29. Raka, Pengakuan, dan Sinyal Kekalahan

121 11 2
                                    

"NDUK, aduh nggak usah repot-repot. Biar Ibu aja. Masa udah cantik-cantik begini malah berurusan sama dapur, sih!? Biar Ibu aja, Nduk."

"Nggak apa, saya suka." Dahayu mengumpulkan keseluruhan rambut hitam pekatnya yang tergerai untuk dikucir satu. Menampilkan leher jenjangnya yang bersih dan terawat. Lalu dipakainya sebuah celemek bermotif bunga-bunga, kontras dengan dress merah darah yang memperlihatkan lekuk tubuh indahnya. Apa yang Dahayu kerjakan sekarang sungguhlah berbanding terbalik dengan penampilannya. Perempuan tersebut mahir sekali memotong-motong wortel dengan ukuran yang sama dalam jeda kedipan mata. Pada waktu bersamaan, dirinya bisa menyambi banyak pekerjaan. Mengupas kentang, meracik tepung ayam kemudian menggorengnya hingga krispi, dan menata tempe serta tahu bacem ke piring yang hari ini laku keras di warung makan yang cukup sering ia sambangi.

"Aslinya, jiwa saya tuh di sini, Bu." Dahayu terkekeh, kembali kali ini mengiris bawang daun dengan begitu andal. "Saya mau masak setiap hari, mau buatin bekal saban pagi, ngoleksi banyak tupperware, dan barangkali buka kedai bakmi hanya di hari Minggu."

"Saya juga ngoleksi kotak bekal, Mbak. Tapi roman-romannya bakal urung. Baru kelas dua SD, anak cowok saya udah ngilangin lima kotak bekal. Padahal berdarah-darah rasanya nyisihin uang buat beli yang bermerk."

"Really?" Dahayu tampak begitu semangat meladeni curhat colongan Tami, anak perempuan Bu Idah si pemilik warung makan yang sudah punya sepasang buah hati. Satunya anak cowok yang barangkali tinggal di rumah, sementara satunya lagi anak cewek dalam gendongan Tami yang dibantu oleh kain jarik. Pemandangan itu membuat hati Dahayu menghangat. "Besok-besok kalau saya mampir ke sini lagi, saya beliin buat kamu."

"Wah, jangan Mbak. Enggak enak saya. Cuma mau bagi cerita aja." Tami masih dalam misi meninabobokan anaknya dalam rengkuhan. "Mbak kenapa nggak coba menikah? Supaya kewujud satu per satu impian sederhananya. Saya nangkep kata 'buatin', pasti merujuk ke seseorang, atau dua orang deh, suami sama anak."

"Mana ada sederhana," ucap Dahayu skeptis dan lantas tertawa lagi. Ia sudah menarik diri dari hadapan kompor dan beragam peralatan masak lainnya. Dengan kesadaran penuh didekatinya Tami hanya untuk melihat si kecil yang hampir dijajah lelap dalam gendongan itu.

"Eh ada pelanggan, ya?" Tami mengerjap. "Sebentar," katanya lalu mencari-cari seseorang. "Bu, ada yang mau pesen makan."

"Lho, ini yang pernah sekali dua kali dateng makan bareng Nak Dentra, kan?" Ibu Idah yang sedang memetik sebaskom kangkung praktis beranjak untuk menyambut konsumennya dengan penuh suka.

Mendengar nama yang nggak asing di telinganya tak ayal membuat Dahayu ikut menoleh. Ia nyaris membeku saat seperkian detik sepasang netra mereka bersinggungan. Lebih-lebih lagi menemukan wajah yang senantiasa terjaga itu kini tampak berantakan.

"Raka kira, kita bener-bener nggak bakal ketemu lagi...."

"Sial. Dosa saya sudah sebanyak apa, ya? Sampai doa sekadar minta supaya nggak ketemu kamu lagi pun Tuhan sama sekali nggak dengerin." Dahayu mendecak seraya melepaskan simpul celemek yang terikat longgar melapisi pakaiannya.

•••

Dengan bertopang dagu seperti ini, Dahayu diam-diam sekalian menangkap momen di mana Raka sedang mengisi perut yang tampaknya kosong sedari pagi. Dahayu sendiri yang memilihkan lauk-pauk di piring anak itu. Enggak salah kalau ia menaruh lebih banyak capcay dan tumis bayam. Sekali lagi, Dahayu akan mencatat perihal itu di kepala. Bahwa Raka enggak rewel perihal makanan.

"Habis baku hantam, ya? Sama siapa?" Dahayu kalah. Mulutnya sudah getol untuk berinteraksi. "Nggak mungkin sama Dentra, kan? Oh, saya ralat dulu. Kejauhan pertanyaannya." Tangan wanita itu berganti jadi terlipat di atas meja. "Sejak kapan kamu kenal sama Dentra?"

Raka dan Segala Perayaannya [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang