"GA?"
Cowok itu terenyak dari lamunan. Gulungan kabel yang semestinya udah bisa diletakkan ke dalam lemari justru masih tergelung di tangannya.
Garra menarik napas lalu mengembuskannya cukup berat. "Padahal baru kemaren rasanya ngegulung kabel jadi kerjaan yang asyik banget." Sepasang iris Garra memandangi Raka dalam diam. Enggak seperti dirinya, Raka udah beranjak dari satu tugas ke tugas lain: menutup laptop, meletakkan headphone di sisi rode podmic, lalu menyapu ruangan yang seharusnya bukan menjadi jobdesc Raka hari ini.
"Bentar deh, Bang. Ngaret dikit gapapa kita pulangnya." Garra melempar tubuh ke sofa untuk uring-uringan di sana. Sorot matanya hampa, tetapi pikirannya udah melanglang buana. "Banyak sedih yang harus gue beresin satu-satu, Bang. Dua diantaranya tentang Tiga Serangkai yang roman-romannya berhenti eksis dan chemistry lo sama Kak Raya yang nggak bisa gue saksikan secara eksklusif lagi."
Raka masih memegang tangkai sapu kala mendengar keluhan patnernya. Untung ini Garra Byandra. Kalau serupa Evan Yudha Pratama, benda di tangannya tentulah beralihfungsi. "Terus gimana cara ngeberesinnya, Ga?"
"Nggak ada, Bang. Gue kapok. Udah paling bener kata Bu Siska gue fokusnya nguasain chemistry dalam tanda kutip merujuk ke eksakta-eksakta aja. Bukan malah kejebak merhatiin chemistry dalam konteks asmara kaula muda." Garra masih meringkuk. "Lo sendiri gimana, Bang, ngeberesin rasa sedihnya? Plis dong, jangan keren terus sebagai panutan. Gue mau liat juga sisi payah Agraka Widyadana selain bego di Fisika dan sekawanannya."
"Padahal udah di-spill sama Papa kalo gue nggak sepanutan itu buat dicontoh." Raka berkelakar ketika mengosongkan kotak sampah dengan menarik kresek hitam dari sana lalu mengebatnya cukup erat untuk dipindahkan ke tong yang lebih besar nantinya. "Gue sedihlah. Tapi masa iya gue nunjukin ke elo juga, Ga? Entar yang ada makin nggak beres-beres sedihnya."
"Jauh sebelum ngedeklarasiin kalo gue jadi ketum Tim Hore-nya Kak Diraya, lo percaya nggak kalo gue lebih dulu jadi Tim Hore-nya elo dalam hal apa pun, Bang?"
"Percaya, dong." Raka mengambil alih tugas Garra yang enggak kelar-kelar. Raka mendeham, tampak berpikir di sela-sela aktivitas. Ingatkan Agraka Widyadana kalau Garra Byandra hari ini cuma modal profesional salama rekaman aja. Selebihnya seperti perkara bersih-bersih, Raka-lah yang meng-cover semuanya. "Bentar, ya. Gue pikir-pikir dulu, hal apa yang bisa bikin Garra nggak dijerat sedih lagi."
"Minta copotin neon box 'Garra-Garra Ayam' di warung Mama gue dong, Bang. Sumpah tengsin banget tiap ada yang beli malah salfok mulu sama kata-kata itu."
Raka mengulum senyum. "Nah pengecualian buat itu, Ga. Sori, ya. Kalo hak patennya udah keburu jadi, gue nggak punya kuasa apa-apa." Dicubitnya perut Garra hingga temannya itu refleks mengerang. "Entar waktu nunggu jemputan, tolong sekalian buangin sampah ke bak depan, ya."
Garra mengangguk. "Eh, jadi apa nih Bang, solusi biar guenya nggak dijerat sedih lagi?"
Kernyitan samar di dahi Raka menunjukkan bahwa cowok itu kembali berpikir sedikit lebih keras. "Mau ikut gue me time ke seaworld? Abis jemput Ajax, gue pengin bengong bentar di sana liatin ikan-ikan berenang."
Omong-omong, sudah empat hari sejak pertemuan sekaligus perpisahan di apartemen itu terjadi. Si Ajax, kucingnya Raya sengaja hari ini Raka meminta tolong Pak Agam untuk dibawa ke dokter hewan. Semata-mata mengecek kesehatan dan meresepkan vitamin yang sama seperti Ray agar enggak ada kesenjangan. Dan sepulang sekolah ini, rencananya Raka sendirilah yang akan menjemput Ajax.
Kehilangan itu tetap ada. Baik Raka maupun Garra harus kembali berbiasa--malah dituntut lebih ekstra--membuat Bumantara Mengudara tetap berkegiatan walau minus satu personil lainnya. Enggak cuma Bumantara Mengudara yang kehilangan, tapi nyawa Klub Debat Bahasa Indonesia dan Empat Pilar pun merasakan hal serupa. Sederhananya, Bumantara kehilangan tahta tertinggi anak emasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka dan Segala Perayaannya [end]
Teen FictionMenyandang nama belakang "Widyadana" tidak serta-merta membuat Agraka tumbuh menjadi anak yang angkuh. Justru kalau bisa semua orang di sekelilingnya Raka rengkuh. Sayangnya, punya jiwa royal tanpa pandang bulu tidak melulu bagus. Buktinya, tak sedi...