ANAK laki-laki itu masih bergeming. Sejak Dentra mengajaknya untuk kembali mengecek kondisi Dahayu, belum ada sepatah kata apa pun yang lolos dari bibirnya. Raka hanya mengamati dan sigap memberi bantuan tanpa perlu diminta. Seperti mengambil alas kaki Dahayu lalu meletakkannya sejajar tepat ketika perempuan itu hendak turun dari atas brankar, juga meraih sweater rajut kebesaran milik perempuan itu yang tersampir di kursi untuk kemudian diserahkan dalam keadaan terlipat cukup rapi.
Sejenak Raka enggak berkedip meniti jejak dari terapi hemodialisis di sepanjang tangan kanan Dahayu. Enam tahun tentu bukan waktu yang sebentar bagi Dahayu berjibaku dengan rutinitas menyakitkan tersebut.
"Semoga selain racun-racun di dalam darah saya, dosa-dosa yang saya punya juga turut tercuci bersih ya, Agraka."
Raka mengangkat kepala. Dilihatnya Dahayu sudah sepenuhnya beranjak dan bersiap meninggalkan ruangan.
"Ayo, Den. Pulang."
Raka yang keluar paling belakangan enggak kelupaan menutup pintu. Kakak kelasnya tampak sesaat kelimpungan merespons situasi. Barangkali rasa rikuh hadir tatkala mendengar ajakan dari Dahayu yang hanya tertuju kepada salah satu di antara mereka.
Demi mendepak rasa enggak nyaman yang melilit, Raka mengangguk singkat sebagai isyarat mempersilakan Dentra ikut pergi.
Raka sengaja berbalik arah memunggungi kedua orang itu. Semata-mata supaya enggak kalah dengan pikiran yang bersikeras mencegat kepergian Dahayu barang sebentar. Raka butuh Dahayu tinggal sedikit lebih lama untuk paling tidak mengatakan sesuatu. Bukankah Dahayu sendirilah yang sebelumnya meminta Raka untuk menunggu?
Raka lantas mengerjapkan mata. Pikiran semacam ini salah. Enggak seharusnya Raka membiarkan ego bertindak terlalu jauh di luar kendalinya. Raka harus segera merombak pikirannya dengan memasukkan afirmasi bahwa Dahayu lebih butuh waktu sendiri untuk lekas pulih alih-alih menjelaskan sesuatu kepadanya. Sebab dapat melihat perempuan itu sekarang saja sudah lebih dari cukup.
"Raka."
Begitu Raka menoleh, kedua tangan Dahayu sudah meremas pelan bahunya. Dahayu tersenyum lembut. "Empat hari dari sekarang kita ketemu lagi, ya? Saya mau ajak kamu ke suatu tempat. Untuk lebih detilnya saya kirim lewat pesan aja." Tarikan napas Dahayu sedikit terdengar payah. "Maaf untuk enggak serta-merta menawarkan kamu pulang. Tapi saya mau bilang," jemari Dahayu menyentuh pipi Raka, ada sehelai bulu mata jatuh di sana, "kali ini 'sampai jumpa lagi', ya! Secepatnya."
Dahayu perlahan berjalan mundur, masih melambai dan menatap teduh pada Raka yang belum memberikan reaksi berarti. "Sekalian saya mau request. Nanti kita perginya naik transportasi umum. Oke, ya?"
"Wow! Mau ke mana tuh, Sob?" Dentra bersiul jenaka dengan kedua tangan berada di saku celana.
Layaknya interaksi akrab dua orang sahabat, Dahayu cekikikan pelan. "Rahasia. Kamu jangan berkecil hati, ya."
"AMAAAN!" Dentra memberi hormat begitu Dahayu melewatinya. Lalu sikap hormat itu dilepaskan manakala menyaksikan Raka belum kunjung bergerak. Namun satu yang dapat Dentra pastikan, air muka Raka jelas sekali seolah enggak sabar menanti-nanti hari yang akan datang. "Raka ganteng banget kalo lagi nge-freeze."
"Tau." Raka mengangguk. "Tapi jangan demen sama gue, please."
"HAHAHAH!" Dentra buru-buru mengerem gelak tawa. Diberinya Raka pelototan tajam sebelum betul-betul lenyap dari pandangan. "Gue normal ya, Sialan. Muah!"
***
Papa
Shareloc dong, Nak. Biar Papa jemput.
Sekalian temenin Papa keliling-keliling sebentar yuk!
Lagi enggak ada rencana nginap di rumah temen kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka dan Segala Perayaannya [end]
Teen FictionMenyandang nama belakang "Widyadana" tidak serta-merta membuat Agraka tumbuh menjadi anak yang angkuh. Justru kalau bisa semua orang di sekelilingnya Raka rengkuh. Sayangnya, punya jiwa royal tanpa pandang bulu tidak melulu bagus. Buktinya, tak sedi...