Untuk kedua kalinya, Kyungjun mengantar Jiwon pulang hari ini.
Dua muda mudi itu berjalan bersama menuju rumah Jiwon yang masih cukup jauh. Berada lama dalam keheningan sampai Jiwon tiba-tiba buka suara.
"Junhee tampaknya memiliki kehidupan yang cukup bagus."
Alis Kyungjun menekuk, tidak tahu arah pembicaraan Jiwon sampai gadis itu kembali bicara.
"Dia punya orang tua yang peduli padanya dan kelihatan harmonis," kata Jiwon, menjelaskan karena menyadari kebingungan Kyungjun.
Akhirnya paham, Kyungjun mengangguk ringan.
"Aku iri. Orang tuaku selalu bertengkar, meributkan segalanya meskipun itu hal kecil." Jiwon menghebuskan napas berat ditengah ceritanya. "Mereka membuat rumah yang selalu tenang menjadi sangat ribut. Padahal, mereka jarang berada di rumah, membuat aku dan adikku seolah tidak punya orang tua, tapi setidaknya kami merasa tenang. Mereka pulang hanya untuk bertengkar, saat itu terjadi yang bisa kulakukan hanya keluar dari rumah. Mengungsi ke rumah Donghyun atau berjalan tanpa tujuan pasti hanya untuk menghindar dari pertengkaran memuakan mereka..." Jiwon melirik ke arah Kyungjun dan menemukan lelaki itu tampak memperhatikan dengan seksama dan mendengarkan. Tiba-tiba Jiwon tersadar bahwa dia sudah bercerita terlalu banyak. "Maaf, aku jadi curhat," ungkapnya, meringis malu.
Kyungjun mengukir senyum kecil, menggeleng tidak keberatan. "Aku juga," aku Kyungjun, mengambil fokus Jiwon. "Keluargaku jauh dari kata harmonis." Dia memandang jauh ke depan, menerawang sembari bercerita. "Orang tuaku berpisah sejak aku masih berumur 10 tahun." Kyungjun menoleh pada Jiwon dan terkekeh geli saat melihat ekspresi sedih yang Jiwon tunjukan.
"Aku tidak pernah tahu tentang itu. Jadi, kau tinggal bersama ayah atau ibumu?"
"Ayahku," sahut Kyungjun. "Dia pria bertempramen keras dan cukup disiplin. Ya, aku tahu. Berbanding terbalik dari sikapku, bukan?" Kyungjun terkekeh, membuat Jiwon mendelik seraya menatap aneh. Bisa-bisanya Kyungjun tertawa ditengah cerita yang menurut Jiwon agak menyedihkan.
"Tidak semua orang beruntung dalam hal keluarga," kata Kyungjun. Jiwon mengangguk setuju.
"Kadang. Aku berpikir untuk tidak akan pernah berkeluarga, karena tumbuh dan melihat bagaimana sebuah keluarga hancur dan hanya memberikan luka. Tapi aku juga melihat bahwa tidak semua keluarga seperti keluargaku. Misalnya keluarga Donghyun atau Junhee."
"Aku berpikir sebaliknya," sahut Kyungjun. "Aku punya tekad, bahwa jika aku benar-benar punya keluarga sendiri nantinya, aku akan memperlakukan mereka dengan baik, agar perpecahan itu tidak terjadi. Agar mereka tidak merasakan apa yang pernah kurasakan."
Sudut-sudut bibir Jiwon tertarik ke atas, membentuk senyum manis. Merasa kagum untuk pertama kalinya pada Ko Kyungjun.
"Apa? Kau pikir aku tidak bisa berpikir hal seperti itu?" Kyungjun menatap curiga dan kecewa.
Jiwon terkekeh geli. "Aku tidak menduga bahwa kau bisa memikirkan sesuatu semendalam itu. Kau tahu? Itu cukup manis."
Kyungjun berdehem, merasa salah tingkah. Dia segera memalingkan wajahnya dari Jiwon saat merasakan panas menjalari wajahnya. Berdehem sekali lagi untuk mengontrol dirinya agar bersikap biasa lagi, Kyungjun kembali menoleh ke arah Jiwon yang tengah berjalan di sampingnya. "Ngomong-ngomong, aku baru tahu kalau kau punya adik," ujar Kyungjun, mengganti topik untuk mengalihkan pembicaraan sebelumnya.
"Adik laki-laki, 12 tahun. Namanya Jaewon," sahut Jiwon. "Kalau kau? Anak tunggal?" Jiwon bertanya balik. Dibalas anggukan oleh Kyungjun.
"Bisakah aku bertemu denganya lain kali?" tanya Kyungjun, membuat Jiwon mendelik curiga sejenak, namun Kyungjun segera menanggapi malas, "aku tidak akan mengajarinya macam-macam, okey?"
Jiwon menyemburkan tawa, membuat Kyungjun menghela napas berat dengan malas. "Aku tidak mengatakan apa-apa tahu."
"Tatapanmu menyatakan segalanya."
"kau benar-benar menghapal maksud tatapanku ya," kekeh Jiwon. "Jaewon bukan tipe anak yang suka berdiam diri di rumah. Jika ada kesempatan, kau bisa bertemu dengannya."
Mereka akhirnya tiba di depan rumah Jiwon. "Terima kasih. Untuk mengantarku. Dua kali," ungkap Jiwon. Kyungjun mengangguk sembari tersenyum simpul.
"Kau akan mengunjungi Kim Junhee besok?" tanya Kyungjun.
"Ya. Kau mau ikut?" tawar Jiwon.
Kyungjun menggeleng. "Dia mungkin tidak menginginkanku berada di sana," jawabannya membuat Jiwon menghela napas berat.
"Sudah. Cepatlah masuk ke dalam rumahmu. Aku pamit, dah."
Kali ini, Kyungjun tidak menunggu sampai Jiwon masuk ke dalam rumahnya. Dia langsung berbalik dan berjalan pergi menjauh.
Perasaannya cukup tidak menentu sejak tadi. Dia senang memiliki waktu berdua bersama Jiwon meski hanya untuk beberapa saat. Namun, menyaksikan apa yang terjadi di rumah sakit sebelumnya cukup menganggu pikiran Kyungjun.
Dia tidak yakin tentang pemikirannya sendiri, tentang Jiwon mungkin memiliki perasaan terhadap Kim Junhee. Pemikiran itu membuatnya bimbang dan agak gelisah.
Kyungjun bukan tipe orang yang mudah menyerah, dia berjuang meski berada di ambang kematian. Tapi kata-kata Donghyun tadi siang, saat sahabat Jiwon itu menghajarnya dengan penuh amarah. Donghyun mengatakan sesuatu yang cukup membekas dalam benaknya.
"Yang bisa kau lakukan hanya melukainya. Jiwon akan dalam bahaya jika dia berada di sekitarmu. Hidupmu, Ko Kyunjun, hanya dipenuhi perkelahian dan masalah."
Perkataan Donghyun benar-benar berhasil menamparnya telak. Dan Kyungjun tidak punya argumen untuk membantah satu kata pun dari kalimat-kalimat tersebut.
Kyungjun jatuh cinta pada Jiwon, dan dia tulus. Tapi mengingat kebelakang tentang sikap dan tingkah lakunya membuat Kyungjun sadar. Dia dan Jiwon berbeda. Pemikiran lama itu timbul tenggelam dalam benaknya, membuatnya terombang-ambing.
"Sial!"
Dia menedang udara dengan kesal, mengerang keras dengan frustasi.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
ɴʜᴄ: ᴄᴀᴛᴄʜɪɴɢ ғᴇᴇʟɪɴɢs ✓
FanfictionMasa-masa penuh duka itu sudah berlalu. Kini, mereka telah duduk di bangku senior, bersiap menghadapi ujian kelulusan yang sudah berada di depan mata. Namun, dalam masa-masa singkat itu, masih ada banyak cerita yang belum usai dan menunggu untuk dit...