Bab 4 | Tantangan baru Anya

70 32 0
                                    

“Terkadang, manusia seperti lautan yang tidak pernah puas, terus mencari di antara gelombang kehidupan untuk sesuatu yang mereka yakini akan memenuhi rasa haus yang tak pernah padam.”


Kenzo yang meski tak dianugerahi kecerdasan luar biasa, bahkan dapat dikatakan sebagai sosok yang standar. Ia tak terlalu ambisius memikirkan nilai atau berjuang keras untuk mencapai prestasi sempurna. Bagi Kenzo, nilai hanyalah sejumlah angka, dan angka itu hanya benda materi yang tak akan membawanya ke alam kematian. Kenzo menyadari bahwa dirinya adalah individu yang berada ditengah-tengah, tak seperti Anya yang dengan mudahnya meraih nilai sempurna meski sering tidur di jam pelajaran, atau seperti Karan yang tidak belajar saat ujian namun tetap memahami pelajaran yang telah dijelaskan guru.

Bagi Kenzo, segenap upayanya tampaknya tak dapat mengubah kenyataan bahwa ia lahir sebagai anak yang sederhana, tak terlalu pintar namun juga tak bodoh. Satu hal yang membuatnya senang untuk datang ke sekolah adalah Kana, ia selalu berusaha mencoba mendekati dan mengikuti Kana, gadis yang berhasil mencuri hatinya sejak awal masuk SMA. Kenzo melakukan berbagai upaya untuk dapat perhatian dari Kana, seperti saat ini, ia rela mengorbankan waktu istirahat di kantin bersama Anya hanya untuk menemani Kana di perpustakaan, meskipun sebenarnya Kana tidak pernah meminta untuk ditemani. Dalam keadaan ini, Kenzo mengejar sesuatu yang dianggapnya layak untuk dicapai.

Di sisi lain, Karan dan Surya memanfaatkan kesempatan untuk berlatih bersama selama jam istirahat, meninggalkan Anya dan Ravinka yang tengah berbincang asyik di kantin. Ravinka adalah salah satu teman terdekat Anya, mungkin karena keduanya sama-sama memiliki keleluasaan dan kurangnya kesibukan di sekolah. Berbeda dengan Kana yang aktif di OSIS, atau Karan dan Surya yang rutin berlatih hampir setiap minggu, Kenzo sebenarnya juga termasuk dalam kelompok mereka. Namun, Kenzo lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama Kana di luar jam pelajaran. Padahal, saat bersama Kana, mereka cenderung hanya saling diam. Kana asyik dengan bukunya, sementara Kenzo seringkali menggodanya dengan berbagai pertanyaan konyol.

“Gue udah cerita ke lo belum sih, Nya?” tanya Ravinka tiba-tiba, mengingat sebuah gosip yang baru saja melintas dalam benaknya.
“Tentang apaan?” Anya yang sedang menyeruput jus strawberry miliknya bertanya heran.
“Fannan, mantan lo.”
Anya memutar bola matanya dengan ekspresi malas. “Males ah, gak pengen tau juga.”
“Yee, kemarin waktu gue habis ekskul, gue liat dia sama pacar barunya.” Ravinka terlihat begitu meyakinkan sambil memelotot ke arahnya.
“Cih, masih aja gak kapok-kapok tuh manusia. Lo liat dimana?”
“Pacarnya anak SMA sebelah, makanya gue liat.” Anya mengangguk paham sambil mengaduk-aduk jus tersebut dengan sedotan.

“Bukan itu poinnya, pacarnya mirip lo, Nya.”
“Gak lah, aneh banget masa mirip gue.”
“Beneran, rambutnya persis kayak lo, sekilas mukanya juga. Menurut gue sih dia gamon sama lo.”
“Lah anjir, kasian ceweknya,”
“Makanya,”
“Tapi yaudah lah, bukan urusan gue lagi.” ujar Anya pada akhirnya. Suasana sempat hening selama beberapa menit, sampai akhirnya ia kembali membuka suara.

“Ngomong-ngomong tentang anak sebelah, gue lagi deket sama anak dua belas.”
Senyuman di wajah Anya hampir saja membuat Ravinka tersedak es teh yang sedang diminumnya. “Gila, lo. Sama siapa lagi kali ini?”
“Hahaha, ada deh. Anak motor dia.”
“Jangan bilang Kak Rocky?” Wajah Ravinka setengah panik menunggu jawaban dari gadis di depannya itu.
“Lho, lo cenayan ya? Cepet banget nebaknya.” Diakhiri tawa puas Anya ketika melihat wajah Ravinka yang terkejut.
“Kita semua udah tau seserem apa Kak Rocky, lo jangan macem-macem, Anya!”

Peringatan dari Ravinka tidak cukup untuk membuat Anya untuk berhenti, seolah-olah ucapannya hanya mengambang di udara.

“Just for fun aja.”
“Gini deh, dia tuh terkenal kasar dan suka main gila sama cewek-cewek. Gak mentingin ceweknya seumuran atau tante-tante, ih.” Jujur saja, Ravinka sudah malas berdebat dengan Anya. Dia tahu dirinya akan kalah karena Anya itu sangat cerdik dalam memainkan kata.
Sejak dulu Ravinka menentang sikap yang Anya tujukan pada lawan jenisnya. Dia memang tidak bisa bilang bahwa yang dilakukan Anya jahat, karena sebenarnya, Anya hanya menyukai pria berengsek dan membuat mereka jatuh hati padanya, yang kemudian akan ia campakkan begitu saja, seperti halnya yang mereka lakukan pada banyak perempuan yang sudah mereka sakiti. Anggap saja bahwa Anya hanya memberikan mereka sebuah karma.

“Ravinka sayang, Anya bisa jaga diri kok kalo Rocky macem-macem.” Ucapnya dengan nada suara dibuat-buat.

“Terserah lo, tugas gue disini mengingatkan lo udah ya.”
Anya mengangguk kemudian melanjutkan aktivitas makan sandwich-nya, rutinitas sehari-hari yang tidak boleh dilewatkan guna menjaga bentuk tubuhnya.

“Kok masih di sini?” sapa Karan yang baru datang, ia tengah mengacak-acak rambut Ravinka, membuat perempuan itu kesal.

“Bukannya lo latihan? Cepet amat dah,” tanya Ravinka.
“Gak jadi, gue dari tadi cuma nungguin dia ke toilet.” Karan mendongakkan dagunya seraya menunjuk Surya yang sudah duduk di samping Anya. Jarak mereka tidak terlalu dekat, malah terkesan cukup jauh, sebuah bangku kayu panjang di mana keduanya duduk di kedua ujung bangku.

Anya tertawa ringan kemudian menimpali, “Pesen makan cepet, keburu bel,”
Karan berjalan untuk memesan, meninggalkan Surya yang sudah pasti memiliki menu pesanan yang sama dengannya.

“Makanan lo udah habis, Vin?” tanya Surya untuk membuka obrolan. Ia tidak melihat mangkuk atau piring di sekitar mereka, padahal biasanya gadis itu selalu yang paling banyak memesan.

“Gue gak nafsu gara-gara denger cerita si Anya.” Matanya kini beralih jengkel pada Anya yang masih asyik mengunyah sandwich miliknya, hanya membalas tersenyum pada Ravinka.

“Lo tau gak, dia lagi deket sama Kak Rocky dari SMA sebelah, padahal udah gue bilangin. Coba lo yang bilangin, Ya,” ujar Ravinka, balik menyuruh Surya untuk menasehati Anya yang berada di sampingnya. Hal tersebut cukup membuat laki-laki itu canggung sejenak, ia tidak tahu harus berbuat apa pada situasi ini. Tidak mungkin dirinya benar-benar melakukan yang dikatakan Ravinka; menasehati Anya. Sangat tidak mungkin. Dia saja tidak terlalu akrab dengan Anya, yang ada Surya malah akan di cap sebagai sok asik.

“Lo marah-marah mulu sih, Vin.” Untunglah Karan segera datang di tengah-tengah keheningan, seakan menciptakan celah bagi Surya untuk bernapas lega dan menghilangkan kecanggungan yang ada.

Fearless (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang