Kini mereka sudah berada di mension Tala. "Makasi Aksa!" ucap Faza tulus.
"Iya sama-sama," balas Aksa tersenyum.
Melihat Aksa tersenyum membuat Faza kaget. Pasalnya baru kali ini Faza melihat Aksa tersenyum seperti ini. Manis, kata itu yang pertama kali muncul di otak kecilnya. Aksa itu manis, ia mempunyai lesung pipi. Putih namun tidak pucat, putih susu seperti nya, manis.
"Za?" panggil Aksa yang membuat Faza sadar dari lamunannya.
"E-eh iya Sa?" saut Faza.
"Aksa boleh minta nomor WhatsApp Faza?" tanya Aksa hati-hati.
"E-eh?" Faza bingung harus merespon apa. Ia tak menyangka seorang Aksa Renjana meminta nomornya? apa ini mimpi? sebenarnya ada apa dengan anak dari pemilik SMA Bimantara ini.
"Za," panggil Aksa lagi karena Faza tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"B-boleh kok!" ujar Faza semangat. Kapan lagi punya nomor cogan kan. Tenang, Tala tetap di hati.
Mendengar itu Aksa tersenyum, ia memberikan handphone nya kepada Faza. Dengan senang hati Faza menerimanya lalu mulai mengetikkan nomor handphone nya. Sesuai dugaannya pasti handphone Tala sangatlah mahal. Terbukti kini ia memegang handphone yang sama dengannya namun dengan warna yang berbeda.
"Ini Aksa," ujar Faza setelah mengetikkan nomor handphone nya.
Aksa menerimanya dengan baik dan Aksa kembali menerbitkan senyumannya. "Makasih ya," ucap Aksa yang diangguki Faza. Tak lupa Faza membalas senyuman manis Aksa.
Setelah berpamitan Aksa langsung pergi meninggalkan Faza. Setelah motor Aksa sudah tak terlihat dari pandangannya, Faza mulai masuk ke dalam mension Tala. Hal yang pertama Faza temui adalah mension Tala kosong. Faza tak tahu kemana Tala, apa dia masih belum pulang sampai sekarang? atau mension ini sudah dijual karena keluarga Tala tiba-tiba bangkrut? lalu dimana barang-barang Faza? harusnya di keluarkan bukan? Faza langsung berlari mengecek kamarnya.
Faza mulai melihat ke dalam lemari bajunya. Setelah mendapati bajunya masih tersusun rapi Faza menghela nafas lega. Baju nya masih tertata dengan rapi, begitupun barang lainnya. Berarti keluarga Tala tak bangkrut. Mungkin saja Tala belum pulang pikirnya.
Selang beberapa menit, Faza mulai beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badannya yang telah lengket dengan keringat. Setelah mandi Faza langsung menuju dapur. Ia mulai memasak makanan untuk ia makan karena perutnya yang terus berbunyi semenjak di halte tadi.
Faza memasak dua porsi makanan, satu untuknya dan satu untuk jodohnya, Bumantala. Faza mau menunggu Tala pulang sebenarnya. Namun, perutnya yang sudah berbunyi terus membuat Faza mengurungkan niatnya itu. Faza kini sudah menyantap masakannya. Ia memasak ayam goreng, tak lupa dengan sambal terasi dan lalapannya.
"Eumm udah cocok ikut master chef ini mah!" monolognya saat dirasa sambal dan ayam nya yang enak.
"Pasti Tala suka!" seru Faza semangat. Ia menghabiskan makanannya hingga kandas.
Setelah menghabiskan makanannya, Faza mulai membereskan meja makan agar bersih seperti semula. Faza ke atas mengambil buku-bukunya untuk belajar di bawah. Ia takut nanti kalau di atas sendirian. Di mension yang sebesar ini hanya ada Faza seorang. Jadilah ia duduk di sofa dekat pintu masuk. Supaya nanti mudah untuk melihat Tala dan jika gempa Faza bisa langsung keluar pikirnya.
Faza mulai memahami materi-materi yang belum sempat ia pahami. Hari ini adalah hari terakhir Faza belajar di rumah. Besok dan seterusnya ia akan belajar bersama siswa-siswi kelas unggul dengan guru profesional di sekolah. Ia pastikan jam pulangnya akan mendekati malam. Tak ada lagi waktu untuk bermain selama sebulan ini. Faza menghela nafas lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Perfect (End)
Ficção AdolescenteDia terlalu sempurna untuk diceritakan secara sederhana. He is perfect. Kamu pernah mendengar bahwa kita akan sempurna dimata orang yang tepat? Yap, Faza tengah mengalami hal itu. Faza melihat sosok laki-laki yang menolongnya itu seperti bidadara y...