"BANG, ini serius kita mau meet sama Diraya Tysadyaksa? Doi tau nggak, ya, kalo gue ketua Tim Hore setiap doi dipanggil ke tengah lapangan buat nerima apresiasi dari sekolah?!"
"Serius, dong! Biar Garra seneng."
"Waduuuh, bisa aja!" mantan anak akselerasi itu enggak kuasa menahan senyum lebih lama mendengar respons dari Raka yang udah dianggap layaknya abang sendiri. Sebab meski udah berkenalan di kelas 9 kemudian dipertemukan lagi sebagai chairmate hingga menuju kelas 11 ini, Agraka Widyadana memang berusia satu tahun di atasnya. Tepatnya, satu tahun lebih empat bulan. Ditambah, terlepas dari berjubel sifat menjengkelkan yang dimiliki Raka, akan sirna kalo cowok itu udah nunjukin sisi ngemongnya. "Deg-degan nggak sih, Bang?"
Raka mengusap-ngusap tengkuk, terus terang cukup bingung memilah jawaban. Fun fact-nya, Garra Byandra termasuk jajaran anak emas di Bumantara, tapi kalo menyangkut sesuatu di luar akademik seperti demikian, rasanya polos sekali. "So far belum, deh. Nanti dikasih tau kalo udah ketemu hadap-hadapan."
"Wow! Such a gentleman banget. Panutaaan!" Garra menonjok-nonjok udara kegirangan. Entah mengapa, bagi Garra, yang namanya Raka ini punya seribu satu stok tanggapan yang sama sekali enggak bisa ditebak. Pokoknya, diajak membahas apa pun selalu klop! Pengecualian untuk eksakta dan segala keruwetannya yang seharusnya juga Raka kuasai--minimal dimengerti sebagai bagian dari siswa jurusan MIPA.
"Bang, Bang!" Garra menyusul langkah Raka yang hampir menyentuh undakan tangga. "Nanti, gue duluan apa elo yang nyap--"
"Hai, Dir!"
"... pa." Netra Garra mengerjap lambat. Masih memproses apa yang baru aja tersuguh. Satu, Raka dan sosok yang menjadi objek percakapan mereka belum lama ini enggak sengaja berpapasan. Dua, Raka dengan sisi manly-nya menyapa lebih dulu. Alih-alih terdengar menyebut "dir" dari tiga huruf awal nama depan cewek itu, justru terkesan seperti memanggil sayang dalam bahasanya Lady Diana. Tiga, gawat! Garra merasa isi kepalanya harus segera dijejal rumus-rumus fisika sebelum terlalu penuh perkara roman picisan seperti barusan.
"Oh hi, Ka!" Raya mengangkat tangan dan menggerak-gerakkannya pelan tanda balas menyapa.
Dari semua jajanan manis yang pernah Garra coba di kantin sekolah, rupanya kalah telak dari senyum milik Diraya Tysadyaksa yang terbit dan tertuju kepada Agraka Widyadana.
"Halo, Garra." Raya menyipitkan mata, berusaha cukup hati-hati supaya enggak salah sebut nama. "Betul Garra, kan?"
"Hai, Kak!" Garra nyengir lebar. Dari gelagatnya mengindikasikan salting yang nyata. "Temennya Bang Raka."
Raya tertawa menanggapi hal tersebut. "Raya aja ya, Ka."
Raka balas tersenyum dan mengganguk satu kali. "Tapi lucu entar jadinya disingkat Ray, kayak nama kucing gue di rumah. Cukup gue aja, ya, disingkat Rak."
"Betul! Rak. Rak sepatu, Rak buku, Rak piring. Hmm ... Rak apa lagi, ya?" Garra membeo dan sejurus kemudian mengunci mulutnya rapat-rapat. "Bang, enggak lagi-lagi Bang."
Karena sepertinya rasa sayang Raka kepada Garra begitu melimpah ruah, alhasil Raka mampu bersikap biasa aja. Sangat enggak masalah malah. "Belum lama ini Garra abis nanya, Dir. Katanya, deg-degan nggak mau ketemu sama lo. Dan baru banget sekarang nemu jawabannya."
"Oh ya? Kalo boleh tau, apa Ka, jawabannya?" tanya Raya dengan sinyal penasaran.
"Deg-degan," tutur Raka tanpa beban. "Sering-sering kayak gini, ya!"
Lagi-lagi Raya disentuh tawa, sekenanya tapi renyah dan bikin betah untuk lama-lama diperdengar. "Eh iya, ini pas banget kita mau bicarain projek dari sekolah, kan? Mau di ruang ekskul debat aja atau ruang ekskul peringkat teratas di Bumantara, nih?"
Garra membelo. "Lho, lho, lho. Ternyata Kak Raya up to date juga tentang ekskul kita, Bang."
Raka mengangguk. Sebetulnya juga enggak kalah kaget, tapi udah terlatih menempatkan diri supaya salting enggak lantas ambil posisi. Dirangkulnya Garra lalu diusap-usapnya punggung cowok itu bak seorang kakak yang sungguh mengayomi adiknya. "Dir, ini ketua Tim Hore yang selalu rame setiap kali lo maju ke tengah-tengah lapangan."
Mendengar hal demikian membuat Raya lagi-lagi merasa gembira dan enggak enak bercampur jadi satu. Raya mengapresiasi berita itu dengan tepukan tangan disertai berkali-kali anggukan kecil. Sorot matanya berbinar tulus. "Ga, makasih ya! Tulisan-tulisan di karton warna-warninya moodboster banget."
Garra tentu merasa tersanjung. Tapi perasaan cowok di sebelahnya seharusnya lebih-lebih-lebih lagi daripada itu. "Gue murni modal suara aja, Kak, sama ngegoyang-goyangin kertas karton. Ide tulisan-tulisannya dari Bang Raka semua."
"Oh ya?" Raya terperangah. Barangkali rasanya makin enggak tau mau merespons seperti apa sebab menemukan rentetan kejutan demi kejutan yang menggembirakan.
Dan dalam soal ini, seperti kata Garra, Raka memang ahlinya. Wajah oriental itu nggak sedikitpun mengindikasikan tanda-tanda gelagapan, merona, dan sekawanannya. Raka justru mengulas senyum, walau kecil namum seakan punya daya pikat tersendiri. "Diraya memang sekeren itu!"
Garra yang menyaksikan bagaimana kedekatan ini bermula hanya bisa bersorak-sorai di dalam kepala. Raka tampaknya paham sekali memanfaatkan momentum yang ada tanpa harus terkesan menunjukkan secara gamblang tentang seberapa besar keinginan cowok itu untuk lebih mengenal seorang Diraya Tysadyaksa. Garra ramal, hubungan Raka dan Raya akan lebih dari sekadar penonton yang paling riuh memberi tepuk tangan setiap kali Raya mengharumkan nama Bumantara dalam berbagai kompetisi. Juga lebih dari sekadar saling menyapa singkat sewaktu enggak sengaja berpapasan di koridor menuju kantin atau ruang guru.
Rupanya, semesta mendukung dua orang itu lewat projek yang diberikan sekolah, ya? Dan sampai sekon ini, Garra masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Rasanya seperti enggak kalah seru dari membaca atau mendengarkan cerita-cerita konspirasi sebagai selingan supaya enggak jenuh belajar melulu.
•••
See U Ga Sabaran Lagi,
Icha
Bengkulu, 17 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka dan Segala Perayaannya [end]
Teen FictionMenyandang nama belakang "Widyadana" tidak serta-merta membuat Agraka tumbuh menjadi anak yang angkuh. Justru kalau bisa semua orang di sekelilingnya Raka rengkuh. Sayangnya, punya jiwa royal tanpa pandang bulu tidak melulu bagus. Buktinya, tak sedi...