"WOW, minggu depan banget ini Bang!"
Netra Garra berbinar saat membaca rundown acara podcast untuk kali ke sekian. Mereka mengundang kepala sekolah, wakil kesiswaan, dan juga ketua OSIS sebagai tamu dalam rangka meresmikan projek yang akan dijalankan selama dua semester ke depan. Supaya acara tersebut enggak melulu seputar obrolan, Tiga Serangkai sudah jauh-jauh hari mendiskusikan akan mengundang band-nya Evan untuk ikut andil menyemarakkan. Ruang podcast juga dipoles menjadi jauh lebih fresh dengan beragam karya dari anak-anak yang tergabung di klub desain poster.
Secara keseluruhan, persiapan udah mencapai persentase 70. Sisanya tinggal dikembalikan oleh Tiga Serangkai untuk mengusahakan bagaimana menghidupkan podcast perdana Bumantara Mengudara pada tahun ajaran baru ini.
"Kalo Kak Raya enggak dateng juga dalam waktu lima menit, kita pulang ya, Bang? Soalnya enggak ada yang perlu-perlu banget dibahas 'kan? Nanti bisa sambilan di GC aja. Denger-denger Kak Raya lagi digempur habis-habisan sama Bu Winda buat persiapan lomba Empat Pilar."
Raka mengangguk satu kali. Bertepatan dengan dirinya ingin beranjak dari merapikan rak buku yang ada di pojok ruangan, suara pintu berderit.
"Maluuu. Gue banyak telat terus." Raya menutup kembali pintu dengan hati-hati, masih menggigit bibir bawahnya dengan tatapan menyirat rasa bersalah yang kentara. "Maaf ya Ka, Ga."
"Eh panjang umur." Garra menggerak-gerakkan tangannya guna melelehkan suasana. "Nggak apa-apa. Hari ini agendanya cuma beres-beres doang, Kak. Santai."
"Tolong ambilin kotak P3K di laci meja ya, Ga."
Garra sempat bengong sebelum akhirnya sigap mengiakan lewat tindak tatkala baru menyadari ada sesuatu di wajah Diraya.
"Nggak usah. Ini udah enggak kenapa-napa. Aman." Raya menolak dengan segera.
Namun Garra tetap membawakan kotak P3K itu kepada Raka dengan binar kagum. Such a manly man, akunya heboh dalam kepala. Semua bahasa cinta rasa-rasanya cowok itu serobot semua.
"Apa ada kaitannya sama kejadian di belakang koridor 12 MIPA kemarin, Dir?" Raka dengan cekatan mengobati sudut bibir Raya yang terluka.
Alih-alih meringis perih, Raya justru tertawa lantaran terlintas kembali peristiwa yang belum lama terjadi. "Iya. Bagian serunya, selain dapet poin pelanggaran, gue juga dimintain uang, Ka. Orang-orang lucu ya, manipulatif banget."
"Kok bisa sampai dimintain uang?" Raka sejenak menjeda aktivitasnya. Pada tahap akhir, pelan-pelan ia menempelkan plester aqua di pelipis cewek itu.
Bahu Raya terangkat pelan. "Enggak ngerti juga. Mereka makin terang-terangan mojokin gue. Saat gue pojokin balik, enggak terima dan nyerang gue sampe berakhir kayak gini."
"Energi gue keserap habis di ruang BK, Ka." Raya membagi sekelumit kejadian dramatis yang ia temui. "Bu Fia bukannya dengerin kedua pihak, malah langsung nyemprot gue dengan kata-kata enggak ngenakin. 'Ya udahlah, toh Anak Anggota Dewan, uang lima ratus ribu juga ngga bakal bikin jatuh miskin buat ngobatin luka-luka kakak kelas'." Raya tertawa lagi. "Persetan sama nominal uangnya, tapi maksud gue enggak gitu cara penyelesaiannya. Mereka bahkan nggak ada luka-luka sama sekali."
Raka tersenyum, memahami benar apa yang dirasakan oleh Diraya Tysadyaksa. Hal seperti demikian juga kerap menimpanya sejak duduk di bangku sekolah dasar. "Semoga, luka perasaannya jauh lebih cepet pulih dari luka yang sekarang ada di wajah, ya, Dir."
Menerima kata bermuatan doa yang enggak biasa itu membuat Raya seperti tersihir. Raka tidak pernah kehabisan persediaan tindak dan tutur yang menenangkan untuk dibagi.
•••
"Pokoknya, kalo lusa lo mau coba cari peruntungan lagi buat masuk ke tempat itu." Kakak kelas dengan seragam Bumantara yang udah nggak keruan bentuknya tersebut menunjuk sebuah bangunan remang-remang di seberang. "Gue jamin 95% aman terkendali, Rak."
Dentra menginjak puntung rokok dengan sepatu buluknya. "Oh iya, sori ya yang soal Bumantarafess itu. Gue kepencet, murni nggak ada maksud apa pun. Tenang. Belum lima menit udah gue spam si admin buat narik menfess gue yang nampilin wajah elo masuk kelab dari peredaran."
"Gapapa, Bang. Gue juga nggak sempat liat."
Dentra tergelak dengan secercah rasa bersalah yang udah menguap. "Rak, bagi duit dong. Dua juta ada, nggak? Sebenernya pengin bilang ngutang. Tapi nanti daripada kagak bisa balikin, mending langsung minta kan ya kayak biasa."
"Buat apa Bang, uang segitu?"
"Urgent, Rak. Bukan buat yang nggak baik-baik. Percaya deh ama gue." Dentra menepuk-nepuk dadanya, berusaha meyakinkan.
"Tapi baru minggu kemarin lo mintain gue uang dua juta, Bang."
"Dua juta doang, Rak. Sehari aja tuh stasiun tivi emak lo kombo usaha properti bapak lo bisa kebeli mobil. Dua juta paling ngabisinnya nggak perlu mikir kayak beli es cekek di kaki lima. Gini aja deh, sebut aja buat uang tutup mulut dan ngunci tangan ini biar nggak gatel nyebarin kenakalannya Agraka Widyadana. Deal, oke?"
Raka menarik napas dan mengembuskannya agak berat. "Entar biar gue transfer aja, Bang."
"Cakep!" Dentra mengecup pucuk kepala Raka dengan secepat kilat lalu menepuk-nepuk bahu adik kelasnya. "Thank you, Brother! Mau coba belajar ngudut, nggak?"
Raka menggeleng. Tatapannya kembali jatuh pada bangunan di seberang. Mengapa untuk bertemu seseorang yang ia cari-cari rasanya begitu sulit sekali?
"Rak, denger-denger toko sepatu yang nggak jauh dari sini itu punya lo, ya?"
"Iya," ucap Raka sekenanya. "Lagi nggak ada stok sepatu buat ukuran kaki remaja, Bang."
Dentra mendelik. "Udah wanti-wanti duluan ternyata sebelum gue ngutarain maksud terselubung. Terus stok sepatu apa yang lagi ready sekarang?"
"Emang sengaja belum restock, Bang. Mau ngelarin stok sepatu anak-anak TK dulu buat kegiatan amal yang akan datang."
Dentra seketika merangkul Raka dan berakhir mengikuti arah pandang anak cowok dari keluarga berada yang kerap sekali ia manfaatkan itu. "Gokil! Kalo butuh bantuan, calling aja. Badung-badung begini masih ada setitik kecil kearifan di hati, Rak."
Raka enggak memberikan reaksi yang berarti. "Bang, kok lo bisa ya, leluasa ketemu Dahayu sementara gue buat sekedar ngeliat mukanya aja harus pontang-panting dulu pake segala cara?"
"Enggak ada harga murah buat sesuatu yang mahal, Rak. Gitu nggak sih kiasannya orang beruang? Bingung juga. Bahasa Indonesia gue remedi mulu."
•••
Regards,
Icha
Bengkulu, 05 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka dan Segala Perayaannya [end]
Teen FictionMenyandang nama belakang "Widyadana" tidak serta-merta membuat Agraka tumbuh menjadi anak yang angkuh. Justru kalau bisa semua orang di sekelilingnya Raka rengkuh. Sayangnya, punya jiwa royal tanpa pandang bulu tidak melulu bagus. Buktinya, tak sedi...