Bagian 37 : Hari Terakhir?

659 43 5
                                    


بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

🍁🍁


“Sepertinya CCTV di jalan yang kamu sebutkan kemarin sudah diretas, Ka. Yang terlihat di sini terpotong langsung ketika kamu dan Dian pelukan.”

Arka menghela nafasnya panjang. “Artinya Dian memang udah merencanakan semua ini dengan matang. Dia juga paham letak CCTV di sana.”

“Sepertinya begitu. Dan kemungkinan juga kayaknya Dian melakukan ini dibantu seseorang.”

Kening Arka bertaut. “Maksudnya?”

“Dalam rekaman ini, ketika kamu pergi ada seseorang yang mendatangi Dian. Kalau dilihat dari posturnya sih, kayaknya laki-laki.”

Posisi duduk Arka tegak seketika. “Laki-laki?”

“Iya. Mungkin teman atau saudaranya Dian kali. Aku punya ide, gimana kalau besok kita mengecek data identitas diri Dian waktu pertama kali masuk Pesantren. Dari situ 'kan kita bisa tahu Dian itu anak keberapa dan punya saudara siapa aja.”

Arka mengangguk setuju. “Nanti aku minta izin dulu ke Umi sekalian tanya dimana tempatnya semua data anak santri.”

“Yasudah. Kalau gitu sekarang aku tutup dulu telponnya—”

“Tunggu sebentar, Dan!” potong Arka cepat. “Bisa kirim rekamannya tadi?”

“Bisa. Sebentar, Ka.”

Arka menjauhkan ponselnya itu dari telinganya, lalu menghubungkannya pada laptop. Tak lama kemudian video yang diminta berhasil terkirim. Segera, Arka membuka video tersebut dan melihatnya dengan jeli.

Benar yang dikatakan Dani! Ada seorang lelaki yang mendatangi Dian. Namun, wajah pria itu tidak dapat dikenali karena memakai masker. “Siapa lelaki ini? Dan apa hubungannya sama Dian?”

Arka berdecak. Semua akan semakin rumit dipecahkan kalau Dian betul-betul tidak melakukan semua ini sendiri. Lelaki itu menghela nafasnya panjang, lalu menyandarkan kepalanya di sofa. Seandainya Pak Rama sudah berada di Indonesia, tentu dia akan meminta bantuan Detektif itu untuk menyelesaikan masalahnya kini.

Sementara di dalam kamarnya. Jihan mulai bosan menunggu Arka masuk ke kamarnya. Dia melirik jarum jam yang menempel di tembok sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Sebetulnya, Arka sudah memintanya untuk tidur duluan, tetapi Jihan tidak bisa tidur. Sudah berusaha memejamkan mata tapi rasa kantuk itu tidak datang juga. Mungkin karena ini kamar dengan suasana baru, makanya Jihan merasa belum nyaman.

Ya, Arka memang mengajak mereka untuk menginap di rumah baru mereka kini untuk malam ini. Katanya sebagai pengenalan. Aneh memang, pengenalan rumah dengan cara menginap.

“Susul aja deh!” gumamnya, lalu melangkahkan kakinya keluar kamar. Setibanya di luar, tatapan Jihan langsung tertuju pada suaminya yang duduk di sofa dengan kepala menyangga sofa.

Kening Jihan bertaut. Jangan-jangan suaminya ketiduran di sana!

Tanpa buang waktu Jihan menghampiri Arka dan berdiri di belakang suaminya itu.

“Mas ...!” panggilan pertama Arka tak menyahut.

“Mas Fatih ...!” Masih sama, Arka tak menyahut sama sekali.

Jihan menghela nafas singkat, lalu berjalan ke hadapan Arka. Benar saja! Lelaki itu ketiduran rupanya.

Jihan tak tega membiarkan Arka tidur di sofa seperti ini. Suaminya itu bisa bangun dalam kondisi pegal-pegal. Jihan berinisiatif membangunkan suaminya dan memintanya pindah ke kamar. 

Semesta Untuk Fatih [END] TERBIT✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang