"AGRAKA, terima kasih udah mau bantu Ibu dan anak-anak DBI buat jadi moderator dilatihan kali ini." Wanita paru baya berkacamata itu menepuk-nepuk pelan bahu Raka. "Kenapa enggak ikut DBI juga, sih, kayak si Diraya? Coba taun kemarin Ibu masih megang kelas 10 MIPA, udah Ibu tarik buat nyemplung ke DBI."
Raka tersenyum seraya mencium punggung tangan salah satu guru bahasa di Bumantara itu. "Ketemu di uprak bahasa Indonesia kelas 12 ya, Bu."
"Pasti, dong! Ibu tandain dari sekarang, ya. Pokoknya uprak debat nanti harus wah dan elegan!" bergantian tangan Bu Gaia menyambut salam Raka dan ketua klub DBI Bumantara. "Yuk, Agraka, Diraya. Ibu udah ditunggu sama kepala sekolah. Sisa waktu lima belas menitnya enggak apa-apa dipake buat ke kantin duluan. Kalo ketemu guru piket bilang aja udah dapet izin dari Ibu."
Keduanya mengangguk patuh. Manakala punggung Bu Gaia lenyap dari pandangan, Raya berbalik menemukan Raka yang senyumnya barangkali belum luntur sedari tadi. Raya tertawa. Mata cowok itu kian menyipit karena betul-betul melawan sinar matahari. "Ketemu Raka lagi di projek yang--um--ketiga(?)"
"Debatnya tadi cantik, Dir."
"Cantik dalam artian gimana?"
"Kalo kayak kata Bu Gaia barusan, wah dan elegan. Tenang, keliatan bener-bener nguasain mosi. Waktu bagian replikasi dan rebukingnya juga enggak gerabak-gerubuk. Kelas banget, ya!"
Senyum Raya menjelma kekehan kecil. "Ini langsung dapet ulasan bintang lima dari penulis kreatif tim hore ya, ceritanya?"
"Garra sialan. Jadi diinget terus-terusan sama Diraya." Tak ayal Raka tertawa jenaka untuk menyamarkan rasa malu yang terpantik jauh tersuruk-suruk di lubuk hatinya. "Sebelum dibasa-basi-in 'mau ikut' yang kedua kali, gue harus selangkah lebih maju buat ngajakin lebih dulu." Raka mendeham pelan. "Kantin, yuk?"
"Yuk!" Raya menerima ajakan tersebut dengan isyarat tangan supaya Raka segera mengambil tempat di sampingnya agar mereka meneruskan langkah. "Gue traktir minum, ya. Karena udah bersedia ngegantiin Bimo jadi moderator."
"Gue traktir makan, ya. Karena selalu keren."
"Kok gitu?" dahi Raya berkerut-kerut samar, seolah ada sejuta tanda tanya dan kebingungan berbaur di sana. "Eh kayaknya yang namanya Agraka Widyadana ini emang seneng ngikutin pola lawan bicara, ya?"
Tawa Raka kembali mengudara. Begitu renyah, begitu ringan. "Dan kayaknya Diraya Tysadyaksa ini suka nganalisis orang juga, ya?"
"Beneran langsung dikasih contohnya." Raya mengerjap seolah betul-betul terperangah. Namun sejurus kemudian gadis itu kembali dijamah tawa. "Ka, kita lewat belakang aja. Biar persentase papasan sama gurunya lebih kecil."
Raka putar arah dan balik menyelaraskan langkah. Mereka melintasi kawasan kelas 12 MIPA dengan laju gerak yang diperhitungkan supaya enggak menimbulkan kebisingan di tengah-tengah hening yang panjang.
"Wow, Diraya! Ama siapa, tuh?"
Raka lantas menoleh karena secara enggak langsung merasa terlibat. "Sama Raka, Kak."
Chiwi-chiwi nyentrik dan dikenal biang onarnya Bumantara tersebut kompak terkikik seolah menemukan banyak kelucuan dalam waktu bersamaan.
"Anjir!!! Bisa-bisanya deket sama Diraya. Skip, gih. Keluarga doi problematik," celetuk salah satu dari mereka dengan gelagat berbisik namun berkebalikan akan volume suaranya yang sengaja dikeraskan.
"Bokap Diraya miara gundik."
"Perek kalo kagak tau arti gundik. Enggak tau perek juga--pecun--Rak. Masih enggak tahu? Ani-ani!"
"Mana mungkin nggak tau. Orang kaya kayaknya udah nggak asing sama dunia begituan. Bener nggak, Rak? Si Diraya diem-diem aja. Kenapa? Fakta banget ya, Ray?"
"Salah satu dari kamu ada jadi ani-ani-nya juga kah, Kak?"
Respons yang Raya tunjukkan betul-betul enggak terduga. Terlihat dari bagaimana gerombolan kakak kelasnya yang gemar bolos pelajaran itu sempat spechless sebelum saling membahana tawa diiringi riuh tepuk tangan.
"Savage banget anak emasnya Bumantara."
"Bukan gundiknya, sih. Tapi kalo dijajanin barang branded dan sebagainya ya ... nggak nolak sih, Ray."
"HAHAHAH!"
"Boleh nih, Rak, jadi bahan buat podcast Bumantara Mengudara. Kabarin kalo udah rilis. Gue pertama yang bakal dengerin. Ihiwww!"
"Woi, udah woi! Nyenggol anak orang mulu kita."
"Lho siapa tau kaaan si Diraya luarnya aja brilian. Dalemnya liar juga."
Raka meraih tangan Raya yang mulai terkepal kuat, barangtentu berusaha mati-matian menahan segala bentuk emosi yang bergumul. "Lanjut jalan aja, Dir, nggak apa-apa."
Karena bukan hanya Raya, rentetan kalimat demi kalimat yang ditumpahkan kakak kelas mereka itu juga enggak kalah mengusik perasaan Raka.
•••
Regards,
Icha
Bengkulu, 29 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Raka dan Segala Perayaannya [end]
Teen FictionMenyandang nama belakang "Widyadana" tidak serta-merta membuat Agraka tumbuh menjadi anak yang angkuh. Justru kalau bisa semua orang di sekelilingnya Raka rengkuh. Sayangnya, punya jiwa royal tanpa pandang bulu tidak melulu bagus. Buktinya, tak sedi...