بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ🍁🍁
Bohong jika Arka tak sedikitpun terpengaruh dengan sikap dingin Jihan padanya. Apalagi, sampai berbulan-bulan sampai hari kelulusannya kini.
Ingin rasanya Arka bertanya langsung kepada Jihan tentang alasan perubahan gadis itu. Nyatanya, sekuat apapun dia menampik, rasa cemas itu tak terelakkan.
Namun, semua menjadi sulit dirinya lakukan. Selalu saja ada halangan setiap kali dirinya ingin berbicara dengan Jihan.
Tok! Tok!
“Arka ...!”
Arka yang baru saja tuntas berdoa langsung menoleh dan menemukan Rima berdiri di balik pintu kamarnya. Ya, saat ini Arka memang sedang di rumah.
“Iya, Umi. Umi butuh sesuatu?” tanyanya.
Rima tersenyum dan melangkah memasuki kamar putra bungsunya itu dan duduk di tepi kasur.
“Hasil tes kamu ke Madinah udah keluar?” tanya Rima, lalu duduk di pinggir tempat tidur putra bungsunya itu.
“Belum.” Arka melepas peci hitamnya dan diletakkan di atas laci.
“Kata Kak Zai sih ... hasilnya keluar hari ini,” lanjutnya yang sudah duduk di samping Ibunya tercinta.
“Semoga kamu diterima.” Senyum tulus dari wajah Rima terbit, membuat Arka ikut tersenyum juga.
“Aamiin ....”
“Oh iya.” Rima mengambil sebuah tas bingkisan berwarna coklat dan memberikannya kepada Arka.
“Nanti kamu kasih bingkisan ini sama Jihan, ya?”
Arka menerimanya dengan kening bertaut. “Ini apa, Umi?” tanyanya.
“Itu hadiah kecil untuk Jihan. Anggap aja sebagai hadiah kelulusannya besok. Cuma itu yang bisa Umi kasih sebelum dia pergi,” tutur Rima dengan wajah yang berubah sendu.
“Pergi?” Mata Arka memicing sesaat. Tak lama kemudian, dia tersenyum kecil. “Oh ... maksud Umi pulang ke rumahnya di Bandung dulu maksudnya?” Arka beranjak bangun untuk meletakkan bingkisan itu di atas meja belajarnya.
Rima mengangguk. “Dan tidak akan kembali lagi.”
Deg!
Arka mematung. Tidak kembali? Maksudnya? Dengan cepat Arka kembali menghadap wajah sang Ibunda dengan tatapan menyorot serius.
“Maksud Umi? Dia ‘kan baru lulus MTS, memang nggak mau lanjut ke MA di sini?” tanyanya bertubi.
Rima menggeleng. Dia menatap putranya yang kini berada di hadapannya. “Jihan akan melanjutkan ke jenjang SMA sekolahan lain, Ka,” jawabnya. Wanita itu menghela nafas.
“Sebetulnya, beberapa bulan yang lalu Jihan sempat bilang sama Umi mau berhenti mesantren saat itu, cuma Umi larang dia dan minta dia untuk tunggu sampai nanti dia lulus. Umi fikir Jihan akan berubah fikiran, tapi ternyata enggak! Dia tetap mau pergi,” lanjutnya, kemudian disusul dengan helaan nafas yang terdengar berat.
Seluruh persendian Arka terasa melemas. Jika tak segera berpegangan pada pembatas ranjangnya, mungkin Arka akan terjatuh. Kenapa? Kenapa Jihan memutuskan pergi?
“Kenapa Jihan nggak nerusin di sini aja sih?” tanyanya dengan suara memelan. Seperti ada beban berat yang barusan menimpa dadanya. Sesak sekali. Kenyataan kalau setelah ini, dia mungkin tak akan bisa melihat Jihan lagi. Akan terbentang jarak di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Untuk Fatih [END] TERBIT✔️
General FictionSpin off ≈ Munajat Cinta Shafiya [Romance - sad - Spiritual] ____ Dibalik sikap menyebalkannya, Arka ternyata memiliki sisi hangat dan penyayang. Dia juga sangat lihai menguatkan dan memberi semangat pada orang-orang yang sedang bersedih. Salah satu...