"PA, HP-nya dari kemarin-kemarin rame terus. Memang sengaja nggak direspons, ya?"
Baskara belum jenuh dari memelototi layar tablet milik sang anak yang semula tergeletak nahas di ceruk-ceruk sofa. Dari beberapa gim yang tersedia, pria kepala empat itu melabuhkan keisengannya bermain Candy Crush. Untuk ukuran sebuah permainan, gim tersebut memanglah kurang menantang. Tapi justru karena begitu gampang menyelesaikan setiap babaknyalah, Baskara jadi buta waktu untuk berhenti.
"Iya," ucap Baskara tanpa terganggu. "Si Tian dan temen bisnis yang lain belum lelah neror. Papa udah muak ngejelasin bahwa sampai kapan pun Papa nggak akan menasbihkan diri di dunia politik." Dalam nada suaranya yang tenang, ada kebulatan tekad yang sama sekali nggak bisa diganggu gugat di sana. "Papa nggak pengin nambah beban pikiran. Kalau iming-imingnya peluang perizinan bisnis dan sebagainya makin luas, maaf-maaf aja, Papa nggak akan kemakan. Perkara pajak juga kita bayar terus, tepat waktu malah. Masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh buat ngebantu menyejahterahkan rakyat di negeri ini."
Raka menyimak dengan saksama. Di matanya, Baskara Widyadana adalah definisi role model sesungguhnya. Baik Raka maupun Devaline juga mendukung keputusan sang kepala keluarga terkait persoalan satu itu. Terlebih lagi, faktor kesehatan Baskara yang kini mulai rentan. Jika harus disibukkan pula dengan urusan politik, Raka dan Devaline nggak bisa membayangkan akan seperti apa jadinya isi kepala Baskara Widyadana. Tentu kian penuh. Baskara mampu memikirkan nasib banyak orang dan menomorsekiankan diri sendiri.
"Ka, bentar lagi waktunya minum obat, ya." Baskara selesai. Diserahkannya benda eletronik tersebut ke si empunya. "Barusan ada notif dari adik kesayangan kamu. Kayaknya udah sampai ke sini pengin jenguk. Biar Papa sambut, sekalian mau nyamperin Mama di bawah."
Satu minggu yang lalu, ringkas cerita, alih-alih mengantarkan Raka ke praktik dokter umum terdekat, Evan, Iam, dan Adan justru melarikan ia ke rumah sakit. Bermodalkan kepanikan teman-temannya, Raka berakhir mendapat perawatan secara intensif selama empat hari penuh. Ilham Akbar Adhitama lagi-lagi benar. Raka rupanya kembali dijajah tipes dan asam lambung.
Suara seseorang mengucapkan salam telah terdengar di sela-sela ketukan pintu. Tanpa menunggu sang pemilik kamar menyahut, dua orang dengan cukup hati-hati menginjakkan kaki.
Oh, Raka siap mengoreksi. Sebab berikutnya, ada tiga orang lagi yang melesak masuk hingga adik kesayangannya itu hampir terjerembap. Sial, Raka hampir menghunuskan tatapan tajam kepada Evan si biang ulah kalau saja dirinya enggak terdistraksi sama senyum dan lambaian seseorang yang sigap memegang tubuh Garra agar nggak tersungkur menyium lantai.
"Hi, Ka!"
Demi apa pun, Raka merindukan sapaan itu. Dalam benak, Raka bahkan sudah lebih dulu menjawab dengan senang hati dibanding bibirnya yang baru ini melengkungkan senyuman hangat.
"Ga, ke sini bentar."
Garra lekas saja menghamba. "Iya, Bang? Butuh apa? Biar Garra tolongin," ujarnya sudah berdiri di samping Raka dan sedikit membungkukkan badan menyamakan tingginya dengan sang kakak yang masih duduk di tempat tidur.
"Abang bau nggak, Ga?"
"Wangi, kok. Harum minyak telon." Garra mengendus tubuh cowok yang tiba-tiba saja menariknya ke dalam rengkuhan. Bukan rengkuhan sebagaimana indikasi ingin menuntaskan kerinduan. Karena setelah mendapati jawaban yang barangkali cukup memuaskan, Raka dengan mudahnya menyingkirkan tubuh Garra begitu saja supaya lenyap dari pandangan.
"Peluk bentar ya, Dir." Tanpa aba, Raka membawa seseorang yang sudah mengambil posisi di sisinya ke dalam dekapan.
Raya tersenyum menerima pelukan itu. Diusap-usapnya pelan punggung patnernya. "Beneran wangi minyak telon," ucap Raya belum melepaskan diri. "Sama ada kecium bawang merah, tapi enggak nyengat. Ketutup sama harum minyak telonnya yang lebih pekat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka dan Segala Perayaannya [end]
Teen FictionMenyandang nama belakang "Widyadana" tidak serta-merta membuat Agraka tumbuh menjadi anak yang angkuh. Justru kalau bisa semua orang di sekelilingnya Raka rengkuh. Sayangnya, punya jiwa royal tanpa pandang bulu tidak melulu bagus. Buktinya, tak sedi...