[27] a promise

315 54 1
                                    

Orang-orang mengatakan bahwa seorang yang kita sukai akan terlihat berbeda dari pada orang lain di sekitar kita. Sesuatu membedakan mereka, seolah hati yang berdebar ikut mempengaruhi fungsi mata, membuat kita memandang mereka lebih istimewa.

Junhee ingat pertama kali ia mulai menyadari perasaannya terhadap Jiwon. Gadis itu berbeda dari kebanyakan gadis di sekitarnya, dia menarik dan karenanya, Junhee jatuh tempat di bawah kuasanya.

Jiwon seperti mangnet, sementara Junhee adalag besi yang tidak berdaya dan selalu tertarik ke arahnya.

Selama mafia game, Junhee menghawatirkannya nyaris setiap waktu. Khawatir setiap kali pagi tiba dan nama orang yang dibunuh mafia diumumkan, cemas setiap kali Jiwon hilang dari radar pandangannya, takut setiap kali gadis itu mengambil langkah berani tanpa rasa takut untuk mati.

Waktu yang mereka habiskan dalam game adalah waktu yang sulit. Terlalu banyak ingatan buruk yang membekas dibenak mereka. Namun, ada satu ingatan yang benar-benar menjebak Junhee. Ingatan di kolam renang, ingatan saat Jiwon mati.

Berulang kali Junhee bersyukur bahwa itu adalah permainan. Kematian yang mereka saksikan atau kematian yang mereka alami hanyalah sebuah reka dari alur game yang berulang. Meski rasa sakitnya nyata, dan ingatan buruk itu membentuk trauma, setidaknya segala kejadian itu tidak nyata.

"Apa yang paling kau sesali selama kita terjebak dalam permainan?"

"Bagaimana denganmu?"

Jiwon tersenyum kecil ketika pertanyaan itu dilemparkan balik padanya. Dia mengulum bibir, menatap ke arah langit biru sembari berpikir. Suara bising dari anak-anak sekolah yang berkeliaran di sekitar tidak begitu menganggu, Jiwon justru merasa lebih tenang karenannya. Seolah suara bising itu mengingatkannya bahwa dia berada di dunia nyata saat ini.

"Saat kalian pergi mendaki gunung untuk mencari jalan keluar."

Junhee mengejrap, dia sedikit terpaku ketika ingatan tersebut hinggap dalam benaknya sesaat.

"Aku ingat kau menatap sinis padaku saat itu."

Jiwon terkekeh kecil. "Itu karena aku kesal padamu. Kalau dipikir lagi, firasatku cukup bagus jika mengenai hal buruk." Dia menghebuskan napas berat. "Aku benar-benar khawatir saat itu."

Obrolan tentang mafia game itu muncul begitu saja, tanpa sadar, obrolan mengarahkan mereka pada cerita-cerita dibalik tragedi yang hanya ada dalam pikiran mereka.

"Jiwon-na."

Panggilan Junhee akhirnya mengalihkan Jiwon yang tengah memandang langit. Gadis itu menatapnya, dengan tanya dibalik sorot matanya.

"Sepulang sekolah nanti, apakah kau punya waktu?"

"Tidak," sahut Jiwon. "Mau mengajakku ke suatu tempat?" Tebaknya tepat sasaran.

Junhee tersenyum dan kemudian mengangguk kecil. "Ya, ada sesuatu..."

Jiwon ikut tersenyum, dia menyela. "Kalau begitu mari pulang bersama saja."

Ada yang berbeda dari sorot mata Jiwon, Junhee baru menyadarinya belum lama ini. Sesuatu yang membuat jantungnya berdebar lebih hebat. Jiwon juga memiliki perasaan untuknya, seolah tanpa mengatakan apa pun, Junhee menjadi cukup percaya diri bahwa dia adalah pemenang.

"Mari bertemu di halte bus sepulang sekolah nanti."

Bel mengakhiri obrolan mereka siang itu. Jam istirahat telah berakhir, dan waktu untuk pelajaran berikutnya akan di mulai.

Jantung Junhee tidak berhenti berdetak hebat, menunggu pengakuan yang telah dia rencanakan sejak beberapa hari lalu. Tapi waktu yang terlalu diperhatikan seolah bergerak menjadi lebih lamban. Junhee menunggu dengan tidak sabaran hingga nyaris tidak fokus selama pelajaran berlangsung.

Itu menjadi lebih menyebalkan saat wali kelas memintanya mengembalikan buku-buku yang dipakai selama pelajaran ke perpustakaan.

"Junhee-ya, sampai jumpa di halte." Jiwon menepuk bahunya, berpamitan singkat padanya. Senyum terulas di wajah cantiknya, terlihat cerah, berbanding terbalik dari cuaca yang muram.

Tidak ingin membuang waktu, Junhee segera mengangkat tumpukan buku tersebut dan membawanya, mengantarkannya ke perpustakaan.

Langit semakin gelap, dengan warna abu-abu berhasil menguasai dan menghapus birunya langit siang tadi. Junhee mengeluh saat dia keluar dari perpustakaan dan melihat hujan mulai turun diluar sana. Karena mencemaskan Jiwon yang sedang menunggunya di halte, Junhee berlari, menyusuri koridor yang telah lenggang karena nyaris semua murid telah meninggalkan sekolah.

Sampai tiba-tiba, langkahnya terhenti tepat beberapa langkah dari pintu toilet yang terbuka, dan seseorang terbaring di sana. Mata Junhee sontak membelakak saat mengenali siapa itu.

"Yoonseo-a!"

Tubuh Yoonseo terbaring di ambang pintu toilet perempuan yang terbuka lebar. Gadis itu pingsan tanpa sepengetahuan siapa pun sampai Junhee menemukannya.

"Yoonseo-aa, hei! Sadarlah!"

"Yoonseo-aa!"

"Sadarlah, Lee Yoonseo!"

Kepanikan Junhee meningkat, dia kelabakan saat mengambil ponselnya dan mencoba menekan angka 119 untuk menghubungi ambulance.

Asma Yoonseo sering sekali kambuh akhir-akhir ini. Dan itu meninggalkan efek yang cukup parah. Terakhir kali Junhee mengantar Yoonseo ke rumah sakit karena pingsan di tempat bimbel, Junhee sempat mendengar bagaimana kondisi Yoonseo.

Ambulance datang tidak lama kemudian dan paramedic segera membawa Yoonseo ke rumah sakit. Junhee yang khawatir ikut naik ke dalam ambulance, melupakan janji yang dia buat dan kembali dia ingkari untuk yang kedua kalinya.

Rasa cemasnya membuatnya lupa, bahwa seseorang sedang menunggunya. Di halte bus, tempat seharusnya Junhee menemui Jiwon.

Gadis itu masih duduk di sana. Bahkan melewatkan bus yang biasa dia naiki untuk pulang. Duduk sendirian untuk menunggu, sama sekali tidak sadar bahwa, seseorang yang ditunggunya berada dalam ambulance yang baru saja melewati halte.

Hujan menjadi semakin deras. Jiwon bangkit berdiri, mengulurkan tangan untuk menangkis tetes-tetes yang jatuh. Tersenyum begitu dinginya air menyentuh telapak tangannya. 

To Be Continued

ɴʜᴄ: ᴄᴀᴛᴄʜɪɴɢ ғᴇᴇʟɪɴɢs ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang