MATI!
Kali ini bukan nyaris ketahuan lagi. Tapi benar-benar ketangkap basah. Raka menahan napas. Sewaktu melongokkan kepala untuk mengecek kondisi Nyala Gigantik yang gempar di pintu masuk, sosok yang gerak-geriknya sedang diawasi oleh beberapa polisi itu ternyata telah menyadari keberadaannya.
"Kenapa, Ka?" Raya yang berlindung di balik punggung Raka bertanya. Suaranya masih didominasi kegelisahan.
"Nggak apa-apa, Dir. Tunggu, ya." Raka hanya mengisyaratkan lewat tangannya untuk menahan Raya agar enggak ikut menilik situasi.
Persetan, pikir Raka. Percobaan kedua, Dahayu masih sesekali melihat ke arah jam lima. Mata perempuan itu berubah bengis seakan mencoba mengomunikasikan sesuatu. Beneran habis kamu sama saya setelah ini!
"Ngeliat apa kamu?!"
"Apa? Kamu yang justru nggak lepas dari mandangin buah dada saya, kan?!"
"Sembarangan! Siapa? Masih ada antek-antek kamu di sini?"
"Ngawur!" Dahayu maju memangkas jarak berlagak menantang, padahal dari gestur tubuhnya kentara sekali sedang memblokade aparat untuk tidak menaruh kecurigaan lebih jauh dari apa yang belum lama ini Dahayu tak sengaja temukan. "Cepat, Pak. Tunggu apa? Ini tangan saya sudah diborgol. Langsung aja ringkus ke kantor polisi. Toh nggak lama saya bakal keluar lagi karena bermain kotor bukan cara saya sekali."
"Dasar enggak tahu diri!"
Sebelum benar-benar didorong masuk ke dalam mobil, Dahayu kembali menengok ke arah Raka dan menyiratkan sesuatu dari pendar matanya.
Pergi!
Benar. Raka harus segera membawa Raya serta-merta ke mobilnya ketika sudah ada peluang untuk melarikan diri. Sesampainya di dalam mobil, Raka membantu gadis itu mengenakan sabuk pengaman lantaran tangan Raya masih bergemetar hebat.
"Tenang ya, Dir. Mbak lo nggak kenapa-napa." Raka mulai membelah jalan yang lengang meninggalkan area Nyala Gigantik. "Minum dulu." Lalu diserahkannya sebotol air mineral yang telah dibuka kemasannya kepada Raya.
Raka kembali membantu Raya turun. Setelah kisaran dua puluh menit lamanya, mereka sampai di sebuah tempat makan dan Raka segera memesan menu.
"Take away aja ya, Ka?" Raya menarik-narik pelan ujung boomber Raka.
Meski sedikit kaget, Raka mengangguk dan meralat pesanan mereka sebelum keburu dipersiapkan. "Mau makan di mana, Dir? Ada saran tempat atau mau di mobil aja?" begitu tanya Raka ketika telah menenteng beberapa kantung kresek bening.
"Di taman aja, Ka. Eggak jauh dari sini."
"Boleh. Yuk!" Raka menyamakan langkah dengan cewek di sampingnya. "Entar makannya dihabisin, ya. Diraya makin kurus. Padahal baru tiga hari alpa. Eh, tapi udah nggak keliatan dari hari Jumat sehabis kita bikin spesial podcast, kan?"
"Keadaan di rumah lagi chaos banget, Ka." Raya menerima sendok lengkap dengan tisu makan. "Gue sok-sok-an mau jadi pahlawan sampe ngelupain fakta kalo berdarah-darah sendirian juga rupanya nggak ngubah apa-apa."
Raya menelan nasi ayam tersebut dengan bantuan air putih. Tampak kurang berselera. "Papa definisi sempurna dalam segala hal. Tapi sayang, Papa lemah sama yang namanya perempuan." Kekehan Raya terdengar pedih. "Nggak cukup satu."
"Semenjak terjun ke politik, makin jadi-jadi gilanya. Itu tinggal tunggu bom waktunya meledak aja." Raya mengangkat bahu pelan. "Om Bas pasti suami dan papa-able banget, ya? Tipikal yang bener-bener nggak banyak ulah dan bicara pun seperlunya. Terus juga cara dia natap mama lo kayak cuma mama lo pusat dunianya. Nggak kemakan sama pancingan perempuan-perempuan yang berusaha narik perhatian dia. Oh iya, omong-omong papa lo udah pulih, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka dan Segala Perayaannya [end]
Teen FictionMenyandang nama belakang "Widyadana" tidak serta-merta membuat Agraka tumbuh menjadi anak yang angkuh. Justru kalau bisa semua orang di sekelilingnya Raka rengkuh. Sayangnya, punya jiwa royal tanpa pandang bulu tidak melulu bagus. Buktinya, tak sedi...