17. Raka, Raya, dan Nostalgia Kecil-kecilannya

117 24 12
                                    

Perfectly Perfect - Simple Plan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perfectly Perfect - Simple Plan

"AGRAKA?"

"Dalem, Ma." Raka menyahut pelan. Jemarinya masih mengancing satu per satu tuksedo hitam yang telah Devaline pilih untuk dirinya kenakan malam ini.

Decakan kecil terdengar bersamaan dengan suara hak runcing setingga tujuh senti itu. Senyum Devaline merekah sempurna, dipegangnya kedua bahu Raka dan menatap penuh bangga. "Gagah banget anak bujang the one and only ini."

Raka spontan terkekeh. Satu tangannya sudah berada di pinggang kanan, menunggu dengan senang hati tangan Devaline tertaut di sana supaya mereka lekas menuju pelataran parkir.

"Seat-belt-nya, jangan lupa."

Raka mengangguk, dan tersenyum tanpa komando. Selain riweuh dalam urusan masih ingin menyuapi makan, Devaline juga nggak kalah protektif untuk perkara satu ini. Pokoknya, Raka cukup duduk manis dan bertugas menyalakan playlist yang ada seraya meceritakan banyak hal.

"Apa motivasi kamu namain kontak si Diraya kayak gitu, Ka? Eh apa ya kata yang tepat buat ngewakilinnya alih-alih motivasi? Filosofi?"

"Kayak gitu gimana emangnya?"

"Ya ... gitu. Normalnya orang-orang nge-save kontak di HP langsung nama aja, deh. Enggak pake disokong tanda baca kayak tanda kurung terus namanya dipelesetin yang harusnya D-I-R, jadi D-E-A-R."

Raka mengulum senyum, tanpa sadar menggaruk pelan bagian pelipis pertanda salah tingkah. Devaline yang menyadari hal tersebut melalui ekor matanya praktis turut tersenyum.

"Deket yang cukup intens sama Raya-nya belum lama ini kok, Ma. Pernah, sih, waktu MPLS, tapi ya mentok di sana aja. Cuma udah ngerasa kalo dia anaknya tipikal yang misal kita lagi ngobrolin sesuatu, bakal fokus nyimak gitu. Bahkan nggak pernah motong pembicaraan sama sekali. Keren banget, 'kan?"

"Wow!" Devaline terpukau. "Yang Mama tangkep, kamu mau ngasih tau kalo dia pendengar yang baik. Gitu, ya?" sudut-sudut bibir perempuan itu tertarik membentuk simpul senyum. "Biasanya, sih, itu sepaket. Kalo dia pendengar yang baik, pasti juga pembicara yang baik."

"Totally agree!" Raka merespons dalam hitungan sekon. Binar matanya tampak bergelora. "Raya anak klub debat, Ma. Selain itu, di sekolah ada kompetisi tahunan bergengsi namanya Empat Pilar. Entah di Bumantara aja apa di sekolah-sekolah lain juga, kalo ada yang ngikutin Empat Pilar pasti otomatis dilabel brilian. Karena enggak cuma dituntut skill hafalan doang, tapi dari segi confident, nalar, pemahaman, dan problem solving-nya juga harus di atas rata-rata. Nah, si Diraya waktu kelas sepuluh udah ngegaet juara satu, Ma, di kompetisi itu. Paket komplit! Dan tahun ini doi bakal ikut lagi. Mohon dukungannya, ya."

Devaline kontan tertawa. "Habis dengerin kamu cerita barusan, Mama jadi keinget celetukan random Evan. Dinamika Rasa Raka. Nah, dinamika rasa Raka sekarang statusnya kepantau melejit naik, ya. Sesuka itu ternyata. Dari yang nyebutnya dia, ditutup pake kata doi seakan buat penekanan kalo, 'ini lho, Ma, si Diraya yang Raka suka!'."

Raka dan Segala Perayaannya [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang