19. Raka, Raya, dan Perputaran Kekhawatiran

108 26 0
                                    

"DUH, elo yang dapet nilai 2, kok malah gue yang malu dan lebih sedih gini, sih!" Ilham menggaruk-garuk kepala frustrasi kala mengintip ke sekelian kali pontenan dari tinta pulpen berwarna merah di kertas ulangan harian Fisika milik Raka. "Apa kata Bumantara coba, Rak? Punya sohib ketua OSN dan abis ngegaet medali perak, masa temennya nggak keciprat otak cemerlangnya barang seupil aja, sih?!"

"Bangke! Malesin banget kalo PD-nya Iam udah nikung si Panjul." Raka sebal, tapi ogah-ogahan meladeni celotehan temannya yang meski narsis abis, nggak menghilangkan fakta kalo Ilham Akbar Adhitama emang murid jenius kesayangan para guru eksakta di sekolah.

"Ya udah, iya. Gue puter balik, nggak jadi nikung." Iam cengengesan. "Mau gue ke rumah lo, atau elo nih yang ke rumah gue dengan niat murni buat belajar? Kalo mager, via Gmeet boleh deh. Gue bakal jorjoran sebagai tutor."

"Kak! Kak Raka, bentar Kak."

Raka yang berusaha melepaskan diri dari kungkungan posesif Iam impulsif menengok ke sumber suara.  "Iya, Sa?"

"Ditunggu Bu Winda di ruang guru, Kak. Lumayan urgent katanya."

Meski penasarannya terukir lewat kernyitan samar yang singgah sebentar di dahi, Raka tetap pasang senyum dan mengangkat tangan. "Thanks ya Sa, infonya."

"Wadidaw ... manisnya Gisaaa!"

"Sini cepet buayanya dikandangin dulu." Raka menoyor kepala Iam agar berhenti tebar pesona.

"Yuk lah Rak, gue tungguin sampe lo kelar ketemu Bu Winda. Tapi nanti spill, ya, kenapa elonya dipanggil. Apa bakal diarahin bener buat jadi aparat negara? Intel, misalnya."

"Lo kayaknya pengin banget, ya, gue jadi intel?" Raka mendengkus. "Awas kalo gue beneran jadi intel lo nangis. Hari-hari lo diisi kesepian sejak identitas gue dilenyapin!"

"Demi sempak spiderman-nya Evan, suer gue bercanda doang. Bener, Rak." Iam bergidik. "Baru bayanginnya aja udah merinding. Entah bakal semerana apa gue tanpa kabar dari lo, Rak."

"Iyain." Raka kemudian meninggalkan Ilham sendirian di dekat pintu. Ia melangkah dan menyapa takzim sepanjang enggak sengaja berkontak mata dengan beberapa guru.

"Nak Agraka, sini."

Raka mengangguk dan menyalami salah seorang guru Pendidikan Kewarganegaraan di Bumantara. "Ada yang bisa Raka bantu, Bu?"

"Ibu langsung ke intinya aja ya, Rak." Bu Winda melepas kacamata minusnya lalu memijat-mijat pelan pangkal hidung, tampak lelah. "Nak Raya udah tiga hari ini enggak masuk sekolah tanpa keterangan. Ibu hubungin lewat WA atau telepon biasa juga nggak bisa. Temen sekelas sampai temen sesama di klub debat dan Empat Pilar pun nggak ada yang tau. Terus Ibu inget kalo Raya jadi bagian dari Bumantara Mengudara juga. Mungkin Nak Raka tahu kenapa dan ke mana Raya sampai daftar hadirnya bisa kotor dengan kode alpa?"

"Gimana, gimana? Apa kata Bu Winda?"

Begitu keluar dari ruang guru, Iam menyambutnya dengan rasa ingin tahu. "Mapel PKn lo nggak mungkin bermasalah kayak Fisika dan kawan-kawannya  juga, kan? Yang bener aje bakal intel di masa depan malah remedi pelajaran urgensi satu itu. Padahal buku UUD 45 amandemen keempat pun udah lo khatamin, Rak!"

"Bacot, Am. Kita cabut ke kelas masing-masing, ya. Entaran deh gue pikir-pikir dulu soal niat mulia lo yang mau jadi tutor gue. Gue tagih di kelas 12 aja, waktu mepet-mepet mau UN."

"Aduh selalu bajingan banget  responsnya." Iam pengin ngamuk, tapi karena Agraka merupakan skala prioritas di dunia pertemanannya, maka Iam senyam-senyum-pedih aja sembari melambaikan tangan mengantar kepergian Raka kembali ke kelasnya.

•••

Raka mendecak, benda pipih itu melulu gaduh sedari dirinya fokus menyetir hingga beberapa langkah akan segera tiba di tempat tujuan. Dan masih dari satu kontak yang sama.

Epanjul

"SUMPAH RAK, LO BIKIN DUNIA GUE GONJANG-GANJING SEMALEMAN INI!"

Suara Evan yang heboh, tinggi, dan terdengar panik di satu waktu membuat Raka sontak menjauhkan ponselnya sesaat. "Apa, Van?"

"Plis lo lagi di mana sekarang?" Evan nggak sabar menuntut jawaban. "Gue punya firasat kalo lo bakal ke kelab itu lagi."

"Bener. Nih, udah sampe."

"BALIK! CEPET BAWA BALIK JEEP WRANGLER LO SEKARANG JUGA."

"Aman kok, gue bawa fortuner Mama. Parkirnya juga jauh, dan nggak ketangkap CCTV juga."

Evan meraung di seberang. "Yang Mulia Baginda Bapak Polisi Kita udah standby di sekitaran Nyala Gigantik, Rak. Bakal ada grebek besar-besaran di sana. Run deh kata gue Rak, run! Udah, tahan dulu ngelakuin hal aneh-anehnya. Parah sih kalo lo beneran kepincut sama tante-tante, Rak."

Raka tertawa-tawa saja, terlebih mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Evan kelewat ringan. "Sumpah juga Van, kali ini gue nggak lagi nyeriusin tante-tante. Oke aman, ya? Entar kalo selesai, gue telepon balik."

Sambungan itu Raka putuskan secara sepihak. Dijejalkan ponsel buru-buru ke saku jaket boomber-nya. Raka kembali memperhitungankan situasi. Sambil  terus siaga menoleh kanan-kiri dan ke belakang satu dua kali, ia mulai mengenakan   kacamata hitam lengkap dengan topi bewarna senada.

Raka menyusuri bangunanan Nyala Gigantik melalui akses yang dibocorkan salah satu pekerja di sana setelah menggelontorkan nominal uang yang nggak sedikit.

Nyala Gigantik enggak pernah gagal membuat Raka tercengang. Banyak pintu-pintu rahasia yang rupanya luput dari pengamatan. Dan pintu yang kali ini Raka tuju, berhasil mengantarkan Raka ke dalam bangunan dengan begitu mudahnya.

"Tysa, dengar. Kamu enggak harus ikut hancur kalo ayah kamu hancur." Seseorang meremas kedua bahu remaja perempuan seolah sedang mentransfer keberanian. "Cepat angkat kaki dari sini. Kamu cerdas! Mestinya kamu nggak tutup mata sama keadaan bahwa dengan terus-menerus di sini, nggak mengubah apa-apa. Ayah kamu nggak akan luluh. "

"Mbak juga pergi dari sini, kan?" Raya mengganti topik. Diraihnya tangan orang dewasa itu sarat memohon. "Ayo kita cari tempat aman dulu, Mbak."

Perempuan beda generasi itu tersenyum elegan. "Terima kasih ya Tysa, udah khawatir sama saya. Tapi tenang aja. Saya bisa handle sendiri. Ini bukan yang pertama kali. Tapi kamu," Dahayu menahan napas. Ditepuk-tepuknya pelan pucuk kepala Raya dengan gemas. "Demi Tuhan, Ty. Sekali lagi, kamu cerdas dan berbakat. Kamu harus jadi wanita karier di masa depan yang harus saya liat berseliweran di televisi maupun sosial media. Sudah ya, jangan keterusan jadi bawahan saya dengan kedok ngumpulin kebejatan-kebejatan ayah kamu lagi di sini. Kamu lanjut belajar yang benar aja. Oh dan tambahan satu lagi, nggak perlu kasih laporan gimana hari-hari Raka di sekolah. Saya udah merasa sangat puas. Kapan-kapan kalo kita ketemu lagi, saya traktir es krim dan beliin tiket akuarium, ya!"

Raka sigap menarik diri. Jantungnya serasa ingin copot . Takut sekali jika ketahuan. Sebab baru saja Dahayu menyisir tatapan ke sekitar sebelum benar-benar pergi meninggalkan Raya seorang diri yang belum berjeda memanggil perempuan itu hingga suaranya berubah parau.

Tepat saat suara tembakan mengguncang, Raka segera membawa tubuh Raya ke dalam rengkuhannya. Dan membiarkan Raya menumpahkan tangis di dada hingga boomber-nya basah oleh air mata cewek itu.

"Please, Ka. Yakinin kalo suara tembakan itu cuma sinyal peringatan, bukan sesuatu yang ngebahayain nyokap lo."

"Tenang ya, Dir." Raka mengusap-usap pelan punggung gadis yang belakangan ini memenuhi isi kepalanya dengan kekhawatiran. "Nyokap gue," Raka menahan napas, "kayaknya pinter ngehindarin banyak pelatuk yang seharusnya udah banyak bersarang di tubuhnya."

•••

Regards,

Ichaaaaa

Bengkulu, 17 Mei 2024

Raka dan Segala Perayaannya [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang