"SUMPIIIL IYA ANJIR!!!"
"Apaan si bege sumpal-sumpil-sumpal-sumpil!" Ilham memungut ponselnya yang refleks terpelanting ke lantai akibat suatu kehebohan yang ditimbulkan oleh temannya.
Evan menunjuk-nunjuk layar HP begitu menemukan meme yang relate dengan perasaannya saat ini. "Kenapa orang yang dagangannya enak tuh pada mood-mood-an sih, woy?! Kek, anjir beneran ini nggak mau mangkal tiap hari apa?" semula sempat bangkit dari posisi duduk, sekarang cowok itu klemar-klemer menjatuhkan tubuh kembali ke sofa. "Abang tahu bulat langganan gue, noh. Pas ditanya kenapa nggak keliatan mobil gerobaknya hampir satu minggu, jawabannya cuma 'Up dulu, Pan. Mager!'" Dijauhkannya benda pipih tersebut lalu menenggelamkan wajah di bantal. "Doi nggak tahu apa kalo jawabannya berpotensi nyakitin gue yang tiap hari butuh amunisi kedele!"
"Buser kali, tukang jualannya." Celetukan si tuan rumah sontak mengundang perhatian tiga pasang mata. Lama-lama, Adrian jadi keseret pikiran nyeleneh mereka juga.
"Kita ada masalah apa ya sama buser, intel, dan sekawanannya? Disinggung mulu."
Raka tercenung di samping jendela kamar Adan. Tiga hari pasca dijenguk Raya, Garra, dan ketiga sohibnya, akhirnya Raka sudah bisa masuk sekolah seperti sediakala. Untuk pertanyaan barusan, sebetulnya nggak Raka pertimbangkan. Hanya terceplos begitu saja karena fokusnya masih terserap pada sederet pesan yang belakangan ia kirim ke seseorang.
Jumat
Ayu, ini Raka.
Agraka Widyadana.
Izin save kontaknya, ya.
Sabtu
Masih sering ke Nyala Gigantik?
Senin
Raka udah sembuh. Mau balikin saputangan.
Sengaja nggak dibuang karena mikir ada inisialnya
S.A
Siapa tau berharga
Sampai detik ini, tanda centang satu itu belum menjelma dua dan belum pula berubah warna dari abu-abu menjadikannya biru.
"Jangan galau, Van." Ilham menghibur teman seperbuayaannya. "Entar kita hajar waktu Imlek. Bakal open house kan ya, Rak? Nah lo request aja tuh, segala jenis olahan tahu. Dijamin bakal diturutin sama Kokoh kita."
"Iya," jawab Raka santai. Lalu sepersekian detik matanya mengerjap. Hampir melewatkan informasi yang didapat belum lama ini dari sang ayah. "Eh, bentar. Maaf Imlek taun depan Papa udah keep mau balik ke Bangka. Tapi nggak apa, rumah bakal tetep terbuka lebar kalo udah balik."
"Ikutttt!" Evan mengacungkan telunjuk tinggi-tinggi bagai murid teladan yang serba pertama dalam merespons pelajaran. "Angkut kita-kita ke negeri laskar pelangi dong, Rak! Pusing, butuh healing...."
"Serius pulang kampung?" keterkejutan masih terukir di wajah Iam. "Yaaah ... sayang banget. Padahal gue, Panjul, sama Adan udah janjian bikin seragam buat ke rumah lo Imlek nanti. Adan sendiri yang desain model baju dan milihin warnanya. Warna maroon, Man!"
Dulu, sebelum senyantol ini dengan Agraka Widyadana, baik Evan, Ilham, maupun Adrian enggak mengira kalau Raka juga seorang muslim sama seperti mereka. Sebab dari segi wajah sungguh mendukung aura nonisnya. Hal tersebut akhirnya terpatahkan lewat sebuah insiden di mana ketiganya harus diseret oleh guru agama yang sedang berpatroli ke tiap-tiap kelas lalu menemukan mereka masih leyeh-leyeh padahal sudah memasuki waktunya salat jumat. Sekonyong-konyong, keberadaan Raka yang sedang mematikan kran air, menyugar rambut ke belakang, lalu menyesuaikan posisi menghadap kiblat untuk mengangkat tangan berdoa saat mereka baru ingin berwudhu seketika membikin tercengang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka dan Segala Perayaannya [end]
Teen FictionMenyandang nama belakang "Widyadana" tidak serta-merta membuat Agraka tumbuh menjadi anak yang angkuh. Justru kalau bisa semua orang di sekelilingnya Raka rengkuh. Sayangnya, punya jiwa royal tanpa pandang bulu tidak melulu bagus. Buktinya, tak sedi...