02: Raka, Raya, & Reuni (Seperti Projek Pertama)

515 71 17
                                    

RAKA enggak akan pernah melupakan hukuman pertama yang pernah ia dapat bahkan sebelum official menjadi bagian dari keluarga besar Bumantara. Sebab alih-alih hukuman, justru hal tersebut bagai misi yang menyenangkan dan rasanya "Raka sekali!".

Semua bermula karena cerita random tentang sempak spiderman Evan yang entah kenapa harus dibagi tatkala serangkaian acara MPLS masih berlangsung. Tawa Raka pecah tanpa bisa ia cegah lagi. Dan itu tentu menjadi alasan paling gampang bagi kakak panitia menyeret dirinya untuk menghadap wakil kesiswaan.

Dan Raka rupanya enggak sendirian. Ada sosok cewek yang juga bernasib sama seperti dirinya. Manakala tatapan mereka bersirobok, Raka praktis menerbitkan seulas senyum. Sejak itu, bagi Raka hukuman menjadi seseru itu. Apalagi sewaktu Pak Gun, guru Matematika sekaligus merangkap sebagai pembina OSIS, meminta mereka--maksudnya Raka dan cewek bermata hitam berkilau itu menjadi pembawa acara dadakan untuk penutupan MPLS yang akan digelar dalam waktu 45 menit mendatang.

Baik Raka maupun cewek itu enggak merasa keberatan. Mereka berusaha menyanggupi hukuman dan memanfaatkan sisa waktu yang ada. Untuk kali pertama, Raka terkesima. Mereka bisa berdiskusi dengan menyenangkan lalu berbagi tugas tanpa merasa timpang sebelah. Cewek itu berterus terang, kalau tampil di atas panggung dalam situasi nonformal sama sekali belum ia coba. Kendati demikian, dari sorot matanya terisi tekad untuk memberikan yang terbaik.

Raka dan cewek berkucir satu itu hanya punya sisa waktu nggak lebih dari tiga menit menuju ke atas panggung. Keduanya tertawa lantaran sama-sama masih mengatur napas setelah berlari dari ruang OSIS yang letaknya di paling sudut wilayah Bumantara. Kemudian, Raka menyusul langkah cewek itu. Belum sampai kakinya menyentuh anak tangga pertama, Raka lantas mendongak ketika sebuah uluran tangan mengarah kepadanya.

"Sampe lupa saling bagi tau nama. Ini penting karena kita sebut aja bakal jadi MC." Netra hitam itu kian berbinar. "Raya. Diambil dari kependekan Diraya. Diraya Tysadyaksa."

Raka dengan hati senang menyambut uluran tersebut. "Hai, Dir," sapanya tanpa menghiraukan panggilan akrab yang Raya ungkapkan. "Raka. Juga diambil dari kependekan Agraka. Agraka Widyadana," sambungnya persis menirukan bagaimana cara gadis itu memperkenalkan diri.

"Raya aja, ya."

"Kita udah korupsi waktu satu menit lima belas detik, Dir." Terlepas Raya mencoba mengoreksi panggilan dari Raka yang kayaknya udah final, Raka kontan mengambil langkah sedikit tergesa dengan tangan mereka tanpa sadar masih terpaut satu sama lain.

Raka kira, kerjasama di awal dengan seorang Diraya akan memberi akses untuk mereka berteman dekat. Tapi ternyata, mereka hanya berakhir sebatas dua orang yang saling bergantian memberi riuh tepuk tangan kala mendapat penghargaan dari sekolah. Raya dengan LDBI dan Empat Pilar-nya, lalu Raka dengan ide briliannya mencetuskan ekskul podcast di Bumantara. Ditambah lagi, keseharian Raya tampaknya amat padat. Dalam satu minggu, bahkan Raka pernah enggak berpapasan sama sekali dengan cewek itu. Jadi, jangan heran kalo hanya memerhatikan Raya dari jauh aja Raka udah girang bukan kepalang. Sebab setelah dipikir-pikir ... kehidupan Raya sungguh privasi. Terbukti sampai detik ini, Raka belum pernah sekalipun bertukar nomor bahkan menemukan media sosial cewek itu.

"Jadi ini konsepnya kita bakal ngebawain podcast berdua kayak ngebawain acara penutup MPLS waktu itu ya, Ka?"

Raka mengangguk. Ada setitik kepercayaan yang muncul di dalam dadanya kalo mungkin aja kali ini betulan selangkah lebih maju menuju Raya lebih dari sekadar saling lempar senyum dan sapa. "Tapi enggak melulu kita, Dir. Nanti ada schedule-nya tersendiri supaya episode podcast bakal fresh terus dan enggak bikin jenuh."

"Terus juga ada kelas belajar serba-serbi podcast gitu, Kak. Jadi entar kalo kita udah kelar dari Bumantara, harapannya ekskul podcast ini tetep jalan dan harus lebih bersinar dari jaman kita. Betul nggak, Bang?"

Raka mengacungkan dua jempol, bangga. Garra memang patner andalan.

"Okay!" Raya manggut-manggut dan sebuah simpul senyum terukir di bibir tipisnya. "Untuk sejauh ini udah paham dan mulai ada gambaran arah projeknya mau ke mana. Mungkin besok atau lusa kita bisa diskusi lagi, ya? Eh tapi bentar--" Raya mengingat-ingat kembali rentetan jadwalnya. "Kayaknya besok gue nggak bisa. Ada setoran hafalan sama Bu Winda. Maaf ya, Ka, Ga," lanjutnya dengan air muka bersalah. "Atau gini," jeda Raya bermaksud mengemukakan solusi. "Kita bikin grup chat di WA aja biar kalo ada yang mau didiskusiin bisa dibawa ke grup dulu sebelum ketemu. Gimana?"

Garra mengangguk, sempat lupa mengerjap. Tatapannya langsung bersinggungan dengan Raka yang sepertinya sudah menyadari komuknya. "Emang beda ya Bang, kosakata anak debat terus combo jurusan sebelah. Dari cara ngomongnya aja kesannya berkualitas banget. Demen didenger."

Raya beranjak dari sofa yang ada di ruang ekskul podcast dengan tawa kecil. Hampir terbiasa dengan kepolosan dan ceplas-ceplosnya Garra. "Udah masuk belum, Ka, WA guenya?"

"Oh lo nge-WA gue?" Raka terenyak dan refleks  mencari-cari letak ponselnya. "Kok bisa?"

Raya menunjuk sebuah poster yang terpajang cukup besar di ruangan. "Itu CP-nya ada inisial AW. Pasti Agraka Widyadana. Iya, 'kan?"

"Oh iya, bener!" Raka tertawa. "Okay, Dir! Thanks, ya."

"Makasih juga! Seneng jadi punya kegiatan satu lagi." Raya merespons dengan senyum. Manis sekali. Jauh mengalahkan jajanan manis yang coba Garra ikut jejalkan ke dalam mulut Raka.

Seperginya Raya, Garra masih melongokkan kepala di ambang pintu hingga punggung cewek itu enggak lagi kelihatan. "Seneng nggak, Bang?"

"Lo sendiri, gimana?"

Garra mengulum senyum. "Seneng parah! Padahal elo yang di-notice. Pasti elo nggak nyangka. Kirain bakal lo duluan, kan, yang nanyain WA-nya Kak Raya?"

"Bener." Raka memvalidasi pendapat sohibnya tanpa tapi.

"Udah mikirin ide chat ke Kak Raya duluan belom, Bang, buat entar malem? Ato mau dibantu?"

Raka sontak tertawa geli. "Kok bisa, sih, lo nggak kegeser dari ranking satu? Padahal diliat-liat, hal yang lo omongin dan lo lakuin tuh ngarahnya ke bucin mulu, Ga."

"Belajar wajib utama, tapi hal begituan juga harus tetep jalan lah, Bang!" Garra mengambil sapu, senantiasa berinisiatif membersihkan ruang ekskul sebelum pulang. "Biar balance."

"Ya udah. Kalo gitu coba kasih ide buat buka obrolan sama Diraya malem nanti."

"Gini aja, Bang. 'Hai, Dir. Ini Raka. Save ya, nomornya. Btw, lagi ngapain Dir? Jangan lupa siapin buku mapel buat besok, ya!"

Tawa Raka seketika meledak. "Sayang banget Ga, gue sama lo. Beneran enggak bohong. Plis, jangan cepet gede."

"Sembarangan! Besok juga ini udah punya gandengan, Bang. Awas aja. Masa minta gue supaya nggak buru-buru gede, sih? Aneh! Lo adu panco lima detik sama gue aja udah goyah, Bang."

Raka sampai-sampai menyeka sudut mata karena lama terpingkal. "Pokoknya, Ga, nanti kalo deket ama cewek, telepon gue dulu ya sebelum ngirim chat."

•••


See U Secepatnya Lagi,

Ichaaaaa

Bengkulu, 18 Januari 2024

Raka dan Segala Perayaannya [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang