35. Raka dan Sebentuk Bahasa Cinta

90 11 0
                                    

GARRA pernah bilang—sering malah—bahwa dari bermacam rupa bahasa cinta yang ada, Agraka Widyadana dipastikan menyabet semuanya sama rata. Tapi setelah jauh ditelaah, tampaknya 'Quality Time'-lah yang menduduki peringkat pertama.

Sungguh, dalam perihal meluangkan waktu, Raka mampu menyiasatinya selalu. Klub podcast Bumantara—sebagaimana titel yang tersemat di belakangnya—enggak kehilangan eksistensi untuk "mengudara". Keseharian Ajax dan Ray yang rutin Raka pantau, percakapan-percakapan bersama Devaline dan Baskara di waktu pagi dan malam hari menjelang tidur, hingga menyambangi rumah teman-temannya.

Omong-omong soal rumah ... ada satu rumah yang membikin list Raka nambah lagi. Apakah Raka keberatan? No! Raka justru kian bersemangat mengunjungi rumah itu lalu berinteraksi dengan seisinya. Terutama kepada si penghuninya.

"Happy laundry day, Bu!"

Pada suatu Rabu yang teduh, Raka datang mengetuk pintu dan memberi sapaan seperti itu. Atau sebaliknya. Dahayu Sastrawijaya akan lebih dulu menanti Raka kemudian berseru:

"It's laundry time, Raka!"

Walhasil mereka kompak tertawa. Betapa pelesetan dari terapi hemodialis bagi Dahayu terdengar jadi sesuatu yang menggirangkan. Raka pribadi diam-diam menyelipkan harap agar perempuan itu enggak kehilangan alasan-alasan kecil buat bertahan. Semoga pula, hadirnya yang kerap kali tanpa aba-aba ini bukanlah beban melainkan sebagai penghiburan.

"Selamat pagi, Ibu. Buatin Raka bekal, ya!" adalah permintaan Raka di kala Senin pagi dengan sepaket cengiran sambil sibuk merapikan dasi.

Atau lagi, Raka akan sekadar mampir pada sore hari dengan suguhan di mana Dentra buru-buru ingin angkat kaki sebelum Dahayu menyemprotnya menggunakan kalimat itu-itu lagi.

"Dentra, ingat kata-kata Bu Posey!"

"Sori, ye. Kagak kenal!"

"Tapi kamu hafal, Den! Coba diresapin pelan-pelan tiap katanya."

"Skip. Nggak bisa bahasa Enggresss!"

"Udah ada terjemahannya saya tulis dan selipin terus di saku celana dasar kamu. Coba, saya mau dengar dulu hari ini. Kalau enggak, nggak saya bukain pintu buat kamu menumpang tidur siang di sini lagi."

"Enggak ah, Yu. Malu. Apaan! Mana ada Raka lagi. Merosot, dong, harga diri gue?! Kayak bocil aja!"

"Lho, memang udah sebesar apa, sih? Masih sama-sama berstatus bocah SMA juga." Dengan rambut dicepol sekenanya dan apron bunga-bunga masih melekat di luaran daster rumahannya, Dahayu mendecak di ambang pintu.

Raka mengulum senyum. Tangannya dibawa agar terlipat di depan dada, sengaja keliatan menyebalkan di depan kakak kelasnya. "Bu, nggak tau ya, kalo Nandana Adidentra ini suka nyudut di perpus ngebaca cerita fiksi? Terakhir, sih, denger-denger lagi nyoba ngelobi Bapak Perpus buat nambahin koleksi buku-bukunya Ilana Tan."

"Raka bangkeeee!" Dentra sontak melempar sebelah kaus kakinya yang belum kepasang. Namun adik kelasnya itu dengan gampangnya mampu menghindar. "Ayam siapa sih bangke juga! Kaos kaki gue, woy, mau dikemanain?!"

Dengan kaki yang telah terangkat satu—siap mengejar ayam tetangga, Dentra lantas mengembus napas keras-keras. "Jadi, sekarang kau tahu ada orang yang sangat menginginkanmu, Charley."

Berkebalikan dengan matahari yang segera membenamkan diri, senyum di bibir Dahayu malah baru perlahan terbit. "Wujud Charley-nya bisa kamu, Raka, dan setiap anak di belahan dunia mana pun."

Dentra memutar bola mata malas. "Anak-anak terkadang melupakan itu. Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai beban dan bukan sebagai jawaban dari doa."

Raka dan Segala Perayaannya [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang