"LHO, papanya Evan kenapa nggak langsung diringkus ke kantor polisi aja, sih, itu si Agraka?! Nggak usah mikirin Agraka temennya Evan, kalo salah ya salah, kasih punishment aja biar ada efek jera. Itu pun belum kalo anaknya jera, ya. Bandel, sih. Udah diingatin berulang kali juga."
Dari panggilan yang tersambung, suara tegas milik Devaline mengguncang seisi ruang tamu rumah keluarga Pak Polisi, menyentuh pendengaran setiap pasang telinga yang ada enggak jauh dari sana.
Raka hanya diam, segan mengangkat kepala apalagi menatap mata ayah temannya yang enggak cuma profesinya, tapi sifatnya juga sangat Raka kagumi.
"Apa kau, Van?" Pak Polisi melancarkan teguran. Paling pantang kalau ada seseorang sedang dalam situasi seperti demikian, seseorang lainnya malah mengambil kesempatan untuk menyaksikan. Padahal, cukup berlagak pura-pura enggak terlibat aja sesaat.
"Siap salah. Maaf, Pa!" Evan memutar badan. "Faqih anak Yang Mulia ngumpet, tuh, di bawah meja."
"Apalah dua anak lanang ini pada nggak beres semua!" Pak Polisi membuang napas keras-keras. "Jadi, Raka...," tukas Pak Polisi membenarkan sarungnya yang masih melekat. "Kenapa kamu bisa sampai di Nyala Gigantik? Om pura-pura nggak tau aja. Mungkin kamu bakal berhenti sendiri. Taunya, malah sampai dini hari di sana. Cari apa? Cari siapa?"
"Nyari seseorang, Om."
"Kok bisa nyari orang sampai ke sana, Rak? Buat apa? Jangan sampai Om mikir yang iya-iya ini ya, Rak, ya." Pria paruh baya berdarah sumatra itu menyipitkan mata, makin mengulik lewat nada suara dan auranya yang sarat intimidasi. Padahal, enggak bermaksud sepenuhnya begitu. Memang setelan ekspresinya aja sudah bawaan lahir.
"Kalian bertiga nggak punya pembelaan kah buat Raka ini?" Pak Polisi yang merangkap sebagai sosok ayah dua anak itu mendeham. "Van kau gimana Van, selaku punya catatan kriminal hilir-mudik masuk kelab juga?"
"Hoaks, Yang Muliaaaa! Hoaks itu." Roman Evan sungguh nelangsa. Ayahnya enggak berubah. Satu kesalahan bisa diungkitnya dan dibuat seolah betulan fatal sepanjang masa. "Kalo untuk bagian ini, maaf dulu enggak punya pembelaan." Tatapan Evan menyirat rasa bersalah yang meruah. "Dan, lo ada enggak?" anak cowok itu menyikut lengan teman di sebelahnya dan mengedikkan dagu pada teman satunya lagi. "Am! Ada juga enggak? Kan elo tiap hari kagak pernah absen nanyain Raka."
"Nggak ada juga, sumpah!" Iam menggosokkan kedua telapak tangannya, dan sempat menilik Raka dengan tatapan sendu. Kalo bisa, segala sesuatu yang sedang memberatkan pundak Raka ingin Iam bantu pikul. "Gue kira kita CS forever, Rak. Taunya cuma seuprit yang gue tau tentang lo."
"Ada hubungannya sama nama yang lo minta gue cari tau itu ya, Rak?"
"Nama siapa, Dan?" Pak Polisi sigap merespons lantaran pertanyaan Adrian bisa dijadikan clue.
"Dahayu, Om." Tanpa perlu menunggu jawaban dari Adrian, lebih dulu Raka menimpali dengan tenang.
Pak Polisi melepas kacamatanya sembari mengembus napas. Cukup lama ia memijat-mijat kening yang mendadak terasa berat dan berdenyut. "Panjang ini persoalannya. Ya udah, Rak. Dicukupin sampe di sini dulu." Pak Polisi memberi isyarat lewat gerak kepala kepada anak pertamanya, si Evan Yudha Pratama dan kawan-kawan untuk segera raib dari pandangannya membawa Raka. Sebab kalau Pak Polisi sudah bereaksi seperti itu, maka perkaranya bukan sepele lagi.
Iam paling pertama bangkit dan menghampiri Raka. Diberinya rangkulan hingga mereka berjalan keluar menuju lokasi di mana mobil gerobak tahu bulat kesayangan Evan biasa mangkal.
"Dahayu siapa sih, Rak?" manakala pesanan tiba dan sudah mencomot tahu bulat dalam sekali hap, Evan menyuarakan rasa penasaran. "Gebetan, ya?" terkanya tanpa pikir panjang. "Tapi, kok, jauh amat Rak nyari gebetan ampe ke sana? Bau-baunya padahal udah kepincut bener sama cewek dari kelas gue, si Raya. Ada yang lebih memikat kah, Sayang?"
"Iya. Sampai-sampai speechless dibuatnya," sahut Raka asal bunyi.
"Alig! Mempesona betul dong Rak artinya?" Iam dengan muka polosnya terpelongo. "Tapi sangsi, ah!" cowok itu cepat tersadar. "Bukan sehari dua hari gue nganalisis Agraka Widyadana. Kata speechless pasti merujuk ke hal yang nggak disangka-sangka, kecewa, dan sejenisnya. Valid nggak analisa gue kali ini, Dan?"
"Udah bener pake kata pertama analisis kok, bukan analisa. Itu nggak baku."
Raka terdistraksi. Dari yang semula tampak berusaha bersikap biasa aja menjadikannya kontan tergelak. Adrian memang juara dalam mengalihkan topik pembicaraan. "Ada yang kelewat deh, Dan. Memesona, bukan mempesona."
"Kunyuuuk! Penting banget dikoreksi, Man?" protes Iam bete. "Lagi serius padahal."
"Ambil hikmahnya aja." Evan menepuk-nepuk punggung Iam guna menyalurkan kekuatan. Syukur-syukur kalau benar tersampaikan. "Mana tau keluar di soal UNBK taon depan."
"Makan apa, Van, pembahasannya tumben-tumbenan udah jauh ke depan?"
"Mahan hahu huhat! Anjrit panasss." Tahu bulat entah yang keberapa itu meloncat dari tangan Evan dan kembali masuk ke wadah semula. Tatkala Evan ingin melakukan percobaan kedua, Raka dengan jiwa manly man-nya mengambil dua helai tisu dan meletakkan gorengan tersebut di atasnya sebelum diserahkan kepada Evan selaku pelanggan setia dan pecinta semua olahan tahu garis keras.
"Aaaaa so sweeet!" Evan menerima bahasa cinta Raka itu dengan hati meletup-letup. "Jadi mau Raka dengan serta-merta isi dompetnya."
"Eh kerekam nggak barusan, Dan?" sisi jail Raka muncul ke permukaan. "Buat bahan laporan mingguan ke Pak Polisi."
"SIAP, BERCANDA!" Evan kembali ke setelan awal. Berusaha menirukan ketegasan yang dimiliki sang ayah selaku aparat negara. Enggak lama, sebab berikutnya bahu Evan melorot. "Soal ketulusan dalam pertemanan, boleh diadu deh, Rak."
Iam refleks tertawa paling keras. "Ketua Perbuayaan di Bumantara nggak usah dipercaya-percaya betul Rak, omongannya."
"Lah elo kan antek-anteknya gue dalam soal perbuayaan, Am?!" Evan mendelik.
"Lah iya kan kita seperguruan!" Iam menjentikkan jari. "Lo juga sama kan, Rak?"
"Nggak ikut-ikutan. Tapi boleh deh dikit aja serap ilmunya," papar Raka kalem. "Elo gimana, Dan?"
"Ada buaya dalam setiap diri pria." Karena ditanya paling akhir, Adrian berinisiatif menarik kesimpulan. "Tinggal masing-masing pribadi aja mau dikandangin atau dibiarin buat berkeliaran."
"Masooook abangkuuu!" Evan bersorak heboh. Dunia pertemanan cowok rupanya emang serandom itu. Dari abjad satu bisa loncat ke abjad yang lainnya. "Raka nikmatin ketawanya ya, Raka, ya. Sebelum ada interogasi lanjutan dari Papa dan Mama Widyadana kita."
"Sialan. Masih juga sempat dikasih sinyal wanti-wanti." Kendati demikian, Raka tetap tertawa lagi dan berterima kasih. Temannya selalu punya seribu satu cara untuk menunjukkan rasa peduli yang terbalut oleh seribu satu tingkah menjengkelkan.
•••
Regards,
Icha
Bengkulu, 12 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka dan Segala Perayaannya [end]
Teen FictionMenyandang nama belakang "Widyadana" tidak serta-merta membuat Agraka tumbuh menjadi anak yang angkuh. Justru kalau bisa semua orang di sekelilingnya Raka rengkuh. Sayangnya, punya jiwa royal tanpa pandang bulu tidak melulu bagus. Buktinya, tak sedi...