Ada banyak hal dari diri Junhee yang membuatnya menarik bagi banyak perempuan. Dia tampan, baik dan perhatian. Sulit untuk menolak pesona dari laki-laki semacam itu.
Jiwon adalah satu dari banyak perempuan yang terjebak dalam pesonanya. Perhatian yang Junhee berikan padanya menggetarkan hati Jiwon dan membuatnya jatuh pada laki-laki itu.
Bukan kesalahan Junhee bahwa Jiwon dan gadis-gadis lain menyukainya, itu kesalahan mereka sendiri karena menganggap perhatian yang Junhee kasih sebagai bentuk dari keramahannya justru disalah artikan, salah mereka karena terlalu membawa perasaan.
Jiwon bukan orang yang mudah menyukai seseorang secara romantis. Dia bahkan bisa menghitung berapa kali dirinya benar-benar tertarik pada laki-laki. Junhee adalah satu orang yang banyak menarik perhatiannya. Perhatian yang Junhee berikan tanpa sadar menarik Jiwon hingga dia jatuh, membuatnya egois disaat dia tahu bahwa sahabatnya sendiri juga memiliku perasaan serupa pada lelaki yang sama dan membuat mereka terjabak dalam lingkaran hubungan yang rumit.
Jika Jiwon menanggapi keramahan Junhee dengan biasa saja, situasinya pasti tidak akan serumit ini. Atau jika Jiwon lebih berhati-hati untuk menyembunyikan perasaannya agar tidak ada siapa pun yang tahu, keadaannya pasti akan berbeda.
Hujan berhenti bersamaan dengan langit yang telah menggelap, menyisakan embun dan aroma khas hujan yang mengudara. Bulan bersinar dibalik awan yang muram, berkas cahanya memantul pada genangan air dijalan-jalan yang Jiwon lewati.
Setelah menunggu lama di halte sendirian, tanpa pesan atau telfon dari Junhee, Jiwon akhirnya menyerah setelah malam tiba dan lampu-lamu Seoul dinyalakan disepanjang jalan. Saat itu Jiwon tahu, Junhee mengingkari janji yang dia buat sekali lagi.
Rasa kecewanya meningkat dari sebelumnya, dia sedih, marah dan kecewa. Hatinya seolah diobrak-abrik hingga menjadi kacau. Pada saat itu, Jiwon bahkan tidak bisa menahan air matanya luruh. Perasaanya terlalu terluka.
Dia pulang dengan rasa pilu, berjalan pulang sembari menahan getir.
Entah apa lagi yang akan menjadi alasan Junhee ketika mereka bertemu nanti.
"Jiwon-na."
Panggilan itu menarik perhatian Jiwon agar dia mengangkat wajah dan menoleh lurus ke depan. Laki-laki itu berdiri di sana, tepat di depan pagar rumah Jiwon, sejenak tampak heran tapi kemudian menjadi khawatir.
Sejak tadi, Jiwon berjalan sembari menunduk, menyembunyikan wajah muram dan air mata yang membasahi pipinya, tapi, saat dia mengangkat wajah untuk merespon panggilan barusan, dia mengungkapkan bagaimana dirinya yang kacau.
Rasa cemas timbul begitu saja, dan Kyungjun membawa langkah lebarnya mencapai Jiwon. Bertanya-tanya apa yang menyebabkan gadis tersebut menangis, apa yang membuatnya tampak begitu kacau, apa yang membuatnya terluka.
"Hei, kenapa kau menangis?"
"Katakan padaku, siapa itu?"
Jiwon tidak mengatakan apa-apa, namun tangisnya menjadi lebih jelas dan makin pilu, isaknya seakan ikut menorehkan getir dihati Kyungjun.
"Siapa yang telah membuatmu menangis?" Saat itu, Kyungjun meraih Jiwon dalam pelukannya, menepuk bahunya sebagai bentuk penenangan, mengusap rambutnya begitu lembut dengan penuh kehati-hatian.
Rasa marah yang sedang menanti target pelampiasan sangaat ingin dipenuhi. Kyungjun sebisa mungkin menahan diri, lebih memprioritaskan Jiwon yang masih menuangkan kesedihannya, meski emosinya sedang meledak-ledak karena rasa marah saat ini.
Isak tangis Jiwon tenggelam dalam dekapan Kyungjun. Emosi gadis itu pecah seolah telah menemukan tempat yang tepat baginya untuk mengadu. Dia mengis, menuangkan emosi yang diciptakan dari rasa kecewa yang teramat pekat dan tidak sanggup dia tanggung sendirian.
Bagaimana Junhee bisa melakukan hal ini padanya lagi? Jiwon bertanya-tanya, alasan macam apa yang akan Junhee pakai untuk membebaskan dirinya lagi.
Jiwon menyukai Junhee, tapi bukan berarti dia akan selalu memaafkan kesalahannya. Jiwon juga bisa kehilangan kesabaran dan juga bisa marah.
Tampaknya dia terlalu larut dalam kecewa sehingga tidak cukup menyadari waktu telah berlalu dan berapa lama dia berada dalam dekapan seseorang.
"Oh, maaf."
Jiwon melepaskan pelukannnya dan menjauh dengan canggung. Dia mengelap air matanya, tapi kemudian tangan dari laki-laki di hadapannya ikut menghapus bekas air mata dipipinya, membuat Jiwon seketika membeku.
Kyungjun tersenyum begitu dia menurunkan tangan setelah membantu Jiwon menghapus sisa air matanya. "Akhirnya selesai juga," kata Kyungjun, dia memamerkan bagian basa pada bajunya. "Kau menangis cukup lama..."
Menyadari bahwa itu adalah karena air matanya, Jiwon kelabakan saat meresponnya, "astaga, maaf..."
"Kau mengeluarkan ingusmu dengan baik dan meninggalkan bekasnya di bajuku."
"Hei! Itu karena air mata, bukan ingus." Jiwon melotot tersinggung, merasa tidak terima.
"Aku mendengar kau menarik-narik ingusmu saat menangis tadi, tuh," kata Kyungjun mengejek, dengan jahil meledak Jiwon. Bermaksud memecah suasana muram yang melingkupi gadis itu sejak tadi.
Jiwon yang kesal, mengambil tangan Kyungjun dan meletakannya tepat dipermukaan basah dibaju laki-laki itu. "Rasakan, itu tidak lengket."
"Hei!"
Sudut-sudut bibir jiwon tertarik, senyum itu berubah menjadi tawa. Perasaan kecewanya kian memudar dan kini, hanya rasa geli yang mengundang tawa dari tingkah laki-laki di hadapannyalah yang tersisa.
"Hei, bagaimana jika ini benar-benar ingus!"
"Kau mengatakannya seakan ingusku adalah hal najis."
"Sesuatu yang lengket itu menjijikan."
"Kau juga punya ingus, bodoh."
"Tidak, tuh."
"Dasar."
"Hei!"
Ada saat-saat dimana Jiwon tidak menyadari bagaimana perasaannya berubah dengan cepat, bagaimana hal kecil bisa begitu berpengaruh dan mengakibatkan perubah besar yang signifikan.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
ɴʜᴄ: ᴄᴀᴛᴄʜɪɴɢ ғᴇᴇʟɪɴɢs ✓
FanfictionMasa-masa penuh duka itu sudah berlalu. Kini, mereka telah duduk di bangku senior, bersiap menghadapi ujian kelulusan yang sudah berada di depan mata. Namun, dalam masa-masa singkat itu, masih ada banyak cerita yang belum usai dan menunggu untuk dit...