"WAAAH! Dah pada rame ternyata." Garra menutup pintu ruang ekskul dan enggak kelupaan membungkukkan badan tanda menyapa. Meski secara de jure Garra dan Raka dkk., sama-sama berstatus siswa kelas 11, namun secara de facto Garra terpaut usia satu tahun dengan mereka. Jadi Garra merasa perlu melakukan hal demikian sebagai bentuk peradaban.
Di dalam ruangan sudah banyak perwakilan dari setiap ekstrakulikuler. Ada Evan Yudha Pratama yang gemilang dengan group band-nya, ada Adrian mewakili tim design poster yang mana karya-karya mereka terpajang hampir di setiap sudut Bumantara. Juga enggak ketinggalan si Ilham atau yang Raka dan lainnya akrab memanggil dengan sapaan "Iam" mewakili anak-anak OSN Bumantara. Serta masih ada sebagian lagi dari bidang olahraga, kesenian, paskibra hingga pecinta alam.
Garra menghidangkan banyak menu yang disponsori oleh Raka sebagai, um, istilahnya tuan rumah yang akan melangsungkan pertemuan. Kalau kata Raka di kelas beberapa waktu lalu, sebut aja ini "Peristiwa Bumantara Mengudara". Sudah terendus dari lama sekali, sejatinya dalam diri anak dari kalangan old money satu itu punya jiwa sosial dan rasa cinta sejarah yang tinggi.
"Bang, belum klop kalo diskusi kayak begini enggak ada gorengan. Kalo nyajiin pizza dan kawan-kawan, nggak jadi diskusi kita, Bang. Nobar film aja. Makanya sengaja ada es cekek juga. Nggak semua orang lidahnya europe, tapi gorengan disandingin ama es dalam plastik bisa nyatuin segalanya."
Semua sontak terbahak, enggak terkecuali Raka.
"Nggak salah pilih tangan kanan," celetuk Adan sembari mencomot pisang goreng. "Thanks ya, admin Bumantara Mengudara."
"Sialan. Masa admin!" Raka masih disentuh tawa. Dalam satu kedipan mata saat enggak sengaja menolehkan kepala ke arah pintu, seseorang muncul disusul oleh dua orang lagi.
"Hi, sori-sori ngaret."
"Enggak apa-apa, Sayang. Ngerti, kok. Udah sampe mana hapalan Empat Pilar-nya?" Evan paling pertama memaklumi. Siapa yang enggak bangga punya Diraya Tysadyaksa sebagai teman sekelas? "Sini, Sayang. Ajakin dua adik kelas kita yang malu-malu-mau itu."
Raya tertawa renyah. Ikut berbaur bersama yang lainnya. Enggak kelupaan mengangguk kecil dan tersenyum sewaktu bersirobok dengan sepasang netra cokelat milik Raka.
Pertemuan sehabis jam KBM di sekolah itu memakan waktu hampir dua jam. Tapi karena seru dan enggak melulu serius, jadinya enggak berasa lama.
"Kapan nih, projeknya mulai digarap? Udah enggak sabar nantiin bakal sepecah apa," seru cowok dari SISPALA Bumantara.
"Bulan depan," tukas Raka tenang, dalam nada suaranya terisi kewibawaan yang nyata. Jika ada nominasi siapa yang paling bisa menempatkan diri dalam setiap posisi, Raka pasti berada diurutan teratas. "Karena bakal banyak yang perlu disiapin sampai detil terkecil. Untuk jadwal, projek podcast-nya akan tayang setiap dua minggu sekali. Terus enggak cuma sekadar memperkenalkan atau bagiin informasi tentang setiap ekstrakulikuler, kita juga punya tanggung jawab supaya apa yang mau kita tunjukin enggak flop."
"Dari informasi yang beredar, katanya podcast ini bakal masuk ke layanan digital gitu ya, Kak, selain YouTube?" salah satu adik kelas cewek yang datang bersama Raya angkat suara.
"Bener!" Garra menimbrung. "Dan tambahan informasi menarik lainnya, semua warga Bumantara tanpa terkecuali, termasuk bapak-ibu kantin, satpam, bahkam penjaga sekolah juga dapet kuota data gratis buat ngakses podcast ini setelah rilis selain di YouTube."
"Kelasss!!!" suara demi suara dan riuh tepuk tangan mengguncang ruangan.
"Ini donaturnya pasti bonyok Raka."
Garra cengengesan. "Bener lagi."
"Nope banget! Nggak salah kasih sponsor projek. Salam buat Papa dan Mama ya, Rak!" seru Rafli sebagai satu-satunya kakak kelas 12. "Boleh ngajuin proposal dana nggak, ya, buat Pecinta Alam?"
"Boleh, Bang. Asal jelas tujuannya. Nanti coba dibuat dulu aja terus kasih ke Raka biar disampaikan ke Papa. Papa dulu anak PA juga," sahut Raka disertai kekehan. "Oh iya, mungkin ada yang mau didiskusiin lagi? Atau dirasa ada yang kurang jelas, feel free buat nanya-nanya, ya."
Karena sudah cukup mendapatkan banyak gambaran untuk ke depan, forum diskusi itu dicukupkan tepat pada pukul setengah lima petang. Dan yang paling akhir meninggalkan ruangan adalah Tiga Serangkai.
"Raka, bagi duit dong!"
Alih-alih si empunya nama yang dipanggil memberikan reaksi, justru Raya dan Garra yang kompak menoleh dengan perasaan terusik.
"Elaaah cuma buat ongkang-ongkang di kelontong depan doang, Rak! Aman. Kagak di kelab dah! Sueeer."
"Raka enggak ada duit, Bang." Garra praktis pasang badan. "Udah abis digorengan ama es cekek buat ngumpulin perwakilan anak-anak yang tergabung di setiap ekskul. Termasuk beberapa anak OSIS dan MPK."
"Gorengan ama es cekek doang mah, kecil! Kagak nguras isi si dompet berjalan. " Komplotan kakak kelas tengil itu kembali membahana tawa. "Ayo dong, Rak. Mau dijajanin juga sama Agraka Widyadana."
"Udah minta traktir, seenggaknya jangan pake istilah dompet berjalan, Kak." Raya turut bersuara. "Kesannya udah minta, malah semena-mena. Harus ada triknya."
Garra masih terperangah, sedangkan Raka yang baru selesai mengunci pintu ruangan berbalik dan membenarkan letak ranselnya yang kurang nyaman. "Lanjut aja, Bang. Nanti gue mampir ke sana sebentar buat bayarin."
"Ka?" mata Raya membelalak. Raka sempat menoleh untuk sekadar tersenyum. Mata cowok itu berbicara seolah hal tersebut bukan apa-apa. Kembali tatapan Raya beranjak kepada Garra yang hanya bisa mengangkat bahu.
"Cakeeeep. Gitu, dong! Thanks ya, Rak! Makin sering-sering begini."
Dentra and the geng kemudian berlalu. Garra yang menyaksikan punggung para kakak kelas belagu itu kian menjauh lantas menonjok-nonjok udara guna melampiaskan rasa geram. "Bang, royal boleh. Tapi liat-liat juga royalnya ke siapa. Jangan terabas ke semuanya. Apalagi modelan kayak Bang Dentra."
Melalui anggukan singkat, Raya sependapat dengan gagasan yang disuarakan Garra. Akan tetapi, Raya rasa ia enggak punya hak buat memperkuat gagasan tersebut. Boleh jadi di luar keurakan Dentra, Raka menemukan pula versi baik dari diri kakak kelas itu.
"Dir, pulang ke mana?" Raka bertanya setibanya di gerbang Bumantara dan hanya menyisa mereka berdua usai Garra sudah lebih awal menerima jemputan.
"Mau mampir ke pasar sore dulu nggak jauh dari sini buat beli sesuatu." Raya menunjuk ke seberang jalan. "Mau ikut?"
Raka tersenyum. Langkah pertama yang ia ambil menuju Raya untuk bersisian adalah jawaban.
Menyadari hal itu membuat Raya terkekeh untuk menyamarkan keterkejutan. "Kayaknya salah banget basa-basi ke Raka," akunya setengah bercanda setengah lagi mengutarakan fakta. "Omong-omong, enggak jauh dari sini yang dimaksud itu lumayan makan waktu kisaran dua puluh menit jalan kaki ya, Ka."
"Telat banget, Dir, basa-basinya. Gue udah lumutan nungguin momen kayak gini dari semenjak projek dadakan kita tahun lalu."
•••
Regards,
Ichaaaaa
Bengkulu, 23 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka dan Segala Perayaannya [end]
Teen FictionMenyandang nama belakang "Widyadana" tidak serta-merta membuat Agraka tumbuh menjadi anak yang angkuh. Justru kalau bisa semua orang di sekelilingnya Raka rengkuh. Sayangnya, punya jiwa royal tanpa pandang bulu tidak melulu bagus. Buktinya, tak sedi...