Bagian 10 : Menyalurkan kekuatan

772 46 3
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

🍁🍁

“Jika Allah tak memiliki rasa cinta dan kasih yang luas, Dia tidak mungkin menghadirkan rasa penyesalan kepada hamba-Nya yang sudah melakukan tindakan yang melanggar perintah-Nya.”

-Fatih Arkana Fauzan-

Seorang gadis dengan gamis hitam itu duduk di sebuah kursi dengan tatapan kosong mengarah ke depan.

“Dek ...!” Andra menepuk bahu Jihan pelan. Hatinya ikut tersayat melihat adiknya itu seterpukul ini.

“Papa manggil kamu buat makan, sejak pulang dari Pemakaman kamu belum makan sedikitpun, 'kan?” ucap Andra.

“Aku udah jadi anak durhaka, Kak.” Dengan lirih Jihan berucap. Air matanya kembali jatuh.

“Enggak, Dek.” Andra menggeleng tegas. Dia ikut duduk di samping adik satu ayahnya itu. “Kamu bukan anak durhaka.”

“Seharusnya aku dengerin dulu penjelasan Mama pas ke Pesantren, seharusnya aku nggak bentak Mama, seharusnya ....” Jihan menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dadanya sedemikian sesak mengingat bagaimana kasar ucapannya waktu itu.

“Jihan, nggak gitu ....” Andra langsung memeluk tubuh wanita yang tengah terisak itu ke dalam dekapannya. “Semua udah takdir, udah jalannya emang harus kaya gini,” ujarnya. Jihan bungkam.

“Udah, jangan nangis lagi! Sekarang kita makan, ya?” ajak Andra, tetapi Jihan menggelengkan kepala.

“Aku nggak laper, Kak. Kakak duluan aja, nanti kalau aku laper, aku pasti makan, kok.”

“Tapi, Jihan—”

“Kak, aku mohon ...!” sela Jihan cepat dengan wajah menatap sendu Kakaknya itu. Jihan harap Andra mengerti kalau dia saat ini sedang ingin sendiri.

Andra menghela nafas. “Yasudah,” ucapnya pasrah. Lelaki itu kemudian pamit pergi.

Bersamaan dengan kepergian Andra, raut Jihan kembali murung. Dia menghela nafasnya kasar.

‘Tapi kalau bukan omongan aku yang kasar, kondisi Mama nggak mungkin drop dan makin parah, Kak. Mama pergi gara-gara aku. Aku bodoh banget! Aku udah dibutakan oleh kebencian itu! Aku pembunuh!’

Air mata Jihan semakin bercucuran deras. Sungguh dia merasa telah sangat berdosa karena tidak mendengar penjelasan Diana terlebih dulu dan alasan Mamanya itu meninggalkannya. Hatinya amat perih saat mengingat selembar surat yang ditulis Diana sebelum dirinya menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Beberapa jam sebelumnya ....

“Ini apa, Pa?” tanya Jihan ketika Anton memberikannya selembar surat setibanya dia di Bandung.

Melakukan perjalanan tiga jam lamanya membuat Jihan tak sempat untuk melihat wajah Diana yang terakhir kalinya. Terlalu lama kalau harus menunggunya tiba.

Jihan, Rima, Arka dan seorang santri pendamping yang jaga-jaga jika Arka lelah menyetir, tiba di Bandung tak lama Diana selesai dimakamkan.

“Buat kamu, Mama kamu ngasih surat itu sama Papa saat di Rumah Sakit,” jawab Anton.

Jihan menelan ludahnya dengan berat. Jantungnya berdegup kencang ketika tangannya membuka lembaran surat itu.

Baru satu bait Jihan membaca paragraf atas, dirinya dibuat terkejut ketika awalan surat itu Diana menulis salam dan ucapan basmallah.

Semesta Untuk Fatih [END] TERBIT✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang