06. Raka, Baskara, dan Obrolan yang Seirama

158 53 12
                                    

"SETELAH gue telaah, lo emang demen bertamu dari rumah ke rumah deh, Rak!" bukannya menyambut dengan ramah-tamah, Ilham Akbar Adhitama justru menyampaikan satu dari sekian bentuk analisis absurdnya. "Denger-denger dari Evan, baru-baru ini studio tuh anak lo datengin. Seminggu yang lalu juga Adan ngeluh karena sekalinya lo mampir, obrolan lo ama maminya kayak gak ada titik akhir." Iam mencondongkan badan dan melayangkan tatapan penuh selidik. "Curiga kalo abis ini beneran jadi intel."

"Bajingaaan. Curiga aja semuanya!" Raka kontan menjitak kepala Iam. "Sok-sok-an nebak gun pengen jadi intel segala. Gue enggak ada kabar sehari aja lo kalang kabut nyariin ke mana-mana."

"Bener lagi!" Iam cengengesan. "See? Sesayang itu gue sama lo, Rak."

"Iyain."

"Abis dari mana sih, Man?" Iam melempar segenggam yupi dari stoples yang ada di meja belajarnya kepada Raka. "Diliat-liat hari ini happy-nya stabil, ya?"

"Iyain dua kali." Raka menikmati permen kesukaan si tuan rumah. "Coba Iam Sang Peramal, apa yang jadi alasan happy gue stabil hari ini?"

Jemari Iam bergerak-gerak seolah sedang mengendalikan plasma bola cahaya sihir di hadapannya. Sesekali ketua OSN itu menengok ke arah Raka dengan seraut wajah serius. "Wah, ulahnya Diraya Tysadyaksa ya, ini?"

Raka terbahak. "Parah lucu banget."

"Gimana ceritanya pedekate ama cewek tujuannya malah ke pasar sih, Rak? Udah gitu jalan kaki lagi!"

"Duh, nguntit."

Iam membeliak, jelas enggak terima. "Gue sepuluh menit lebih awal tiba di pasar, ya. Tau-tau ketemu dua orang lagi haha-hihi saling sharing varian kue talam."

"Join-lah makanya." Raka melahap yupi terakhirnya. "Malah nyepam telepon. Ganggu aja."

"Widiiih, betulan lagi kasmaran." Iam heboh sendiri. "Gimana? Diraya bikin penasaran nggak, Rak?"

Raka tampak menimbang-nimbang. "Bikin sayang sih, sejauh ini."

"Faaaak.Ugal-ugalan banget!" seru Iam histeris "Lo kalo ngasih tau isi perasaan lo jangan jujur-jujur bangetlah, Man, ke guenya. Ogah-ogahan dikit enggak apa-apa. Beneran."

"Nggak bisa," sanggah Raka kalem. "Sengaja mau manas-manasin Ilham. Lagian kalo cuma bikin penasaran doang biasanya nggak awet. Udah habis penasaran, rasanya bakal redup terus lenyap. Tapi kalo bikin sayang pasti awet, sih, dari segala sisi." Raka mengunci pendapatnya yang satu itu. Seketika  pertanyaan tentang bagaimana ibunya meminta validasi akan rasa sayang hampir setiap harinya kembali terlintas.

"Anjaaay filsuf kita. Kagak ada lawan!"

"Ap--"

"Hayo ... sok diangkat dulu teleponnya. Kalo hoki bisa jadi itu si Diraya."

Nada dering yang bersumber dari ponsel Raka menjeda segalanya. Raka lantas menempelkan benda pipih tersebut ke telinga kirinya. "Iya, Pa?"

"Cek WA, Ka."

Raka menghirup napas dalam-dalam. Berusaha memasok rasa maklum yang mumpuni. Entah tabiat atau disengaja, Baskara memang gemar sekali melakukan pekerjaan remeh-temeh dua kali. Seperti barusan, alih-alih menyampaikan sekaligus dalam satu sambungan, Raka diminta untuk memeriksa notifikasi pesan yang masuk.

Papa:

Kata Pak Agam kamu minta buat nggak diantar jemput ya beberapa hari ini?

Shareloc kalo gitu.

Raka dan Segala Perayaannya [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang