Gara-gara lo berdua nih pasti." kata Ravish sambil mengikuti langkah sahabatnya itu.

"Ko gara-gara kita? Gara-gara Eric noh!" teriak Jivan tepat menghadap punggung Arga dan Ravish dari kejauhan.

Harel pun bangkit dari kursinya, dan mengajak Jivan untuk segera masuk ke dalam kelas sebelum bel berbunyi, "Sstt! Udah ayo cepetan, rapihin tuh baju lo. Berantakan banget kaya muka lo."

A QUADRAT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang