40. Raka dan Semesta Raya

349 17 15
                                    

"Oke, floor standby! Five, four, three, two ... one!"

Sebaris kalimat itu akan senantiasa Raka kenang. Setelah hampir tiga belas tahun dikenalkan dengan dunia broadcasting oleh sang ibu, tepat di usianya yang ke-25, Raka memutuskan untuk selesai.

"Thanks ya, temen-temen!" Begitu telah melepaskan dual-sides broadcast headset with microphone dari telinganya, Raka bertepuk tangan. Satu per satu rekan yang tergabung dalam divisi Program Director Raka rangkul dengan sangat hangat. Mereka juga melakukan sesi foto bersama sebagai bentuk perpisahan juga sekalian merayakan syuting hari terakhir yang mana butuh satu tahun lebih bagi Raka untuk meyakinkan ibunya selaku pemilik stasiun televisi. Hanya dengan menayangkan satu episode per minggu selama tiga bulan, program yang sasaran marketingnya memang diperuntukkan bagi pelajar itu berhasil meraup rating tertinggi.

Raka sungguh menikmati pekerjaannya yang satu ini. Ah, koreksi. Tepatnya, Raka berusaha mencintai setiap pekerjaan yang ia tekuni. Dan menjadi seorang floor director membuat Raka kian 'hidup' selama tiga tahun terakhir.

"Raka, coba tebak bintang tamu yang akan datang di acara Cookie-Talkie minggu depan!"

Raka nggak kelupaan memberi senyum dan lambaian hangat pada empat siswa-siswi perwakilan Bumantara yang mengikuti proses syuting. Yang mana keempatnya mengenalkan diri sebagai anak klub podcast Bumantara Mengudara angkatan ke-9. Raka sempat terkejut dan terpana di satu waktu. Seperti namanya, ekstrakulikuler tersebut masih eksis hingga kini.

"Siapa, ya?" Raka menimbang-nimbang. "Dian Sastro?"

"Kan udah minggu kemaren!" Devaline mendecak. "Clue-nya aktivis perempuan yang belum lama ini resmi gabung di KPAI."

Raka kontan tersenyum sekenanya dan mengangguk-angguk kecil. "Diraya."

"Segitu aja?" Devaline urung membuka pintu ruang meeting. "Udah enggak sengefek dulu lagi, ya, nama sekaligus orangnya?"

"Masih sih, Ma. Tapi pelan-pelan dari sekarang harus dinetralisir perasaannya." Raka merogoh ponselnya untuk menunjukkan sesuatu. "Raka dapet undangan sekaligus job dari bintang tamu Mama minggu depan via e-mail."

Devaline sempat enggak berkedip. Tetapi sejurus kemudian, ia kembali tampil menjadi sosok perempuan karier sekaligus ibu satu anak yang profesional. Ditepuk-tepuknya pundak Raka dua kali. "Mau tunangan ternyata. Dan kamu diminta buat ngisi acaranya."

"Yah ... makin ditegasin." Raka menunjukkan roman piasnya yang nggak betul-betul sungguhan.

Devaline terkekeh. "Kamu ambil nggak, job-nya?"

Dan dengan senang hati Raka merespons, "Ambil dong, Ma."

***

"Hai!"

Raka meletakkan seikat bunga babybreath pada sebuah batu nisan yang terukir nama Dahayu Sastrawijaya di sana. "Pagi-pagi banget Raka udah rapi. Tahu enggak abis ke mana? Cuma buat berdiri lama di stasiun kereta api."

Raka duduk dan mencabut beberapa rumput liar yang bahkan belum tumbuh lebih dari tujuh senti. "Tempat di mana Ibu berdiri sewaktu nungguin Raka delapan taun yang lalu sekarang ditumbuhi banyak bunga matahari." Raka mengangguk. "Beneran. Bunga mataharinya malah udah setinggi bahu Raka. Apa jangan-jangan ibu sebetulnya tetap tinggal tapi dalam wujud bunga matahari, ya?"

Raka berlama-lama memandangi nisan tersebut. "Udah tau belum, kalo Mitch Albom ngeluarin buku terbaru? The Little Liar, judulnya. Raka belum baca, sih. Soalnya masih dipesen lewat Periplus. Entar, ya. Kalo Raka udah baca, Raka ke sini lagi buat nyeritain garis besar isinya."

Raka dan Segala Perayaannya [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang