"Misedaapppppl!" panggil seorang perempuan ketika melihat temannya tidur nyenyak. Bukannya mempermasalahkan tidurnya, tidak. Hanya saja temannya ini tidur ketika waktu pelajaran akan dimulai.
"FAZATUL ILMI!" teriak temannya yang membuat sang empu langsung mengangkat kepala pertanda ia sudah bangun. Yap, Fazatul Ilmi namanya, nama yang indah namun tak se indah kehidupannya. Miesedap adalah panggilan yang dibuat khusus oleh perempuan yang berteriak itu untuknya. Kelebihan Faza adalah selalu tidur kapanpun dan dimanapun. Entah apa yang dikerjakannya semalam, baru pagi udah ngantuk aja pikir temannya.
Fazatul ilmi adalah seorang gadis yang terlahir yatim-piatu. Ia kini bersekolah di SMA swasta yang terkenal berisi dengan anak-anak kelas atas. Seperti anak konglomerat, CEO, abdi negara, dan lain sebagainya. Jika kalian berfikir bahwa Faza berasal dari keluarga kelas atas, maka kalian salah besar. Jangankan dilahirkan dari keluarga kelas atas, orang tua pun ia tidak punya. Begitu malang nasibnya bukan? Yap, Faza hanyalah seorang gadis yatim-piatu. Bagaimana bisa ia masuk ke sekolah itu?
Bukan, bukan. Fazatul Ilmi bukanlah seorang yang pintar. Dia hanyalah siswa biasa yang menyukai tidur. Lalu mengapa dia bisa bersekolah di SMA Bimantara? siapa yang tak mengenal sekolah itu? tak hanya terkenal dengan biaya spp nya yang mahal. Namun juga terkenal dengan sekolah yang mencetak banyak prestasi. Fazatul Ilmi bisa masuk kesana karena kakak dari almarhumah mamanya. Faza tak perlu mencari uang untuk membayar spp lagi, karena sudah dibayar lunas oleh kakak mamanya itu.
Namun, kehidupannya tak seindah yang dibayangkan. Dia harus bekerja paruh waktu untuk mendapatkan sesuap nasi dan membayar uang kos-kosannya. Tahun ini, adalah tahun terberat di dalam hidupnya. Dimana kakak dari mamanya telah meninggal satu bulan yang lalu, tak ada lagi yang mau menampung hidupnya. Suami dari kakak mamanya itu adalah orang yang tamak, ia menikahi perempuan lain dan membawa lari semua aset harta kakak mamanya. Sedangkan rumah kakak mamanya sudah terjual. Yap, sekarang ia tak bisa apa-apa. Mau mintak tolong pun, ia tak tahu harus mintak tolong kepada siapa. Karena memang di kota Yogya ini ia hanya tinggal seorang diri.
Mau putus sekolah, sayang sekali rasanya. Biaya spp yang telah lunas juga tidak bisa dikembalikan. Jadi lebih baik ia tetap melanjutkan sekolahnya. Faza bekerja paruh waktu di sebuah kafe dekat dengan sekolahnya. Sudah banyak yang mengetahuinya bekerja di sana. Namun ia tidak pernah malu selagi halal yowes ndak masalah. Toh, emangnya mereka saha?
"Ish apasiiii ganggu aja!" kesal Faza ketika tau teman sebangku sekaligus sahabatnya ini mengganggu tidur nyenyaknya.
"Bangun wey bentar lagi guru masuk," ujar sahabatnya yang bernama Fara. Jika Faza sebatang kara maka Fara sebaliknya. Fara mempunyai kehidupan nyaris sempurna. Ia memiliki orang tua yang lengkap dan kaya raya. Fara juga sering membantu Faza dalam keadaan terpuruknya. Ya itulah gunanya sahabat. Ada dikala senang dan terpuruk.
"Iyaiyaa ihh," kesal Faza lalu bangun mengangkat kepalanya.
Selang beberapa menit guru yang mengajar di kelas itu mulai datang dan memulai proses belajar-mengajar nya. Pagi ini mereka tengah belajar fisika. Sungguh, Faza sama sekali tak mengerti apa yang diterangkan oleh guru di depan sana. Otaknya mumet melihat soal-soal yang tertera di depan sana. Tampaknya guru itu akan mencari mangsa untuk menyelesaikan soal itu.
Faza harus menunduk dan bersembunyi dibelakang tubuh teman-temannya. Agar guru tersebut tak menunjuknya untuk ke depan menjawab soal-soal itu.
"Lu ngapain sih?" tanya Fara melihat Faza yang terus-terusan menunduk.
"Sttt diem. Lu gak liat tuh guru lagi nyari mangsa buat jawabin tuh soal? gua gak paham sama tuh soal. Jadi mending gua sembunyi aja," terang Faza panjang lebar yang membuat Fara memutar bola matanya malas.
Ia tahu betul bahwa Faza sangat lemah dalam akademik. Namun sebaliknya di bidang non akademik, Faza lah juaranya. Faza suka sekali menggambar, menurut Faza menggambar adalah tempat penyaluran emosi sekaligus limpahan keluhannya. Faza menyalurkan keluhannya dengan menciptakan sebuah karya.
"Fazatul Ilmi," Terdengar suara guru memanggil Faza yang membuat sang empu menegakkan kepalanya.
"I-iya Bu?" saut Faza dengan gugup. Sungguh, sedari tadi ia sama sekali tidak memperhatikan guru itu menerangkan. Karena ia yakin, sekeras apapun ia memperhatikan guru itu. Jika otaknya tidak mampu, maka tidak akan bisa masuk ke dalam otak kecilnya ini.
"Silahkan ke depan!" ucap guru itu yang membuat Faza menelan ludahnya. Semesta tak berpihak padanya, mampus lah ia bagaimana ini? melihat soal-soal itu saja kepalanya sudah sakit. Faza tahu betul konsekuensi jika tak bisa menjawab soal yang diberikan guru satu ini. Apalagi kalau bukan hormat kepada tiang bendera? Faza melihat ke luar jendela. Matahari terik sekali hari ini seolah-olah sepakat untuk menyiksa Faza.
"Ngapain Bu?" tanya Faza basa-basi yang membuat Fara menahan tawanya.
"Nyanyi," jawab guru itu yang membuat Faza membulatkan bola matanya. Menyanyi? tumben guru ini baik hati? apa dia semalam mendapatkan hidayah dari Tuhan? timbul banyak pertanyaan di dalam otak kecil gadis itu.
"Baik Bu," ujar Faza dengan semangat 45. Faza dengan bermodalkan percaya dirinya menuju ke depan kelas. Ia tersenyum membungkuk menghormati guru tersebut.
"Baik teman-teman, judul yang aku bawakan kali ini adalah penjaga hati," ucap Faza yang membuat semua teman-teman kelasnya menahan tawa. Apa Faza tak mengerti bahwa guru di belakangnya sudah emosional? Fara yang melihat guru itu melihat Faza dengan tatapan seperti membuatnya khawatir. Pastilah Faza akan berjemur di depan tiang bendera hari ini.
Karena bersamamu semua terasa indah
Faza mulai bernyanyi dengan percaya diri. Tak lupa dengan senyuman lebar yang terbit dari bibir mungilnya.
Mendengar muridnya bernyanyi membuat guru itu menghela napasnya kasar. Mengapa muridnya yang satu ini tak mengerti? guru itu mulai menggebrak meja menghentikan Faza yang tengah asik menghayati lagu yang dibawakannya.
Mendengar gebrakan meja membuat Faza langsung menghentikan nyanyiannya. Faza sedikit kaget mendengar gebrakan itu. Ia berbalik badan menoleh menatap guru dibelakangnya tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, firasat Faza mengatakan ia akan berjemur di lapangan hari ini. ' Udah dekil, makin dekil nih muka.' -batin Faza.
"K-kenapa Bu?" tanya Faza gugup, percayalah ia sungguh takut dengan tatapan guru ini seperti mengulitinya saja.
"Jawab soal-soal ini FAZATUL ILMI!" ujar guru tersebut emosi yang membuat sang empu langsung mengambil spidol yang tersedia. Lalu mulai melihat soalnya. Faza yang melihat soal itu sudah pasrah duluan. Apa ia harus mengakui saja kalau dia tidak bisa menjawabnya? 'duh malu bangett lah gitu, keliatan banget gobloknya.' -batin Faza.
Melihat muridnya yang tak kunjung menggoreskan tinta spidol membuat amarahnya kian memuncak. "TUNGGU APA LAGI?" teriak guru itu yang membuat Faza ketakutan. Sungguh, siapapun tolong Faza!
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Perfect (End)
Ficção AdolescenteDia terlalu sempurna untuk diceritakan secara sederhana. He is perfect. Kamu pernah mendengar bahwa kita akan sempurna dimata orang yang tepat? Yap, Faza tengah mengalami hal itu. Faza melihat sosok laki-laki yang menolongnya itu seperti bidadara y...