28. Raka dan Berdamai dengan Rahasia di Satu Dekade Hidupnya

91 11 2
                                    

"Rakaaa, selamat ulang tahun! Terima kasih sudah tumbuh jadi anak yang menyenangkan dan penuh cinta. Semoga cinta ke sesama makhluk dan segala sesuatu di dunia ini, nggak pernah ngalahin cinta Raka ke Tuhan ya, Nak!"

Ucapan bermuatan doa itu senantiasa Raka terima pada hari ulang tahunnya. Pagi-pagi sekali, Baskara akan membangunkan ia dari lelap dan menghujani banyak ciuman kecil serta gelitikan di perut. Sementara Devaline akan menyalakan lampu sembari tersenyum di dekat pintu.

"Udah sepuluh tahun, Sayang!" Devaline bergabung bersama Baskara, mengisi sela-sela jemari Raka yang kecil lalu membawanya agar di elus-elus ke pipi. "Mama mau tau dong, wishlist-nya tahun ini. Raka pengin sesuatu apa?"

Masih dengan wajah bantal, Raka mengulas senyum cerah. "Disimpan buat nanti-nanti aja boleh, Ma? Raka udah mikirin dari kemarin-kemarin, tapi bingung. Kayaknya udah punya semua." Bahu Raka terangkat disertai cengiran kecil. "Oh iya. Raka mau nasi tumpeng, Ma. Nggak usah tiup lilin. Raka inget-inget, Raka nggak doyan kue. Apalagi yang ada krimnya. Jadi nasi tumpeng aja, ya? Tapi yang gedeee banget, Ma." Anak cowok itu melukiskan permintaannya dengan kedua tangan yang membentang. "Supaya Bibi, Mbok, Pak Agam, Om Satpam, dan Mbak Avi makan bareng kita."

"Waaaah, boleh nih!" Devaline menjentikkan jari. Binar takjub masih belum sirna dari matanya sepanjang mendengar bagaimana Raka dengan ekspresif mampu menyuarakan pendapatnya. "Habis magrib, ya, kita tumpengan. Sekarang, kamu mandi dulu. Papa sama Mama tunggu di bawah."

Enggak butuh waktu lama bagi Raka mengiakan perkataan ibunya. Sungguh, anak laki-laki semata wayang itu tumbuh dengan sangat baik. Raka punya jiwa penyayang dan begitu peka terhadap keadaan sekitar. Hal tersebut tentu nggak lepas dari parenting Baskara dan Devaline yang selalu menanamkan nilai bahwa siapapun di sekelilingnya bukanlah "orang lain", melainkan punya andil dalam kehidupannya. Bibi yang membantu meng-handle pekerjaan rumah, Mbok yang memasak ketika ibunya pergi pagi-pagi atau pulang kemalaman sekali diliputi pekerjaan, Mbak Avi yang menemani sekaligus menangani segala kebutuhan Raka sedari balita, dua orang Om Satpam yang shif-shift-an siaga 24 jam menjaga rumah, dan Pak Agam sebagai supir pribadi yang bersedia mengantar ayah, ibu, maupun Raka bepergian ke manapun.

Meskipun Baskara dan Devaline sibuk bekerja, Raka sama sekali enggak merasakan kekurangan afeksi. Dua orang dewasa itu paham sekali bagaimana mengatur waktu. Menghasilkan uang memanglah menyenangkan, namun membiarkan hidup melulu disetir lembur enggak pernah masuk ke dalam kamus hidup mereka kecuali betul-betul urgensi.

Begitu menyelesaikan semua pijakan anak tangga, Raka bergegas menghambur ke pelukan Baskara yang lebih dulu menyadari keberadaannya.

"Wangi banget sih, Nak." Baskara membawa Raka ke pangkuannya. "Dua sampai tiga tahun lagi bau minyak telonnya cuma bakal kecium saat Raka nggak enak badan aja kayaknya ya, Val?" pria itu memperbarui percakapan dengan bergantian menengok sang istri dan anaknya dengan tatapan  hangat. "Kok bisa sih dalam sekejap udah jadi anak bujang aja, Ka?"

Raka tertawa geli, tapi matanya nggak lepas dari memerhatikan Devaline yang mulai mengeluarkan setumpuk album. "Sini, Ka."

Posisi Raka berpindah. Duduk bersimpuh di samping Devaline dan tanpa sadar mulai turut memfokuskan diri pada benda di hadapan mereka.

"Ini mirip Mama ya, Pa?" telunjuk Raka refleks tertuju ke sebuah foto lawas yang bersemayam di album. Diajaknya Baskara untuk serta-merta berinteraksi dan memvalidasi asumsinya. "Cantiknya juga sama. Mama enggak cerita kalo punya sodara. Ini adik Mama ya, Pa?"

"Itu ibunya Raka."

"Gimana, Ma?" senyum dan sorot mata Raka yang belum henti mengagumi sebuah potret dua orang yang tersuguh, perlahan berganti. Raka mengerjap, sehingga bulu matanya yang panjang bergerak-gerak lambat.

Raka dan Segala Perayaannya [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang