33. Raka dan Perjumpaan Pertama Bersama Sena Arata

70 11 2
                                    

"Heaven can be found in the most unlikely corners."—Mitch Albom

[]

"AYU!"

Enggak sulit mengenali Dahayu di antara segelintir manusia yang tengah menunggu keberangkatan. Begitu mendapati seseorang berdiri dengan terusan sederhana dan cardigan rajut berwarna soft yellow, Raka bergegas menghampiri.

"Halo, Raka!" Dahayu menurunkan kedua tangannya yang terlipat di depan dada. Sejenak ia memindai penampilan anak cowok itu lalu tersenyum tanpa sadar. "Coba saya ingat-ingat. Perihal dress code nggak masuk ke dalam diskusi kita, kan?" Dahayu sengaja berlagak menghalau cahaya matahari dengan punggung tangannya. Dari sela-sela jemari panjang nan lentik itu, tawa kecil Dahayu berderai. Kemeja flannel kuning yang dikombinasikan dengan kaus oblong putih dan celana jins gombrong membuat penampilan Raka keliatan standout. "Raka, kamu sebersinar matahari pagi ini."

"Oh ya?" kedua alis Raka terangkat. "Ayu juga. Kayak cuaca hari ini, cerah tapi teduh."

Walhasil Dahayu makin merdeka untuk tertawa. Sungguh, lebih-lebih merdeka dari apa yang pernah Raka tangkap sebelumnya. Sejurus kemudian, mereka sepakat untuk naik ke dalam KRL yang cukup lengang.

"Kamu udah sunat?"

Yang diberi pertanyaan kontan mendelik. "Random banget tiba-tiba nanya udah sunat apa belum." Raka masih memproses pertanyaan yang perempuan itu ajukan. "Mungkin maksudnya mau nanya umur berapa Raka disunat?"

"Ah ya, begitu." Dahayu menjentikkan jari. "Kalau sedang bersemangat, ucapan saya jadi terdengar amat belepotan. Terima kasih sudah bantu meluruskan!"

"Umur lima tahun." Raka mengangkat kelima jari kanannya.

"Lima tahun?" Dahayu tertegun. Pada pendar matanya menghasilkan riak keibaan dan ringisan yang enggak bisa dikendalikan. "Pasti sakit."

Raka tertawa menemukan roman prihatin milik Dahayu. Seolah di sebelah perempuan itu sekarang adalah dirinya yang baru mencapai usia lima. "Mungkin waktu itu iya. Tapi karena udah lama, jadi lupa sama rasa sakitnya kayak gimana."

"Karena udah lama, jadi lupa sama rasa sakitnya." Dahayu menggumamkan kembali kata-kata milik Raka disertai senyuman. "Sederhana, tapi nggak berlaku dalam semua bentuk rasa sakit."

"Gimana, Yu?"

"Kamu bawa apa di dalam sana?" Dahayu menunjuk tas selempang kanvas milik Raka melalui dagunya.

"Tetep senyum kayak tadi, ya, biar Raka foto." Begitu sudah merogoh kamera, Raka menjadikan Dahayu sebagai objeknya.

"Wah, kebetulan saya photogenic lho, Raka. Nggak ngapa-ngapain seperti ini saja bisa jadi karya yang masterpiece!" Dahayu mendecak kagum, disibukkannya jemari untuk meletakkan helaian anak rambut yang jatuh ke balik telinga. Sesaat sebelum menatap lurus ke depan agar Raka bebas memetik fotonya dari samping, wanita itu tersenyum. Alih-alih pada kamera, justru tertuju penuh pada Raka. "Karena hari ini saya dipuji sama Raka kayak cuaca yang cerah tapi teduh, ayo Raka. Rekam saya."

Sebelah mata Raka telah menyipit, pertanda fokus untuk mendapat bidikan yang sempurna. Sementara satu tangannya disempatkan untuk mengacungkan jempol sebagai isyarat bahwa dirinya sudah mulai merekam. Raka menunggu dengan setia sebab hingga detik kelima perempuan itu nggak kunjung bersuara. Hanya senyum Dahayu yang berbetah tinggal di wajah.

"Tapi di dalam ingatan saja, ya. Rekam saya yang lama. Juga di sini, Raka." Dahayu menyentuh dada Raka dan menepuk-nepuknya pelan, pelan sekali seakan begitu hati-hati supaya enggak menyakiti anak cowok itu. "Sebab di sini jauh lebih kekal."

Raka dan Segala Perayaannya [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang