11. Raka, Raya, dan Sebagian Cerita

119 31 12
                                    

RAKA mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil sewaktu merasakan sentuhan lembut di lengan bebasnya.

"Ke apotek dulu ya, Ka."

Enggak ada pembicaraan, hanya hening yang panjang melilit keduanya di sepanjang jalan pada pukul hampir menuju satu pagi. Raka menunggu di kursi umum yang tersedia hingga Raya kembali membawa sekantung kecil berisi peralatan yang biasa dijumpai dalam kotak P3K.

"Maaf ya, enggak secekatan Raka dalam hal beginian."

Raka tersenyum sumir. "Tysa ngapain, ya, di sana?"

Pertanyaan itu berhasil mengirim sinyal sedikit enggak nyaman untuk Raya. Terlihat bagaimana gadis itu tanpa sadar menghentikan jemarinya dari menutup botol larutan antiseptik. Raya mengusahakan sebuah simpul senyum tercetak di bibir tipisnya. "Ternyata, jauh lebih mendingan dipanggil 'Dir' ketimbang 'Tysa' sama Raka," aku Raya terus terang. "Karena mungkin ... kalo 'Dir', kesannya emang panggilan favorit lo ke gue (?) Sementara 'Tysa', kayak apa ya ...," lama Raya menggantungkan kalimatnya. Ia menyibukkan diri dengan memasukkan kembali berbagai obat pertolongan pertama ke dalam kantung plastik sebagai peralihan untuk enggak berkontak mata. "Vibes-nya enggak baik. Beneran nunjukin kalo Diraya anak dari orang yang katanya punya ani-ani."

"Terus gue gimana dong, Dir?" Raka lantas tertawa, kering-kerontang. "Lo hampir denger semua semprotan dari wanita yang lo panggil 'Mbak' tadi ke gue."

Raya memastikan sekali lagi bahwa luka yang Raka dapati sudah ditangani dengan cukup baik. Kembali jemarinya serta-merta merapikan rambut cowok itu yang terkena remah tembok bangunan kelab yang jika ditelusuri ke dalam, maka kian kusam dan ringkih. "Lucu, ya. Kirain kita bakal yang selalu dipertemuin lewat situasi-situasi baik semacam projek dadakan dan projek yang sengaja dipersiapkan Bumantara belum lama ini. Taunya, juga diketemuin lagi kayak sekarang. Lewat hal-hal yang berusaha kita tutupin rapat-rapat."

"Nggak apa-apa, Ka." Meski hampir saban hari menemui suasana seperti ini, Raya tetap enggak mahir dalam menghibur seseorang yang barangkali sedang ditimpa kesedihan. Namun, sebisa mungkin Raya harap kehadirannya enggak menjadi alasan seseorang makin larut dalam perasaan lemah satu itu. "Gue seneng dan ngerasa cukup tenang, karena yang ngeliat sisi lain gue dalam tanda kutip 'lemah' ini adalah elo. Coba kalo orang lain? Mungkin responsnya enggak bakal sebaik elo. Jadi, gue bakal kasih feedback yang sama juga."

"Dia nyokap gue, Dir." Tawa Raka terdengar parau.

"Kalau di kepala lo mulai menerka-nerka kemungkinan paling buruk seperti ada hubungan antara Mbak Dahayu dan bokap gue, lo bisa singkirin mulai detik ini juga, Ka." Raya meyakinkan.

"Oiya! Raka, pernah enggak lo tiba-tiba kebesit kenapa kita baru kerasa cukup deket bangetnya itu sekarang?" Sepasang iris mata hitam pekat yang berkilau itu terisi ketangguhan dan kelembutan di saat bersamaan. Raya membawa topik baru dengan senyum merekah di wajah. "Sebenernya, gue udah tau lo jauh sebelum kita ketemu di ruang OSIS karena sama-sama dapet hukuman tahun lalu. Bahkan gue masih nandain hari itu karena gue lebih dulu senyum ke arah lo. Kayak praktis gitu aja sambil nyeletuk dalam hati 'wah, satu sekolah sama Raka!'. Mana reaksinya bagus banget. Senyum gue dibalas kontan sama senyum elo dalam hitungan sekon aja."

"Terus kenapa nggak dilanjutin, Dir, interaksinya? Malah dibiarin mandek hampir satu tahun."

Raya kembali dikungkung tawa. "Kelas sepuluh tahunnya Diraya Tysadyaksa lagi ambis banget pengin menaklukan LDBI dan Empat Pilar, Ka. Sampai-sampai lebih banyak waktu diabisin di ruang klub ketimbang di kelas. Sekarang setelah dipikir-pikir ulang, mau ambil langkah semampunya aja. Kayak kata elo, nggak gerabak-gerubuk. Satu per satu akhirnya bisa dilampaui juga."

"Diraya Keren Tysadyaksa." Raka dengan tanpa beban menambahkan nama tengah untuk cewek di sampingnya. "Terus lagi, bisa kenal guenya dari mana?"

"Panjang ceritanya," ujar Raya disertai kekehan. "Karena kita bisa dibilang udah berbagi rahasia berupa kemalangan satu sama lain, so ... impas. Gue bagi sekelumit informasi lagi ya, kalo gue udah kerja di Nyala Gigantik sejak kelas 3 SMP. Dan seseorang yang mati-matian seakan mau lo lenyap dari bumi malem ini, Ka," tutur Raya menyelami netra cokelat gelap itu, dan senyumnya tampak senang dan sendu sekali waktu. "Adalah orang yang make waktunya berjam-jam cuma buat nyeritain hal yang sama ke sekian kali. Tau tentang apa?" Raya mengetuk-ngetuk sepatu converse-nya dan membayangi kembali betapa raut antusias dan kekosongan seseorang bisa berubah hanya dalam kedipan mata. "Tentang Raka dan segala hal-hal kecil yang bisa perempuan itu amankan diingatannya."

Raya memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan kirinya. Gadis itu dengan cepat memasang kembali topi hitamnya untuk beranjak pergi. "Ka, gue harus masuk lagi." Raya menyerahkan kantung plastik yang sedari tadi ia pegang. "Simpan rasa pengin tahunya sendiri dulu, ya. Nanti, kita ketemu kembali dalam versi kayak gini. Bukan versi dua murid yang disatuin dalam Projek Bumantara."

"Pulang dulu aja, Dir. Udah hampir tiga pagi. Gue anterin, ya? Besok juga masih harus sekolah."

Raya sempat berbalik, masih dengan berjalan mundur, gadis itu tersenyum bersama netra hitam berkilaunya yang enggak tampak leluasa Raka pandangi lantaran terhalau topi.

"Gue profesional, Ka. Besok pagi lo bakal ngeliat Diraya yang kayak biasanya lagi. Tenang aja." Tangan Raya bergerak, mengisyaratkan supaya Raka segera bergegas. "Jam-jam segini rawan ada buser. Kirimin gue pesan kalo lo udah nggak di sekitaran sini, ya."

Dan Raya betul-betul lenyap dari penglihatan Raka yang masih belum sepenuhnya bisa mencerna peristiwa beruntun yang baru ia alami. Raka terkekeh sewaktu bangkit dari bangku umum yang hanya disirami cahaya temaram lampu jalanan. Mengapa dari luasnya semesta yang menyediakan hal-hal indah, Raka harus kebagian bertemu Raya pada hal-hal yang menyedihkan pula?

Raka menyentuh ikon gagang telepon di ponselnya manakala sudah memasuki mobil. Pada dering keempat, suara gerasak-gerusuk terdengar di seberang.

"Belum tidur, Ga?"

"Kira-kirain aja, Bang." Garra di seberang sana terdengar ogah-ogahan. "Nada dering gue kalo dapet telepon dari elo emang dibedain. Sengaja yang jedag-jedug ampe orang se-RT pada kebangun."

Raka tertawa kecut. "Mau numpang tidur, Ga."

"Tidur apaan orang dua jam lagi mau subuh!" Garra komat-kamit. "Ke warung aja, Bang. Gue nginap di sini. Btw abis dari mana, sih? Udah nggak kehitung lo ngejual nama gue, Bang! Tadi jam sebelas emak lo lewat kontak WA bokap lo nelpon gue mastiin kalo lo beneran lagi sama gue apa enggak. Untung masih bisa ngeles. Dosa boongnya gue yang udah seabrek ini tolong lo tanggung ya, Bang."

"Pengin martabak apa nasi goreng?" tanya Raka sambil tetap fokus menyetir.

"Pengin misuh sih Bang, aslinya. Ya pengin lanjut tidur lah!" Garra meraung. "Cepetan, Bang. Lima menit kudu sampe pokoknya. GPL. Gue mau ngunci warung lagi. Kurang pejem mata, nih. Baru tidur jam 12 teng soalnya! GPL, GPL, GPL ya, Agraka. Muah!"

•••

Regards,

Icha

Bengkulu, 11 Februari 2024

Raka dan Segala Perayaannya [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang